Sebetulnya dalam tradisi Tionghoa, ada sebuah buku yang memberikan petunjuk bagaimana menghitung dan membuat nama bayi. Buku yang berjudul xing ming xue atau xing ming yu ming yun yang berarti nama baik dan nasib baik ini memberikan cara-cara dan petunjuk perhitungan pemberian nama bayi yang didasarkan pada beberapa hal.
Misalnya saja dari berat badan bayi ketika lahir. Jika bayi dengan berat badan ringan, jangan diberi nama yang berat hitungan goresan huruf kanjinya. “Diumpamakan dia dijatah hidupnya ringan kok diberi hal yang berat. Biasanya nanti dia bisa sakit-sakitan,” ujar Suki. Kadar perhitungan ini juga didasarkan pada waktu kelahiran yang disesuaikan dengan intonasi nama bayi sewaktu diucapkan.
Buku yang perhitungannya dibuat semenjak beribu-ribu tahun ini sendiri sekarang memang jarang ditemui di Batam. Biasanya masyarakat yang memilikinya membeli dari Singapura atau Hongkong. Sedangkan di Jakarta sendiri, Suki pernah menemukannya di Pasar Pancoran Jakarta sekitar tahun 1997.
Selain ketika lahir, sebetulnya ada cara lain pemberian penamaan bayi yaitu dengan cara zuo chou. Cara ini dilakukan ketika bayi sudah berumur genap setahun terhitung sejak bayi ada dalam kandungan. Di usia ini, bayi sudah bisa dikatakan sebagai manusia.
Cara zuo chou ini unik. Bayi diminta memilih barang-barang yang diletakkan di hadapannya. Biasanya, para orang tua akan meletakkan beberapa barang seperti sempoa, harmonika atau seruling, dan kuas. Jika bayi memilih sempoa, bisa diramalkan bayi tersebut kelak akan pandai dalam ilmu dagang.
Dari cara zuo chou inilah, para orang tua bisa memberikan nama anaknya. Nama inipun tidak bisa sembarangan karena berisikan harapan orang tua kepada anaknya kelak.(ika)
Nama Pengaruhi Manusia
Apalah arti sebuah nama. Sebetulnya ungkapan tersebut tidak sepenuhnya benar karena nama dapat menentukan watak seseorang. “Coba kalau orang namanya Teguh, orang-orang memanggilnya terus-terusan dengan nama itu, yang namanya Teguh ini nanti akan bersikap sesuai dengan namanya,” ujar Suki Ariono.
Untuk itulah Suki tidak sembarangan membuat nama untuk putranya. Bahkan, nama belakangnya pun diubah melalui rapat keluarga untuk menentukan nama yang akan mewarisi keturunannya kelak.
Kebiasaan cara zuo chou atau melihat dari buku xing ming xue kini tidak begitu banyak lagi dilakukan oleh masyarakat Tionghoa. Adanya peraturan pada masa pemerintah sebelumnya memang membuat kebanyakan masyarakat tionghoa membuat nama lain selain nama mandarin. Namun kini banyak juga masyarakat tionghoa yang hanya membuat nama dalam bahasa Indonesia saja.
Nama dalam bahasa Indonesia ini adapula yang dibuat dengan bertanya terlebih dahulu kepada orang yang mengetahui. Hal ini dilakukan Suki dan keluarganya ketika membuat nama dalam bahasa Indonesia.
Demikian juga yang dilakukan oleh Jeffry Tan. Nama kedua putri dan putrinya, Anggita Prima Putri Jeffry Susanto dan Christopher Adiputra Jefrry Susanto memiliki arti tersendiri.
“Anggita adik kita pertama putri Jefrry Susanto dan Christopher adik tunggal Jeffry Susanto itu arti dari keduanya,” jelas Jeffry. Bahkan, Anggita putri pertamanya begitu hapal akan arti namanya sendiri.
Jika Suki maupun Jeffry masih memiliki nama dalam bahasa mandarin, ternyata ini kebanyakan sudah tidak lagi dilakukan oleh masyarakat Tionghoa. Suki mengalaminya ketika berhadapan dengan murid-muridnya.
“Ada murid saya yang hanya memiliki nama dalam bahasa Indonesia. Padahal dalam nama bahasa mandarin, ada nama marga juga. Murid saya inipun tidak tahu lagi marganya apa,” aku Suki.
