Kamis, 05 Mei 2011

Pariwisata dan Pelestarian Warisan Budaya

I. Pendahuluan
Di seluruh dunia peninggalan sejarah dan pariwisata mempunyai hubungan yang
tidak terpisahkan. Pariwisata digunakan sebagai alasan ekonomi untuk pelestarian
warisan juga membantu pelestarian benda-benda artefak dan kehidupan rakyat di
mata wisatawan (Hewison).
Kebudayaan dan harta peninggalan nenek moyang seperti diwujudkan melalui seni dapat
ditingkatkan atau diturunkan dengan adanya dampak dari pariwisata (Hughes, dalam Hall, 1999).
Kata lain dampak pariwisata terhadap budaya maupun peninggalan budaya bisa berdampak positif dan bisa berdampak negatif. Peninggalan sejarah dan purbakala di Indonesia sejak lama dimanfaatkan sebagai obyek wisata walaupun belum secara keseluruhan dan difungsikan secara optimal. Akan tetapi seiring perjalanan waktu apa dampak yang timbul hingga sekarang?, dan bagaimana mengantisipasi dan atau mengatasi dampak?.

Waktu senggang atau leisure dan aktifitas pariwisata saat ini semakin menjadi bahan
komoditi, dalam masyarakat kapitalis waktu senggang masyarakat dibentuk secara langsung dengan apa yang ditawarkan dalam bentuk ”industri budaya”. Demikian pula pariwisata budaya telah menjadi bahan komoditi yang dapat dikelola secara bisnis untuk meghasilkan devisa atau ekonomi-sentris, oleh karena itu efek atau dampak langsung adalah pada budaya dan karakter masyarakatnya.

Waktu senggang dengan berwisata budaya membuka peluang lebih jauh apabila wisatawan akan mendapatkan sesuatu atau oleh-oleh yang bermanfaat setelah mereka pulang ke rumah masing-masing berupa ”ilmu” dari obyek wisatanya. Akan tetapi peluang tersebut saat ini rupanya masih jauh dimanfaatkan karena perlu diakui masih banyak masyarakat wisatawan yang memahami apa yang mereka lihat. Di masyarakat dalam berwisata terbagi dalam dua kondisi, pertama yaitu dari kesadaran penuh bahwa kami harus kesana untuk melihat apa dan akan kami peroleh apa, kedua masih memanfaatkan dengan setengah terpaksa dan mungkin terpaksa yang penting sudah sampai disana. Di sisi lain oleh karena rendahnya pemahaman terhadap bendabenda
peninggalan sejarah dan purbakala maka wisatawan cenderung kurang memahami pula
tentang kelestarian dan makna-makna luhur tinggalan tersebut.

II. Pariwisata budaya dan pelestarian benda cagar budaya
Pengertian pelestarian benda cagar budaya adalah salah satu rangkaian dalam
pengelolaan benda cagar budaya disamping unsur penelitian, pemanfaatan dan pembinaan.

Kegiatan pelestarian terkandung unsur perlindungan, pemugaran, pemeliharaan,
pendokumentasian dan publikasi, sedangkan kegiatan pemanfaatan seperti dalam Undang-undang Benda Cagar Budaya No. 5 tahun 1992 salah satunya adalah pemanfaatan untuk pariwisata.

Pariwisata Dan Pelestarian Warisan Budaya Pemanfaatan benda peninggalan sejarah dan purbakala untuk kegiatan pariwisata juga diatur dalam kode etik pariwisata dunia (Global Code of Ethics For Tourism) pada pasal 4 ayat 2 yang menyebutkan:
“ Kebijakan kegiatan pariwisata harus diarahkan dalam rangka penghormatan
terhadap warisan kekayaan seni, arkeologi dan budaya, yang harus dilindungi dan
diserahkan kepada generasi penerus; pemeliharaan secara khusus diberikan guna
pelestarian dan peningkatan monumen-monumen, tempat-tempat suci dan museum,
demikian pula tempat-tempat bersejarah dan arkeologis, yang harus dibuka secara luas
bagi kunjungan wisatawan umum harus didorong agar dapat masuk ke dalam kekayaan
dan monumen-monumen budaya swata (pribadi) dengan menghormati hak-hak
pemiliknya, demikian pula ke dalam bangunan-bangunan keagaman, tanpa merugikan
norma-norma agama”

