Sabtu, 11 November 2017

Cinta Frendy Willyam dan Lenny Dikukuhkan di Klenteng Sai Che Tien

JAMBI - Klenteng itu menjadi saksi cinta mereka berdua. Frendy Willyam dan Lenny, warga Koni IV, kota Jambi menyatakan ikrar satu hati satu cinta di hadapan Nabi Kongze Klenteng Majelis Agama Khonghucu Indonesia (MAKIN) Sai Che Tien Jambi. “Sesuai dengan UU No 1/ 1974 bahwa syarat sah pernikahan ialah dilakukan cara agama dan dicatatkan di pemerintah, maka kalian berdua telah sah menjadi suami istri,” kata Ketua Rohaniawan MATAKIN Provinsi Jambi JS The Lien Teng disaksikan Ketua MATAKIN Kota Jambi, Darmadi Tekun selepas pemberkatan pernikahan sepasang suami istri baru itu, Sabtu (11/11/2017).

Pernikahan Frendy Willyam dan Lenny memang cukup menyedot perhatian khalayak. Bukan saja lantaran pemberkatan mereka diiringi pelepasan balon ke udara. Namun, perayaan dan lokasi pernikahan mereka dilaksanakan di klenteng.

“Klenteng Sai Che Tien ini, sudah sering dipakai oleh penganut Konfucius, untuk pernikahan ala Khonghucu,” kata Darmadi Tekun selaku Ketua MAKIN Klenteng Sai Che Tien Jambi, Darmadi Tekun juga sebagai Ketua MATAKIN Kota Jambi, dengan
adanya pernikahan tersebut, diharapkan kedepan umat Khonghucu tidak ragu-ragu lagi adakan pemberkatan pernikahan di Klenteng.

Menurut JS The Lien Teng, Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita dengan tujuan membentuk keluarga bahagia dan melangsungkan keturunan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. “Perkawinan harus berdasarkan kemauan dan persetujuan kedua calon mempelai, tanpa adanya paksaaan dari pihak manapun.” Ujar The Lien Teng.

Kebebasan beragama dan kesamaan hak warga negara, khususnya warga Khonghucu di Nusantara, telah berkembang pesat. Tak hanya dalam pengakuan agama Khonghucu saja. Namun, dalam hal perkawinan, pengurusan kartu tanda penduduk (KTP), hingga pelajaran agama Khongucu pun juga mendapatkan perlakuan yang sama. Bahkan, sejumlah kegiatan umat Khonghucu pun juga mulai banyak yang didukung pemerintah daerah. (Romy)
* https://www.facebook.com/makinjambi

Jumat, 10 November 2017

Mandikan Rupang Se Mien Fo

JAMBI – Sehari sebelum upacara perayaan Hari Kelahiran Se Mien Fo terlebih dahulu rupang Se Mien Fo/ Dewa empat muka “Phak Phom” dibersihkan. Karena tidak sembarangan orang yang boleh memandikan rupang Se Mien Fo,! Maka sebelum prosesi permandian di mulai, terlebih dahulu, Mama Ai Rin melakukan sembahyang di depan altar Phak Phom “Se Mien Fo” untuk meminta ijin dan restu siapa yang akan ditujuk Phak Phom “Se Mien Fo” untuk memandikan rupangnya, bahwa Mama Ai Rin yang langsung lakukan pemandian rupang Se Mien Fo (Dewa empat muka), dibantu oleh salah satu asistennya dari dibawa dari kuil Nam Hai Kwan Se Im (10/11-2017).

Di dalam catatan sutra Buddha alam Pathana Jhana Bhumi terdapat 3 alam yaitu alam Brahma Parisajja, Brahma Purohita dan alam Maha Brahma. "Se Mien Fo" yang juga kita kenal sebagai Maha Brahma Sahampati, dalam bahasa Thailand dikenal sebagai "Phra Phom Sin Nei/Pah Pong" penguasa dari alam Maha Brahma yang merupakan alam tertinggi dalam alam Pathana Jhana Bhumi dan merupakan penguasa alam semesta. Dewa Brahma dipanggil sebagai "Se Mien Fo" karena kewelas asihannya yang sangat besar kepada seluruh makhluk hidup, bukan hanya kepada manusia tetapi seluruh makhluk yang berwujud dan tidak berwujud sehingga ia yang dari seorang Dewa kemudian mencapai ke-Bodhi-an. (Romy)* https://www.facebook.com/makinjambi

Kamis, 09 November 2017

Tradisi Membakar Rumah Arwah Dari Kertas


JAMBI - Kamis pagi (9/11-2017) keluarga besar Hasan Andi Ng (Huang Han Siong) membakar sebuah rumah di Jalan M. Kukuh, Rt. 10 No. 08, Kelurahan Paal Lima, kota baru Jambi.

Mereka bersaudara membakar rumah-rumahan “焼灵屋” yang terbuat dari kertas special didatangkan dari Tiongkok untuk dipersembahkan kepada ibunda tercinta Ong Kim Tun sebagai memperingati tiga tahun wafatnya Ong Kim Tun (alm).

Bagi masyarakat keturunan Tionghoa yang beragama Khonghucu penghormatan kepada orangtua atau leluhur merupakan sebuah kewajiban anak atau keluarga terdekat, baik yang masih hidup di duniawi maupun yang telah wafat, ini  merupakan sebuah kewajiban anak (keturunan), tradisi ini sudah dilakoni sejak jaman dahulu kala.

