Sebelum lahir di dunia Bodhisatva hidup di surga Tushita sebagai Dewa Setaketu. Atas permintaan para dewa, Bodhisatva bersedia lahir didunia untuk membebaskan makhluk hidup dari penderitaan. Pada waktu yang tepat, Bodhisatva memilih untuk lahir dari seorang ibu dari suku Sakya yaitu Ratu Mahamaya, permaisuri Raja Suddhodana dari kerajaan Kapilavastu
Suatu malam, saat Ratu Mahamaya sedang tidur, ia bermimpi dibawa ke istana emas oleh para dewa dan dibaringkan di dipan yang sangat indah. Lalu datanglah seekor gajah putih mengelilinginya tiga kali dan masuk keperutnya melalui sisi kanan.
Sepuluh bulan kemudian, pada hari purnama bulan Waisak, 623 SM, Ratu Mahamaya beristirahat di Taman Lumbini dan merasa ingin melahirkan. Sambil berpegangan pada dahan pohon sala, Ratu melahirkan Bodhisatva. Para dewa menyirami Bodhisatva dengan air surgawi.
Bodhisatva berjalan tujuh langkah. Teratai muncul dari tanah di bawah setiap jejaknya. Ia diberi nama Siddhartha yang artinya terpenuhi harapannya. Gautama adalah nama keluarganya. Petapa Asita meramal bahwa jika pangeran Siddhartha meninggalkan kerajaan, ia akan menjadi Buddha. Jika ia memerintah kerajaan, ia akan menjadi pemimpin dunia.
Ratu Mahamaya wafat tujuh hari setelah melahirkan. Pangeran Siddhartha dirawat dengan penuh kasih oleh bibinya, Mahapajapati. Walau dikelilingi segala macam kemewahan, pangeran Siddhartha sangat rajin belajar. Ia sangat pintar dalam ilmu pengetahuan dan ahli dalam berkuda dan memanah.
Sifat welas asih pangeran Siddhartha sudah tampak sejak kecil. Suatu hari, seekor angsa jatuh terpanah oleh sepupunya yang bernama Devadatta. Pangeran Siddhartha measa iba dan menyelamatkan angsa malang itu.
Pada usia 16 tahun, pangeran Siddhartha menikah dengan putri Yasodhara setelah memenangkan berbagai lomba. Ia tinggal di tiga istana untuk tiga musim dengan segala kemewahan. Raja tidak mengizinkannya keluar dari istana karena khawatir kalau pangeran jadi prihatin melihat penderitaan.
Pada usia 28 tahun, pangeran minta izin dari ayahnya untuk melihat keluar istana. Dalam beberapa kali perjalanan bersama Channa, kusirnya ia menyaksikan empat peristiwa : orang tua, orang sakit, orang mati dan petapa. Ia merenung apa gunanya usia muda bila akhirnya dihancurkan oleh umur tua? Apa gunanya kesehatan bila hanya akan berakhir dengan kesakitan? Apa gunanya kebijaksanaan bila hidup tidak berlangsung selamanya? Bagaimana manusia dapat terbebas dari semua penderitaan ini?
Suatu malam pada usia 29 tahun, pangeran Siddharta memutuskan untuk meninggalkan kehidupan mewah, ayah, istri dan putranya Rahula. Ia bertekad meninggalkan kehidupan duniawi untuk mencari kebahagiaan sejati bagi semua makhluk. Ia berjanji setelah menemukan obat untuk mengatasi usia tua, penyakit dan kematian, ia akan kembali mengunjungi keluarganya. Menunggang kudanya, Kanthaka disertai oleh Channa, pangeran Siddhartha meninggalkan istana untuk memulai kehidupan sebagai petapa. Mara si Dewa Jahat, menawarkan kepada pangeran untuk menjadi raja dunia jika ia mau membatalkan rencananya, namun dengan tekad bulat pangeran menolak tawaran Mara.
