karena ketika diselenggarakan upacara sembayang besar selalu dibunyikan Genta kecil yang berbunyi Klenteng atau Klenting. (Lihat kamus umum bahasa Indonesia, Wjs Poerwadarminta).
Ada sementara orang berpendapat bahwa diduga istilah Klenteng berasal dari Bahasa Mandarin Kwan Iem Ting, yang maknanya : Bangunan kecil bagi pemujaan terhadap Dewi Kwan Iem. Tetapi kenyataan istilah Kelenteng ini sudah luas dipakai jauh sebelum tempat pemujaan khusus Dewi Kwan Iem ini banyak dikenal orang di Indonesia. Serta sangat jarang kita jumpai Klenteng-klenteng kuno yang khusus untuk memuja Dewi Kwan Iem. (Bs. Buanadjaya, Riwayat Klenteng, Lithang, Penyusun Moerthiko).
Tempat ibadah yang paling kuno yang masih dipakai namanya adalah Miao (Bio, Bahasa Hokkian). Misalnya Kong Zi Miao (Khong Cu Bio), Wen Miao (Bun Bio). Menurut seorang tokoh yang banyak menyelidiki masalah ini, Alm. Zhang Lao Kho Yok Kay bahwa Kong Zi Miao adalah suatu bangunan Suci yang istimewa sekali, karena pada mulanya hanya pada pimpinan masyarakat sajalah yang "Berwenang" mendirikannya. Masyarakat Awam tidaklah berani sembarangan membangunnya.
Sedangkan bangunan Suci yang dibuat oleh masyarakat setempat adalah tempat-tempat Suci Para Suci (Shen Ming) atau Sin Meng yang tingkatannya dibawah seorang Nabi (Sheng Ren). Misalnya Miao/Bio bagi Kwan Di/Kwan Gong yang disebut Kwan Sing Bio. Artinya tempat kebaktian/penghormatan kepada Kwan Gong, seorang Suci pada jaman akhir Dynasti Han (Zhan Quo 403-321 SM) atau jaman perang Tiga Negera, yang terkenal gagah perkasa dan berbudi luhur serta tekun mengembangkan dan menjalankan Ajaran Suci Nabi Agung Khong Zi, terutama sifat Zhong dan Yi (Satya dan Adil Palamarta), karena beliau banyak mempelajari Wu Jing (Kitab Yang Lima) kitab yang mendasari keimanan Ajaran dan Peribadahan dalam Agama Khonghucu. Dan yang paling disenangi adalah Kitab Chun Qiu Jing, salah satu kitab yang ditulis oleh Nabi Agung Kong Zi.
Penyebutan Klenteng sebagai tempat Suci membuktikan bahwa Klenteng sudah cukup jelas dikenal Eksistensinya dan sudah berorientasi kepada lingkungan kebudayaan bangsa Indonesia, maka sepatutnya hakekat dari tempat Suci ini perlu dijaga kemurniannya.
Menilik atau merunut sejarah Klenteng di Indonesia, pada masa tertentu, ada suatu pembelotan sejarah, dan hal ini tidak akan menguntungkan pihak manapun, terkecuali oknum yang bersangkutan. Sedangkan yang bisa diterima oleh oknum tersebut adalah Dosa Besar serta peniliaan masyarakat umum/publik sebagai suatu perbuatan melawan TIAN LI (suatu kebenaran berupa ketentuan-ketentuan hukum alam yang berasal dari Tuhan Yang Maha Esa).
Oleh karena itu, mudah-mudahan dikemudian hari sejarah Klenteng yang telah dibelokkan dapat dikembalikan seperti semula, karena setiap manusia harus berusaha untuk mengolah batinnya dan memperbaiki sifat-sifat buruknya, agar dapat menjalani kehidupan selaras dengan TIAN LI.
Klenteng yang sudah dikenal luas di Indonesia, tata upacaranya berlandaskan Tata Agama Khonghucu, sebab segala peraturan dan perlengkapan sembayang yang ada didalamnya berpedoman kepada Tata Agama dan Tata Laksana Upacara yang ada didalam sebuah Kong Zi Miao/Khong Cu Bio dan Wen Miao/Bun Bio. Misalnya susunan meja sembayang, beberapa perlengkapan tempat penancapan dupa, lilin merah dan lain-lain. Hal ini disebabkan, tumbuhnya Kelenteng memang dilingkungan masyarakat yang memeluk Agama Khonghucu pada awal mulanya. (Bs. Buanadjaya, Riwayat Kelenteng, Vihara, Lithang, Penyusun Moerthiko).