Pengembangan pariwisata budaya yang bersifat tangible adalah salah satu bentuk edukatif kultural yang bertujuan untuk mengenalkan kepada masyarakat tentang peninggalan sejarah purbakala untuk dapat dipahami dan akhirnya dapat dicintai. Melalui benda-benda peninggalan nenek moyang kita dapat belajar, memahami dan mengambil sisi positif tentang kehidupan masa lalu dan peradabannya untuk menata kehidupan masa kini dan menatap ke masa depan. Akan tetapi belum semua pemahaman ini melekat kepada seluruh lapisan masyarakat, pada umumnya yang terjadi wisatawan berwisata ke suatu tempat baru tahap ingin tahu, mengagumi keindahan dan keunikan obyek, kepuasan dan pengalaman hidup yang telah sukses mencapai obyek wisatanya saja atau dengan kata lain mereka pada umumnya masih dalam kemasan mencari ”hiburan” dalam memanfaatkan waktu senggang atau ”liburan” nya.

Kondisi mencari hiburan saat liburan ini implikasinya sejalan dengan perilaku mereka
yang sering dijumpai pada obyek wisata adalah menjadi ancaman terhadap pelestarian benda.

Pariwisata Dan Pelestarian Warisan Budaya cagar budaya. Kekaguman dan kecintaan direfleksikan dengan mengambil sebagain benda-benda purbakala untuk kenangan, kegembiraan dan kenangan diwujudkan dengan berpose di atas benda purbakala, kenangan untuk identitas dirinya diwujudkan dalam goresan namanya pada benda
purbakala tidak hanya pada buku kunjungan, dan masih banyak contoh lain yang mengancam kelestarian, Pada akhirnya pada kondisi ini sangat disayangkan setelah mereka pulang ke rumah dari wisata budayanya mereka tidak memperoleh apa-apa untuk batinnya tentang benda peninggalan purbakala yang mereka lihat, yang mereka bawa pulang adalah hanya album photo dan benda-benda souvenir saja.

Minat masyarakat pariwisata budaya benda-benda purbakala saat masih dalam bentuk
konsumsi memanjakan indera penglihatan, sehingga obyek wisata budaya yang menarik adalah bila secara fisik dan mengagumkan seperti candi-candi besar seperti Candi Borobudur, Candi Prambanan, dan lainnya. Museum dan tempat-tempat peninggalan sejarah dan purbakala lainnya masih menjadi pilihan selanjutnya. Di sisi lain rendahnya kesadaran masyarakat terhadap penghargaan pada benda-benda peninggalan sejarah dan purbakala mendorong tindakan-tindakan yang mengancam kelestarian, pemalsuan dan penipuan, pengangkatan dan perdagangan harta peninggalan secara ilegal, dan pencurian benda purbakala.

Di lain pihak walaupun secara tidak disengaja wisatawan yang berkunjung ke suatu obyek wisata peninggalan sejarah dan purbakala dengan jumlah terlampau padat lama kelamaan akan menjadi ancaman kelestarian, misalnya terjadi keausan pada obyek. Hal ini sangat dilematis apabila lokasi rawan aus misalnya pintu masuk dan tangga diganti dengan bahan lain dan yang asli disimpan. Satu kepentingan ingin mempertahankan keaslian supaya tidak membohongi publik sedangkan di pihak lain hal itu perlu dilakukan demi kelestarian. Tentunya hal bersifat teknis ini perlu kesepakatan dari berbagai pihak dengan menujukkan solusi terbaik.

III. Pariwisata Budaya dan Perubahan Nilai
Peranan pariwisata dalam hal perubahan nilai-nilai pribadi maupun kelompok tidak dapat
dipisahkan dari pokok pikiran tentang ”komoditisasi”, yang menunjukkan bahwa apa yang dulunya merupakan ”pertunjukan atau atraksi kebudayaan” perorangan maupun kelompok dari suatu tradisi kebudayaan hidup yang asli telah berubah menjadi ”produk/hasil kebudayaan” untuk memenuhi kebutuhan komersil pariwisata, dengan kata lain kebudayaan telah menjadi suatu ”komoditas” (Hall, 1999). Sebagai contoh kebudayaan suatu suku bangsa dalam bentuk perorangan maupun keragaman budaya dikemas kemudian dijual dengan menggunakan praktek-praktek bisnis profesional, melaui festival biasa maupun event-event istimewa lainnya. Promosi dan pemasaran melalui festival-festival dari cara menghidupkan kembali budaya yang telah punah sebagai paket yang akan dijual ke wisatawan. Upaya menghidupkan kembali budaya
tersebut menjadikan suku bangsa dan budayanya menjadi komoditas pariwisata. Praktek
semacam ini banyak bermunculan di berbagai daerah di Indonesia baik skala lokal maupun regional.