Pangeran melepas perhiasan dan pakaiannya yang mewah, lalu memotong rambutnya. Ia meminta Channa untuk membawa pulang pakaian, perhiasan dan kudanya ke istana. Selanjutnya, Brahma Ghatikara mempersembahkan keperluan bhikkhu kepadanya yang terdiri dari delapan jenis benda yaitu: jubah luar, jubah dalam, kain bawah, ikat pinggang, mangkuk, pisau cukur, jarum dan saringan air.
Kemudian ia pergi ke hutan Uruvela untuk bertapa keras. Ia ditemani oleh lima petapa Bhaddiya, Vappa, Msahanama, Assaji dan Kondanna. Ia hanya makan dan minum sedikit sekali sampai menjadi sangat kurus. Jika ia menyentuh kulit perutnya, tulang belakangnya akan tersentuh pula. Selama enam tahun, petapa Gautama bertapa menyiksa diri tetapi belum juga berhasil mencapai tujuannya.
Petapa Gautama bermeditasi di bawah pohon Bodhi ditepi sungai Neranjara. Ia bertekad walaupun tubuh, daging dan darahku berkerut dan mengering, aku tak akan bangkit dari tempat ini sampai aku mencapai pencerahan. Mara dan pasukannya berusaha menggagalkan cita-cita petapa Gautama. Mereka menyerangnya dengan berbagai cara, namun petapa Gautama tidak terlukai sedikitpun. Akhirnya Mara pun dikalahkan
Setelah mengalahkan Mara, petapa Gautama memasuki meditasi mendalam. Ia mampu mengingat kehidupan-kehidupan lampaunya dan memahami cara kerja alam semesta. Akhirnya ia pun mencapai kebijaksanaan tertinggi. Ia mengetahui cara mengakhiri penderitaan, kesedihan, usia tua dan kematian.
Pada malam purnama bulan Waisak 588 SM, pada usia 35 tahun, pangeran Siddhartha mencapai pencerahan sempurna menjadi Buddha. Pada saat itu, seluruh tubuh Buddha memancarkan enam sinar berwarna : biru, kuning, merah, putih, jingga dan campuran kelima warna itu. Bumi bergetar lembut. Tempat itu dipenuhi para dewa yang ikut bergembira dan ingin melihat kejadian langka itu. Seorang manusia berhasil menjadi Buddha.
Setelah pencerahan sempurna, Buddha tinggal selama tujuh minggu di tempat itu untuk menikmati kebahagiaan sejati, Nibbana. Pada minggu kelima, tiga putri Mara yang bernama Tanha (tak pernah puas) Arati (kebencian) dan raga (nafsu) berusaha menggoda Buddha. Buddha tidak menghiraukan semua godaan ini dan tetap bermeditasi dengan tenang.
Buddha memutuskan untuk mengajarkan Dharma yang ditemukannya. Buddha lalu pergi ke Benares untuk menemui lima petapa yang pernah menemaninya. Ditaman Rusa di Isipatana, pada malam purnama di bulan Asadha Buddha membabarkan Dharma untuk pertama kalinya kepada lima petapa. Khotbah pertama ini dikenal sebagai Khotbah pemutaran roda Dharma.
Ada dua pemuda yang bernama Upatissa dan Kolita yang memohon ditahbiskan menjadi bhikkhu. Buddha menahbiskan Upatissa sebagai Sariputra dan Kolita sebagai Moggallana. Pada pertemuan ini, Buddha memberikan gelar siswa utama kepada Sariputta sebagai pengapit kanannya dan Moggallana sebagai pengapit kirinya. Sariputra adalah siswa yang paling bijaksana sedangkan Moggallana adalah siswa yang paling sakti.
Sesuai dengan janjinya, Buddha mengunjungi Rajagaha. Raja Bimbisara mendanakan Veluvanarama ( vihara hutan bambu). Ini adalah dana tempat tinggal yang pertama untuk Buddha dan para bhikkhu. Pada saat Buddha berada di Veluvanarama, pada malam bulan purnama di bulan Magha, 1.250 orang Arahat datang berkumpul tanpa di undang sebelumnya. Buddha membabarkan ceramah ini tidak melakukan kejahatan. Menambah kebajikan, menyucikan pikiran. Inilah ajaran semua Buddha.