Walaupun landasan ritual/ketataupacaraannya secara Agama Khonghucu, di dalam sebuah Kelenteng umumnya juga disediakan pula ruangan-ruangan penghormatan kepada para Buddis dan Toais disamping para Suci Confucianis sendiri. Hal ini disebabkan oleh adanya hubungan yang baik serta rasa toleransi yang besar di abad-abad yang lampau, diantaranya dapat dijelaskan sebagai berikut :
Agama Ru Jiao atau Agama Khonghucu sebagai Agama asal dan telah berumur hampir 5000 Tahun. Yaitu dari Nabi pertama yang bernama Fu Xie (2953-2838 SM) sampai pada Nabi terakhir yaitu Nabi Agung Kong Zi (551-479 SM), kemudian lahir Agama Taoisme dengan nama Nabi Lao Zi (604 SM) yang hidup sejaman dengan Nabi Agung Kong Zi, beliau menulis Kitab Dao De Jing (Kitab Suci Agama Taoisme), serta Agama Buddha dari India masuk ke Tiongkok (RRC) melalui Dua Puluh Delapan Kepala Keluarga Besar pada tahun 529 Masehi. (Huston Smith, Agama-agama Manusia, hal 165).
Dasar ajaran dari Nabi Agung Kong Zi adalah Jing Tian Zun Zu (menyembah atau mengagungkan Tuhan dan Menghormati Leluhur). Ketika umat khonghucu melaksanakan sembayang di Klenteng, pertama-tama adalah mengambil posisi di depan Kelenteng dengan cara menyembah dan berdoa kepada TIAN, Tuhan Yang Maha Esa, menghadap Empat Penjuru yaitu Timur, Utara, Barat dan Selatan dengan makna bahwa WUJUD TUHAN TIADA SATU BENDAPUN YANG DAPAT MEWAKILINYA. Perwujudan ini dipertegas dalam Kitab Tengah Sempurna XV 1-5 dengan sabda Nabi Kong Zi yang berbunyi, "Sungguh Maha Besarlah Kebajikan Kwi Sien (Tuhan Yang Maha Rokh)", "Dilihat tidak nampak, didengar tidak terdengar, namun tiap wujud tiada yang tanpa Dia". "Demikianlah menjadikan manusia di dunia berkuasa, membersihkan hati dan mengenakan pakaian lengkap sujud bersembahyang kepadaNya. Sungguh Maha Besar Dia, terasakan diatas dan dikanan kiri kita". Di dalam kitab sanjak tertulis, "Adapun kenyataan Tuhan Yang Maha Rokh itu tidak boleh diperkirakan, lebih-lebih tidak dapat ditetapkan". "Maka sungguhlah jelas sifatNya yang halus itu, tidak dapat disembunyikan dari Iman kita, demikianlah Dia". Dan seterusnya penancapan dupa yaitu di bangunan TIAN GONG atau suatu bangunan yang ada di depan Kelenteng pada Hio Luo (wadah untuk menancapkan dupa). Selanjutnya baru masuk kedalam Kelenteng untuk menghormati para Suci (Shen Ming) atau Seng Meng secara berurut dari altar utama (ruang paling depan dari Kelenteng yang bersangkutan).
Jun Zu artinya menghormati leluhur. Zu (leluhur) dapat dikategorikan dalam dua golongan yaitu leluhur pada intern keluarga dan marga, misalnya garis keturunan bapak-ibu, kakek-nenek dan seterusnya sampai ketingkat nenek moyang yang pertama. Dan golongan leluhur pada ekstern keluarga yaitu para Nabi, para Suci (Shen Ming), orang-orang dahulu yang bijak dan lain sebagainya.
Di dalam Li Jing (Kitab berbagai Peraturan tentang Kesusilaan, Peribadatan dan Pemerintahan) disebutkan, "Kaisar-kaisar bijaksana harus dijunjung tinggi, orang-orang bijak yang membuat undang-undang untuk ketentraman rakyat harus dihormati, orang yang setia dalam menjalankan tugasnya harus dihormati, orang-orang yang membaktikan dirinya sepenuh hati pada negara harus dihormati, orang gagah dan cendekiawan yang mampu menolak dan menghindarkan rakyat banyak dari malapetaka harus dihormati ...........".
Mereka semua adalah manusia biasa, tetapi apabila amal baktinya kepada TIAN/ Tuhan sangat luar biasa, mereka akan menjadi Shen Ming/Para Suci. Karena Wan Wu Ben Yu Tian artinya semua makhluk berpokok dari TIAN, Tuhan Yang Maha Esa, dan wajib dihormati sebagai Shen Ming/ Para Suci.