Salah satunya adalah, adalah tradisi membakar rumah-rumahan “焼灵屋” yang terbuat dari bahan bambu, karton, kertas warna warni dan pernak pernik lukisan serta segala perlengkapan rumah tangga, tradisi membakar rumah-rumahan “焼灵屋” berikut segala isi ini untuk dipersembahkan kepada arwah orangtua maupun leluhur mereka yang telah meninggal dunia genap tiga tahun, rumah-rumahan tersebut untuk kebutuhan tempat tinggal arwah yang berada di alam baka.

Tradisi mengirimkan rumah-rumahan “焼灵屋” masih dipertahankan hingga kini, tradisi tersebut sudah ada sejak jaman nenek moyang mereka yang mayolitas beragama Khonghucu secara turun temurun, tradisi mengirim rumah-rumahan dilakukan setelah orangtua mereka meninggal genap tiga tahun.

Seperti Hasan Andi Ng, memperingati tiga tahun wafatnya ibundanya dengan mengirimkan rumah-rumahan berikut lengkap segala isi rumah tangga, agar orangtuanya di alam baka, agar orangtunya memiliki tempat tinggal layaknya seperti kita yang hidup di dunia fana, “Tiga tahun mama meninggal, maka kita sebagai keturunnya mengirimkan rumah-rumahan “焼灵屋” lengkap dengan isinya, agar papa  disana mempunyai tempat tinggal yang layak seperti kita.” Kata Hasan Andi Ng disela upacara sembahyang yang dipandu Lim Tek Chong Tao She dari Tiongkok.

Sedangkan menurut Lim Tek Chong Taoshe yang piawai dalam segala urusan ritual keagamaan serta ahli dalam membuat rumah-rumahan dari kertas. Lim Tek Chong juga dikenal sebagai seorang pemandu upacara sembahyang pembakaran rumah-rumahan untuk tempat tinggal arwah yang telah tiada.

Ujar Lim Tek Chong Tao She, ”Tradisi bakar rumah-rumahan ini, masih kuat bertahan sampai kini di Tiongkok, tradisi membakar rumah-rumahan sebagai bentuk kebaktian seorang seorang anak kepada orangtuanya, mereka mengirimkan rumah-rumahan dengan cara membakar berikut segala isi rumah, seperti alat rumah tangga, diantaranya perlengkapan alat dapur, perlengkapan ruang tamu, kamar tidur tidur, mobil-mobilan, uang-uangan.” Ujar Lim Tek Chong.

Tambah Lim Tek Chong, “Bahwa manusia hidup di atas bumi merlukan tempat tinggal yang layak, kebutuhan sehari, seperti pangan, sandang dan papan. Demikian juga arwah orang yang telah wafat di alam baka juga membutuhkan kehidupan seperti layaknya dimasa hidupnya”.

Selain itu, mereka juga mengirim perlengkapan lainya, seperti, sabun mandi/ sabun cuci, handuk, pakaian, sepatu, minyak sayur, garam, beras sebagai syarat untuk orangtua mereka pergunakan di alam baka, tidak ketinggalan beberapa dayang/ pembantu rumah tangga untuk membantu orangtua mereka di alam baka.

Serta ada dua jenis kertas yang digunakan dalam tradisi ini, yaitu kertas yang bagian tengahnya berwarna keemasan (Kim Cua) dan kertas yang bagian tengahnya berwarna keperakan (Gin Cua). Menurut kebiasaan-nya Kim Cua (Kertas Emas) digunakan untuk upacara sembahyang kepada dewa-dewa, sedangkan Gin Cua (Kertas Perak) untuk upacara sembahyang kepada para leluhur dan arwah-arwah orang yang sudah meninggal dunia. Bahwa dengan membakar kertas emas dan perak itu berarti mereka telah memberikan kepingan uang emas dan uang perak kepada para dewa atau leluhur mereka; sebagaimana diketahui kepingan emas dan perak adalah mata uang yang berlaku pada jaman Tiongkok kuno.

Semua bahan diletakan didalam rumah-rumahan, setelah itu anak laki-laki melakukan sembahyang dengan mengundang roh/ arwah orangtua mereka untuk dapat menempati rumah-rumahan yang dibeli oleh anak-anak lekaki, seusai itu baru rumah-rumahan dibakar.

Sebagai keluarga yang masih hidup jangan sampai melupakan leluhur dan keluarganya yang telah meninggal. yang masih hidup wajib mengingat dan mengirimkan persembahan kepada mereka yang menderita di alam sana, sebagai balas budi kita kepada leluhur kita itu.

Untuk itu keluarga yang masih hidup dianjurkan untuk mengirimkan uang (kim cua dan gin cuakepada mereka yang berada di alam penderitaan itu. Dan dana bantuan itu adalah salah satunya berupa "Rumah-rumahan" dan uang-uangan untuk dibakar yang terbuat dari bambu-bambu (yang juga merupakan bahan dasar pembuatan kertas saat itu). Rumah-rumahan ini yang kemudian dibakar dan akan menjelma menjadi rumah beserta isinya di alam sana, sehingga dapat dipergunakan oleh ayah bunda, leluhur, dan sanak keluarga yang berada di alam sana untuk meringankan penderitaan mereka

Pembakaran juga memiliki pesan moral tersirat untuk berbakti dan setia kepada negeri kita tinggal karena dalam membakar kertas emas maupun perak mengandung makna tanah melahirkan logam dan tanah itu adalah tempat dimana kita berpijak, tempat kita lahir dan bertumbuh. Bagi yang beranggapan membakar uang kertas dalam jumlah besar dapat menyenangkan leluhur atau menunjukkan bakti, lebih baik tunjukkan rasa sayang anda itu semasa leluhur anda masih di dunia. (Romy)
* https://www.facebook.com/makinjambi