Buddha kembali ke Kapilavastu atas undangan Raja Suddhodana. Buddha datang bersama 20.000 bhikkhu dan disambut oleh raja Suddhodana di Taman Nigrodha. Untuk menghilangkan kesombongan dan keraguan rakyat suku Sakya, Buddha menunjukkan kesaktian yang hanya dapat dilakukan oleh seorang Buddha. Banyak kerabat Buddha yang mengikuti jejaknya untuk menjadi bhikkhu dan mencapai kesucian.
Seperti telah dikisahkan, Ratu Mahamaya wafat pada hari ketujuh setelah melahirkan Pangeran Siddhartha. Ia wafat dan terlahir kembali sebagai dewa di surga Tusita. Untuk membalas budi ibu, Buddha membabarkan Dharma kepada ibunya. Untuk mendengarkan Dharma yang dibabarkan Buddha di surga Tavatimsa, ibunya turun dari surga Tusita.
Di Rajagaha, hiduplah seorang pemuda kaya bernama Sigala yang setiap hari menyembah keenam penjuru yaitu : ke timur, keselatan, ke barat, ke utara, ke bawah dan ke atas. Di Kosala, ada seorang murid yang disuruh oleh gurunya untuk mengumpulkan seribu jari orang sebagai bayaran sekolahnya. Karena kekejamannya, orang ini di juluki Angulimala ( sikalung jari)
Angulimala nyaris membunuh ibunya sendiri tetapi dicegah oleh Buddha yang menasehatinya untuk berhenti membunuh. Akhirnya Angulimala pun sadar menjadi bhikkhu dan mencapai kesucian. Suatu ketika, seorang ibu bernama Kisagotami meminta Buddha untuk menghidupkan kembali anaknya yang telah meninggal. Buddha meminta Kisagotami pergi ke desa untuk meminta segenggam biji lada dari rumah yang belum pernah ada anggota keluarganya yang meninggal.
Kisagotami pergi ke desa namun tidak berhasil mendapatkan rumah yang belum pernah ada keluarganya yang meninggal. Akhirnya ia sadar bahwa semua yang hidup pasti akan mati. Kisagotami kembali kepada Buddha dan menjadi siswa Buddha. Patacara adalah wanita yang kehilangan seluruh keluarganya dalam satu malam. Dalam perjalanan, suaminya mati dipatuk ular, bayinya yang baru lahir di sambar elang dan putra sulungnya hanyut di sungai. Sesampai di rumah ternyata ayah, ibu dan saudaranya telah mati terkena badai. Iapun menjadi tidak waras.
Buddha menyembuhkan dan mengajarkan Dharma kepada Patacara yang akhirnya berhasil mencapai kesucian.
Kekuatan cinta kasih Buddha sangat hebat. Devadatta yang iri kepada Buddha, suatu ketika mencoba membunuh Buddha dengan melepaskan Nalagiri, seekor gajah istana. Nalagiri yang besar dan buas diberi minuman keras lalu dilepaskan di jalan yang akan dilalui oleh Buddha. Nalagiri yang mabuk berlari menghancurkan apa yang ada dihadapannya, membuat semua orang ketakutan. Buddha memancarkan cinta kasihnya kepada gajah itu. Semenjak itu Nalagiri menjadi gajah yang patuh, jinak dan lembut sepanjang hayatnya.
Tahun 543 SM pada usia 80 tahun, setelah 45 tahun membabarkan Dharma, Buddha pun wafat (parinibbana). Buddha wafaat dengan berbaring di antara dua pohon sala di Kusinagara pada hari purnama bulan Waisak. Guru para dewa dan manusia yang tiada taranya telah pergi. Sebelum wafat, Buddha menyampaikan pesan terakhirnya kepada kita semua teruslah berjuang dengan penuh kesadaran (appamadena sampadetha)
Suatu malam, saat Ratu Mahamaya sedang tidur, ia bermimpi dibawa ke istana emas oleh para dewa dan dibaringkan di dipan yang sangat indah. Lalu datanglah seekor gajah putih mengelilinginya tiga kali dan masuk keperutnya melalui sisi kanan.