Penulis adalah Ketua Gemaku Kalbar dan Sekretaris MAKIN Pontianak
Ada sementara orang berpendapat bahwa diduga istilah Klenteng berasal dari Bahasa Mandarin Kwan Iem Ting, yang maknanya : Bangunan kecil bagi pemujaan terhadap Dewi Kwan Iem. Tetapi kenyataan istilah Kelenteng ini sudah luas dipakai jauh sebelum tempat pemujaan khusus Dewi Kwan Iem ini banyak dikenal orang di Indonesia. Serta sangat jarang kita jumpai Klenteng-klenteng kuno yang khusus untuk memuja Dewi Kwan Iem. (Bs. Buanadjaya, Riwayat Klenteng, Lithang, Penyusun Moerthiko).
Tempat ibadah yang paling kuno yang masih dipakai namanya adalah Miao (Bio, Bahasa Hokkian). Misalnya Kong Zi Miao (Khong Cu Bio), Wen Miao (Bun Bio). Menurut seorang tokoh yang banyak menyelidiki masalah ini, Alm. Zhang Lao Kho Yok Kay bahwa Kong Zi Miao adalah suatu bangunan Suci yang istimewa sekali, karena pada mulanya hanya pada pimpinan masyarakat sajalah yang "Berwenang" mendirikannya. Masyarakat Awam tidaklah berani sembarangan membangunnya.
Sedangkan bangunan Suci yang dibuat oleh masyarakat setempat adalah tempat-tempat Suci Para Suci (Shen Ming) atau Sin Meng yang tingkatannya dibawah seorang Nabi (Sheng Ren). Misalnya Miao/Bio bagi Kwan Di/Kwan Gong yang disebut Kwan Sing Bio. Artinya tempat kebaktian/penghormatan kepada Kwan Gong, seorang Suci pada jaman akhir Dynasti Han (Zhan Quo 403-321 SM) atau jaman perang Tiga Negera, yang terkenal gagah perkasa dan berbudi luhur serta tekun mengembangkan dan menjalankan Ajaran Suci Nabi Agung Khong Zi, terutama sifat Zhong dan Yi (Satya dan Adil Palamarta), karena beliau banyak mempelajari Wu Jing (Kitab Yang Lima) kitab yang mendasari keimanan Ajaran dan Peribadahan dalam Agama Khonghucu. Dan yang paling disenangi adalah Kitab Chun Qiu Jing, salah satu kitab yang ditulis oleh Nabi Agung Kong Zi.
Penyebutan Klenteng sebagai tempat Suci membuktikan bahwa Klenteng sudah cukup jelas dikenal Eksistensinya dan sudah berorientasi kepada lingkungan kebudayaan bangsa Indonesia, maka sepatutnya hakekat dari tempat Suci ini perlu dijaga kemurniannya.
Menilik atau merunut sejarah Klenteng di Indonesia, pada masa tertentu, ada suatu pembelotan sejarah, dan hal ini tidak akan menguntungkan pihak manapun, terkecuali oknum yang bersangkutan. Sedangkan yang bisa diterima oleh oknum tersebut adalah Dosa Besar serta peniliaan masyarakat umum/publik sebagai suatu perbuatan melawan TIAN LI (suatu kebenaran berupa ketentuan-ketentuan hukum alam yang berasal dari Tuhan Yang Maha Esa).
Oleh karena itu, mudah-mudahan dikemudian hari sejarah Klenteng yang telah dibelokkan dapat dikembalikan seperti semula, karena setiap manusia harus berusaha untuk mengolah batinnya dan memperbaiki sifat-sifat buruknya, agar dapat menjalani kehidupan selaras dengan TIAN LI.
Klenteng yang sudah dikenal luas di Indonesia, tata upacaranya berlandaskan Tata Agama Khonghucu, sebab segala peraturan dan perlengkapan sembayang yang ada didalamnya berpedoman kepada Tata Agama dan Tata Laksana Upacara yang ada didalam sebuah Kong Zi Miao/Khong Cu Bio dan Wen Miao/Bun Bio. Misalnya susunan meja sembayang, beberapa perlengkapan tempat penancapan dupa, lilin merah dan lain-lain. Hal ini disebabkan, tumbuhnya Kelenteng memang dilingkungan masyarakat yang memeluk Agama Khonghucu pada awal mulanya. (Bs. Buanadjaya, Riwayat Kelenteng, Vihara, Lithang, Penyusun Moerthiko).