Menurut Suki, nama dalam bahasa mandarin sebetulnya penting karena di situ tertera marga, status marga yang berarti dia keturunan keberapa, barulah nama dari orang itu sendiri. Bahkan, nama marga ini menentukan apakah seseorang bisa menikah dengan marga lainnya.
Misalnya saja dari berat badan bayi ketika lahir. Jika bayi dengan berat badan ringan, jangan diberi nama yang berat hitungan goresan huruf kanjinya. “Diumpamakan dia dijatah hidupnya ringan kok diberi hal yang berat. Biasanya nanti dia bisa sakit-sakitan,” ujar Suki. Kadar perhitungan ini juga didasarkan pada waktu kelahiran yang disesuaikan dengan intonasi nama bayi sewaktu diucapkan.
Buku yang perhitungannya dibuat semenjak beribu-ribu tahun ini sendiri sekarang memang jarang ditemui di Batam. Biasanya masyarakat yang memilikinya membeli dari Singapura atau Hongkong. Sedangkan di Jakarta sendiri, Suki pernah menemukannya di Pasar Pancoran Jakarta sekitar tahun 1997.
Selain ketika lahir, sebetulnya ada cara lain pemberian penamaan bayi yaitu dengan cara zuo chou. Cara ini dilakukan ketika bayi sudah berumur genap setahun terhitung sejak bayi ada dalam kandungan. Di usia ini, bayi sudah bisa dikatakan sebagai manusia.
Cara zuo chou ini unik. Bayi diminta memilih barang-barang yang diletakkan di hadapannya. Biasanya, para orang tua akan meletakkan beberapa barang seperti sempoa, harmonika atau seruling, dan kuas. Jika bayi memilih sempoa, bisa diramalkan bayi tersebut kelak akan pandai dalam ilmu dagang.
Dari cara zuo chou inilah, para orang tua bisa memberikan nama anaknya. Nama inipun tidak bisa sembarangan karena berisikan harapan orang tua kepada anaknya kelak.(ika)
Nama Pengaruhi Manusia
Apalah arti sebuah nama. Sebetulnya ungkapan tersebut tidak sepenuhnya benar karena nama dapat menentukan watak seseorang. “Coba kalau orang namanya Teguh, orang-orang memanggilnya terus-terusan dengan nama itu, yang namanya Teguh ini nanti akan bersikap sesuai dengan namanya,” ujar Suki Ariono.
Untuk itulah Suki tidak sembarangan membuat nama untuk putranya. Bahkan, nama belakangnya pun diubah melalui rapat keluarga untuk menentukan nama yang akan mewarisi keturunannya kelak.
Kebiasaan cara zuo chou atau melihat dari buku xing ming xue kini tidak begitu banyak lagi dilakukan oleh masyarakat Tionghoa. Adanya peraturan pada masa pemerintah sebelumnya memang membuat kebanyakan masyarakat tionghoa membuat nama lain selain nama mandarin. Namun kini banyak juga masyarakat tionghoa yang hanya membuat nama dalam bahasa Indonesia saja.
Nama dalam bahasa Indonesia ini adapula yang dibuat dengan bertanya terlebih dahulu kepada orang yang mengetahui. Hal ini dilakukan Suki dan keluarganya ketika membuat nama dalam bahasa Indonesia.
Demikian juga yang dilakukan oleh Jeffry Tan. Nama kedua putri dan putrinya, Anggita Prima Putri Jeffry Susanto dan Christopher Adiputra Jefrry Susanto memiliki arti tersendiri.
“Anggita adik kita pertama putri Jefrry Susanto dan Christopher adik tunggal Jeffry Susanto itu arti dari keduanya,” jelas Jeffry. Bahkan, Anggita putri pertamanya begitu hapal akan arti namanya sendiri.
Jika Suki maupun Jeffry masih memiliki nama dalam bahasa mandarin, ternyata ini kebanyakan sudah tidak lagi dilakukan oleh masyarakat Tionghoa. Suki mengalaminya ketika berhadapan dengan murid-muridnya.
“Ada murid saya yang hanya memiliki nama dalam bahasa Indonesia. Padahal dalam nama bahasa mandarin, ada nama marga juga. Murid saya inipun tidak tahu lagi marganya apa,” aku Suki.
Menurut Suki, nama dalam bahasa mandarin sebetulnya penting karena di situ tertera marga, status marga yang berarti dia keturunan keberapa, barulah nama dari orang itu sendiri. Bahkan, nama marga ini menentukan apakah seseorang bisa menikah dengan marga lainnya.