Sepuluh bulan kemudian, pada hari purnama bulan Waisak, 623 SM, Ratu Mahamaya beristirahat di Taman Lumbini dan merasa ingin melahirkan. Sambil berpegangan pada dahan pohon sala, Ratu melahirkan Bodhisatva. Para dewa menyirami Bodhisatva dengan air surgawi.
Bodhisatva berjalan tujuh langkah. Teratai muncul dari tanah di bawah setiap jejaknya. Ia diberi nama Siddhartha yang artinya terpenuhi harapannya. Gautama adalah nama keluarganya. Petapa Asita meramal bahwa jika pangeran Siddhartha meninggalkan kerajaan, ia akan menjadi Buddha. Jika ia memerintah kerajaan, ia akan menjadi pemimpin dunia.
Ratu Mahamaya wafat tujuh hari setelah melahirkan. Pangeran Siddhartha dirawat dengan penuh kasih oleh bibinya, Mahapajapati. Walau dikelilingi segala macam kemewahan, pangeran Siddhartha sangat rajin belajar. Ia sangat pintar dalam ilmu pengetahuan dan ahli dalam berkuda dan memanah.
Sifat welas asih pangeran Siddhartha sudah tampak sejak kecil. Suatu hari, seekor angsa jatuh terpanah oleh sepupunya yang bernama Devadatta. Pangeran Siddhartha measa iba dan menyelamatkan angsa malang itu.
Pada usia 16 tahun, pangeran Siddhartha menikah dengan putri Yasodhara setelah memenangkan berbagai lomba. Ia tinggal di tiga istana untuk tiga musim dengan segala kemewahan. Raja tidak mengizinkannya keluar dari istana karena khawatir kalau pangeran jadi prihatin melihat penderitaan.
Pada usia 28 tahun, pangeran minta izin dari ayahnya untuk melihat keluar istana. Dalam beberapa kali perjalanan bersama Channa, kusirnya ia menyaksikan empat peristiwa : orang tua, orang sakit, orang mati dan petapa. Ia merenung apa gunanya usia muda bila akhirnya dihancurkan oleh umur tua? Apa gunanya kesehatan bila hanya akan berakhir dengan kesakitan? Apa gunanya kebijaksanaan bila hidup tidak berlangsung selamanya? Bagaimana manusia dapat terbebas dari semua penderitaan ini?
Suatu malam pada usia 29 tahun, pangeran Siddharta memutuskan untuk meninggalkan kehidupan mewah, ayah, istri dan putranya Rahula. Ia bertekad meninggalkan kehidupan duniawi untuk mencari kebahagiaan sejati bagi semua makhluk. Ia berjanji setelah menemukan obat untuk mengatasi usia tua, penyakit dan kematian, ia akan kembali mengunjungi keluarganya. Menunggang kudanya, Kanthaka disertai oleh Channa, pangeran Siddhartha meninggalkan istana untuk memulai kehidupan sebagai petapa. Mara si Dewa Jahat, menawarkan kepada pangeran untuk menjadi raja dunia jika ia mau membatalkan rencananya, namun dengan tekad bulat pangeran menolak tawaran Mara.
Pangeran melepas perhiasan dan pakaiannya yang mewah, lalu memotong rambutnya. Ia meminta Channa untuk membawa pulang pakaian, perhiasan dan kudanya ke istana. Selanjutnya, Brahma Ghatikara mempersembahkan keperluan bhikkhu kepadanya yang terdiri dari delapan jenis benda yaitu: jubah luar, jubah dalam, kain bawah, ikat pinggang, mangkuk, pisau cukur, jarum dan saringan air.