Walaupun landasan ritual/ketataupacaraannya secara Agama Khonghucu, di dalam sebuah Kelenteng umumnya juga disediakan pula ruangan-ruangan penghormatan kepada para Buddis dan Toais disamping para Suci Confucianis sendiri. Hal ini disebabkan oleh adanya hubungan yang baik serta rasa toleransi yang besar di abad-abad yang lampau, diantaranya dapat dijelaskan sebagai berikut :
Agama Ru Jiao atau Agama Khonghucu sebagai Agama asal dan telah berumur hampir 5000 Tahun. Yaitu dari Nabi pertama yang bernama Fu Xie (2953-2838 SM) sampai pada Nabi terakhir yaitu Nabi Agung Kong Zi (551-479 SM), kemudian lahir Agama Taoisme dengan nama Nabi Lao Zi (604 SM) yang hidup sejaman dengan Nabi Agung Kong Zi, beliau menulis Kitab Dao De Jing (Kitab Suci Agama Taoisme), serta Agama Buddha dari India masuk ke Tiongkok (RRC) melalui Dua Puluh Delapan Kepala Keluarga Besar pada tahun 529 Masehi. (Huston Smith, Agama-agama Manusia, hal 165).
Dasar ajaran dari Nabi Agung Kong Zi adalah Jing Tian Zun Zu (menyembah atau mengagungkan Tuhan dan Menghormati Leluhur). Ketika umat khonghucu melaksanakan sembayang di Klenteng, pertama-tama adalah mengambil posisi di depan Kelenteng dengan cara menyembah dan berdoa kepada TIAN, Tuhan Yang Maha Esa, menghadap Empat Penjuru yaitu Timur, Utara, Barat dan Selatan dengan makna bahwa WUJUD TUHAN TIADA SATU BENDAPUN YANG DAPAT MEWAKILINYA. Perwujudan ini dipertegas dalam Kitab Tengah Sempurna XV 1-5 dengan sabda Nabi Kong Zi yang berbunyi, "Sungguh Maha Besarlah Kebajikan Kwi Sien (Tuhan Yang Maha Rokh)", "Dilihat tidak nampak, didengar tidak terdengar, namun tiap wujud tiada yang tanpa Dia". "Demikianlah menjadikan manusia di dunia berkuasa, membersihkan hati dan mengenakan pakaian lengkap sujud bersembahyang kepadaNya. Sungguh Maha Besar Dia, terasakan diatas dan dikanan kiri kita". Di dalam kitab sanjak tertulis, "Adapun kenyataan Tuhan Yang Maha Rokh itu tidak boleh diperkirakan, lebih-lebih tidak dapat ditetapkan". "Maka sungguhlah jelas sifatNya yang halus itu, tidak dapat disembunyikan dari Iman kita, demikianlah Dia". Dan seterusnya penancapan dupa yaitu di bangunan TIAN GONG atau suatu bangunan yang ada di depan Kelenteng pada Hio Luo (wadah untuk menancapkan dupa). Selanjutnya baru masuk kedalam Kelenteng untuk menghormati para Suci (Shen Ming) atau Seng Meng secara berurut dari altar utama (ruang paling depan dari Kelenteng yang bersangkutan).
Jun Zu artinya menghormati leluhur. Zu (leluhur) dapat dikategorikan dalam dua golongan yaitu leluhur pada intern keluarga dan marga, misalnya garis keturunan bapak-ibu, kakek-nenek dan seterusnya sampai ketingkat nenek moyang yang pertama. Dan golongan leluhur pada ekstern keluarga yaitu para Nabi, para Suci (Shen Ming), orang-orang dahulu yang bijak dan lain sebagainya.
Di dalam Li Jing (Kitab berbagai Peraturan tentang Kesusilaan, Peribadatan dan Pemerintahan) disebutkan, "Kaisar-kaisar bijaksana harus dijunjung tinggi, orang-orang bijak yang membuat undang-undang untuk ketentraman rakyat harus dihormati, orang yang setia dalam menjalankan tugasnya harus dihormati, orang-orang yang membaktikan dirinya sepenuh hati pada negara harus dihormati, orang gagah dan cendekiawan yang mampu menolak dan menghindarkan rakyat banyak dari malapetaka harus dihormati ...........".
Mereka semua adalah manusia biasa, tetapi apabila amal baktinya kepada TIAN/ Tuhan sangat luar biasa, mereka akan menjadi Shen Ming/Para Suci. Karena Wan Wu Ben Yu Tian artinya semua makhluk berpokok dari TIAN, Tuhan Yang Maha Esa, dan wajib dihormati sebagai Shen Ming/ Para Suci.
Penulis adalah Ketua Gemaku Kalbar dan Sekretaris MAKIN Pontianak