Perayaan Ceng Beng tahun ini jatuh pada tanggal 5 April tahun Masehi (sa gwee ciu imlek), Ceng Beng yang berarti, Ceng = Bersih, Beng = Terang. Pada hari tersebut orang Tionghoa berziarah ke makam orangtua, keluarga atau leluhur, membersihkan makam, berdoa serta sembahyang sesuai agama, kepercayaan dan dengan caranya masing-masing. Diatas makam diletakkan kertas kuning kecil memanjang.
Asal usul Ceng Beng menurut beberapa tokoh masyarakat Tionghoa Jambi sebagai berikut, yang mana ada seorang yang bernama Cu Guan Ciang (Zhu Yuan Zhang) pendiri dinasti Ming, ia lahir dari keluarga yang sangat miskin. Agar tidak mati kelaparan ia diserahkan oleh orang tuanya pada sebuah kuil untuk dipelihara.
Pada suatu ketika Cu Guan Ciang menjadi raja, Cu Guan Ciang tidak mengetahui dimana letak makam leluhurnya, maka pada hari yang ditentukan, ia memerintahkan semua rakyat untuk melakukan berziarah dan sembahyang dimakam masing-masing leluhurnya dan memberi tanda dengan kertas kuning diatas makam tersebut sebagai makam leluhurnya. Maka pada makam yang tidak ada tanda-tanda kertas kuning itu dianggap Cu Guan Ciang adalah makam leluhurnya.
Selain membersihkan makam, mereka juga mengirim pakaian dan uang kepada arwah nenek moyangnya tersebut. Bukan uang dan pakaian asli, melainkan semacam kertas doa dan simbol baju yang dibikin mereka sendiri dari kertas ataupun karton yang mudah terbakar. "Ini ada baju dan uang emas dan perak,"
Pada hari Ceng Beng saat ini, makam yang tidak diziarahi, sembahyang diselenggarakan oleh panitia atau lembaga yang mengurusi tanah makam tersebut. Ziarah dimakam bisa dilakukan 10 hari sebelum dan 10 hari sesudah Ceng Beng, demikian juga dilakukan masyarakat Tionghoa yang bermukim di Indonesia. (rom)
Asal usul Ceng Beng menurut beberapa tokoh masyarakat Tionghoa Jambi sebagai berikut, yang mana ada seorang yang bernama Cu Guan Ciang (Zhu Yuan Zhang) pendiri dinasti Ming, ia lahir dari keluarga yang sangat miskin. Agar tidak mati kelaparan ia diserahkan oleh orang tuanya pada sebuah kuil untuk dipelihara.
Pada suatu ketika Cu Guan Ciang menjadi raja, Cu Guan Ciang tidak mengetahui dimana letak makam leluhurnya, maka pada hari yang ditentukan, ia memerintahkan semua rakyat untuk melakukan berziarah dan sembahyang dimakam masing-masing leluhurnya dan memberi tanda dengan kertas kuning diatas makam tersebut sebagai makam leluhurnya. Maka pada makam yang tidak ada tanda-tanda kertas kuning itu dianggap Cu Guan Ciang adalah makam leluhurnya.
Selain membersihkan makam, mereka juga mengirim pakaian dan uang kepada arwah nenek moyangnya tersebut. Bukan uang dan pakaian asli, melainkan semacam kertas doa dan simbol baju yang dibikin mereka sendiri dari kertas ataupun karton yang mudah terbakar. "Ini ada baju dan uang emas dan perak,"
Pada hari Ceng Beng saat ini, makam yang tidak diziarahi, sembahyang diselenggarakan oleh panitia atau lembaga yang mengurusi tanah makam tersebut. Ziarah dimakam bisa dilakukan 10 hari sebelum dan 10 hari sesudah Ceng Beng, demikian juga dilakukan masyarakat Tionghoa yang bermukim di Indonesia. (rom)