Komoditas ini menjadi bernilai karena keuntungan devisa atau pendapatan suatu daerah
yang diperoleh, akan tetapi nilai-nilai budayanya menjadi menurun karena yang ditonjolkan
bentuk atraktifnya saja sedangkan jiwa dan apresiasinya tidak ada lagi terutama yang dirasakan

Pariwisata Dan Pelestarian Warisan Budaya oleh pelaku. Contoh bentuk-bentuk seni seperti lukisan-lukisan Papunya Tula di Australia bagian tengah sekarang diproduksi dalam jumlah banyak untuk memenuhi permintaan wisatawan, hal ini mengarah pada penurunan kualitas, kesamaan dan pencemaran makna dalam dunia seni melalui
perdagangan dan tidak adanya apresiasi terhadap kejadian-kejadian penting dari masa penciptaan suku Aborigin atau ”dreamtime” (Hall, 1999). Lebih lanjut Hall menegaskan bahwa dengan adanya minat wisatawan dan dampak pasar yang ada, bahan-bahan, bentuk dan makna kesenian Aborigin disesuaikan dengan minat wisatawan asing. Meskipun demikian permintaan industri pariwisata yang begitu luas membuat upaya mengembalikan bentuk seni budaya tradisional suku Aborigin ke asalnya adalah sesuatu yang mustahil dan mungkin dari sudut pandang ekonomi tidak menguntungkan.
Perubahan nilai berkaitan dengan pariwisata tidak hanya terjadi melalui transformasi
atifitas-aktifitas sosial ke produk, perkenalan tentang bentuk baru aktifitas ekonomi mungkin akan mempunyai dampak terhadap nilai kultur dan struktur tertentu. Meskipun demikian Hall mengatakan bahwa ciri mendasar dari industri pariwisata adalah dapat menimbulkan proses alkulturasi dan perubahan nilai yang khusus pada pariwisata. Lebih lanjut mencontohkan bahwa pencitraan (imaging) dan pemasaran daerah tujuan wisata harus memberikan banyak alternatif tentang tempat-tempat wisata bagi para wisatawan dan masyarakat.

Pemasaran wisata dengan pemilihan rute dan zonasi daerah tujuan wisata akan mengubah
citra tempat. Pengadaan event-event kemasyarakatan dan penyelengggaraan hal-hal yang bersifat sejarah di tempat-tempat yang dikunjungi wisatawan juga mengubah kehidupan berbudaya dan bersejarah masyarakat, dan tentunya mengubah tempat itu sendiri. Pendapat Papson seperti yang dikutip oleh Hall (1999) menyebutkan bahwa dari sekian banyak elemen penting dalam mengkomersiilkan suatu tempat untuk pariwisata adalah penyelenggaraan acara-acara kemasyarakatan dan pengelolaan sejarah menjadi komoditi yang dapat dipasarkan. Lebih lanjut dikatakan Papson bahwa sejarah yang semula merupakan sesuatu yang bersifat konseptual dan harus dialami, berubah menjadi hal yang sensual dan dapat dinikmati dengan panca indera.

Berkenaan dengan hal tersebut memunculkan rambu-rambu untuk menekan dampak
terhadap penurunan nilai-nilai budaya seperti dalam kode etik pariwisata dunia pasal 4 ayat 4 yang berbunyi ”Kegiatan pariwisata harus direncanakan sedemikian rupa untuk memungkinkan kelangsungan hidup dan berkembangnya hasil-hasil budaya, seni tradisional, dan seni rakyat, dan bukan sebaliknya menimbulkan terjadinya standarisasi dan penurunan hasil-hasil budaya tersebut”

IV. Arah kebijakan program pembangunan kebudayaan dan pariwisata
Indonesia yang dikenal dengan keanekaragaman budayanya (multikultur) masih
dihadapkan pada persoalan-persoalan yang kompleks dan multidimensional. Sementara itu
dampak globalisasi dan krisis ekonomi berperan timbulnya gejala lemahnya jatidiri bangsa dan gejala desintegrasi yang melanda di beberapa daerah. Oleh sebab itu peranan pemerintah di bidang pembangunan kebudayaan nasional menekankan bagaimana membangun karakter bangsa (nation and character building) dan bagaimana setiap warga negara diberi akses untuk saling.

Pariwisata Dan Pelestarian Warisan Budaya mengenal kebudayaan yang berbeda agar dapat hidup berdampingan secara damai sebagaimana diamanatkan oleh para pendiri bangsa dan amanat mukadimah UUD 1945.

Hampir secara universal pemerintah di seluruh dunia menerima pariwisata sebagai suatu
yang baik, dengan sebagian besar kebijakan pariwisata dibuat untuk memperluas industri
pariwisata. Pemerintah menempatkan pariwisata sebagai alat pembangunan dengan
mempromosikan pariwisata sebagai cara mengatasi pengangguran di daerah yang secara
ekonominya masih lemah. Sedangkan peranan pemerintah disamping sebagai regulator dalam pariwisata diantaranya berperan untuk koordinasi, perencanaan, perundang-undangan dan peraturan, dan stimulasi.

Dilematis pembangunan pariwisata dengan pembangunan kebudayaan diukur dari
pengertian pariwisata dipresepsikan sebagai wahana untuk meningkatkan pendapatan, terutapa pendapatan negara sebagai industri dan penghasil devisa dalam arti ekonomi-sentris dan berorientasi pertumbuhan sedangkan kebudayaan justru lebih bersifat konsumtif pengeluaran biaya. Apabila dipandang bagian per bagian maka antara kebudayaan dan pariwisata saling bertentangan namun dalam tujuan secara menyeluruh keduanya merupakan pisau bermata dua yang bermanfaat bagi pembangunan. Dalam hal ini juga sudah diatur dalam kode etik pariwisata dunia pasal 4 ayat 3 menyebutkan bahwa ”sumber penghasilan yang diperoleh dari wisatawan ke tempat-tempat budaya dan monumen-monumen harus digunakan untuk setidak-tidaknya sebagian bagi pemeliharaan, pelestarian, pengembangan dan memperkaya warisan budaya”

Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata dalam arah kebijakan program pembangunan
salah satu unsurnya adalah penekanan Peningkatan peranserta dan pemberdayaan masyarakat serta UKM dalam perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan kebudayaan. Arah kebijakan pariwisata budaya tersebut kapasitas yang ditekankan hanya pada obyek atau industri wisatanya termasuk pelaku dan masyarakat yang berkaitan dengan lokasi obyek wiasata bukan pada konsumen (wisatawannya).

Apabila selama ini program pembangunan birokrasi dilakukan atas orientasi nilai-nilai
sentralistik dan efisiensi, maka di atas landasan paradikma pembangunan berwawasan budaya dilakukan dengan orientasi nilai humanisteranisme, demokrasi, dan partisipasi. Oleh karena itu dalam program dan kegiatan pembangunan kebudayaan pemerintah menggariskan kegiatan berupa revitalisasi dan reaktualisasi nilai-nilai tradisional yang bernilai luhur, dan transformasi kebudayaan untuk mengadopsi nilai-nilai baru yang positif untuk memperkaya dan memperkokoh khasanah budaya bangsa. Sedangkan untuk karya budaya yang bersifat tangible dengan melakukan penyadaran dan pengenalan peninggalan-peninggalan budaya nenek moyang seperti candi, benteng, keraton, dan peninggalan kuna lainnya kepada masyarakat. Terutama kepada para siswa melalui kegiatan wisata pelajar dengan darmawisatanya atau dengan kemasan lain wisata sejarah dan terakhir lebih khusus dengan nama lawatan sejarah, kegiatan ini bertujuan untuk menumbuhkan dan mengembangkan sikap memanfaatkan kebudayaan sebagaimana layaknya serta menumbuhkembangkan rasa cinta dan bangga terhadap hasil karya
budaya bangsa.

Pariwisata Dan Pelestarian Warisan Budaya
V. Penutup
Pembangunan pariwisata budaya tanpa merusak hanya dapat dicapai dengan jika antara
pemerintah, sektor swasta dan masyarakat bekerja bahu membahu untuk mencapai tujuan. Untuk membangun hubungan yang kuat maka perlindungan harus menjadi cara hidup atau gaya hidup, hal tersebut dari masyarakat dan kebudayaan nasional. Jika hubungan yang kuat tetap ada di skala lokal dan menyebarkan kebudayaan yang berorientasi pada negara, kemudian para turis juga didorong untuk memasuki garis untuk melihat dan menikmati namun tidak merusak.

Bagaimana peranan pariwisata dalam pelestarian budaya maka kembali kepada
pemerintah bersama masyarakat baik pemerintah pusat, propinsi, dan kabupaten/kota perlu memprogramkan sesuatu konkrit yang bertujuan upaya pelestarian aset budaya agar aset tersebut mengandung nilai-nilai positif sebagai sarana edukatif, pariwisata dan pengembangan kebudayaan yang dapat berfungsi optimal untuk peningkatan peradaban dan kesejahteraan masyarakat.

Sumber : Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jambi