Kemudian ia pergi ke hutan Uruvela untuk bertapa keras. Ia ditemani oleh lima petapa Bhaddiya, Vappa, Msahanama, Assaji dan Kondanna. Ia hanya makan dan minum sedikit sekali sampai menjadi sangat kurus. Jika ia menyentuh kulit perutnya, tulang belakangnya akan tersentuh pula. Selama enam tahun, petapa Gautama bertapa menyiksa diri tetapi belum juga berhasil mencapai tujuannya.
Petapa Gautama bermeditasi di bawah pohon Bodhi ditepi sungai Neranjara. Ia bertekad walaupun tubuh, daging dan darahku berkerut dan mengering, aku tak akan bangkit dari tempat ini sampai aku mencapai pencerahan. Mara dan pasukannya berusaha menggagalkan cita-cita petapa Gautama. Mereka menyerangnya dengan berbagai cara, namun petapa Gautama tidak terlukai sedikitpun. Akhirnya Mara pun dikalahkan
Setelah mengalahkan Mara, petapa Gautama memasuki meditasi mendalam. Ia mampu mengingat kehidupan-kehidupan lampaunya dan memahami cara kerja alam semesta. Akhirnya ia pun mencapai kebijaksanaan tertinggi. Ia mengetahui cara mengakhiri penderitaan, kesedihan, usia tua dan kematian.
Pada malam purnama bulan Waisak 588 SM, pada usia 35 tahun, pangeran Siddhartha mencapai pencerahan sempurna menjadi Buddha. Pada saat itu, seluruh tubuh Buddha memancarkan enam sinar berwarna : biru, kuning, merah, putih, jingga dan campuran kelima warna itu. Bumi bergetar lembut. Tempat itu dipenuhi para dewa yang ikut bergembira dan ingin melihat kejadian langka itu. Seorang manusia berhasil menjadi Buddha.
Setelah pencerahan sempurna, Buddha tinggal selama tujuh minggu di tempat itu untuk menikmati kebahagiaan sejati, Nibbana. Pada minggu kelima, tiga putri Mara yang bernama Tanha (tak pernah puas) Arati (kebencian) dan raga (nafsu) berusaha menggoda Buddha. Buddha tidak menghiraukan semua godaan ini dan tetap bermeditasi dengan tenang.
Buddha memutuskan untuk mengajarkan Dharma yang ditemukannya. Buddha lalu pergi ke Benares untuk menemui lima petapa yang pernah menemaninya. Ditaman Rusa di Isipatana, pada malam purnama di bulan Asadha Buddha membabarkan Dharma untuk pertama kalinya kepada lima petapa. Khotbah pertama ini dikenal sebagai Khotbah pemutaran roda Dharma.
Ada dua pemuda yang bernama Upatissa dan Kolita yang memohon ditahbiskan menjadi bhikkhu. Buddha menahbiskan Upatissa sebagai Sariputra dan Kolita sebagai Moggallana. Pada pertemuan ini, Buddha memberikan gelar siswa utama kepada Sariputta sebagai pengapit kanannya dan Moggallana sebagai pengapit kirinya. Sariputra adalah siswa yang paling bijaksana sedangkan Moggallana adalah siswa yang paling sakti.
Sesuai dengan janjinya, Buddha mengunjungi Rajagaha. Raja Bimbisara mendanakan Veluvanarama ( vihara hutan bambu). Ini adalah dana tempat tinggal yang pertama untuk Buddha dan para bhikkhu. Pada saat Buddha berada di Veluvanarama, pada malam bulan purnama di bulan Magha, 1.250 orang Arahat datang berkumpul tanpa di undang sebelumnya. Buddha membabarkan ceramah ini tidak melakukan kejahatan. Menambah kebajikan, menyucikan pikiran. Inilah ajaran semua Buddha.
Buddha kembali ke Kapilavastu atas undangan Raja Suddhodana. Buddha datang bersama 20.000 bhikkhu dan disambut oleh raja Suddhodana di Taman Nigrodha. Untuk menghilangkan kesombongan dan keraguan rakyat suku Sakya, Buddha menunjukkan kesaktian yang hanya dapat dilakukan oleh seorang Buddha. Banyak kerabat Buddha yang mengikuti jejaknya untuk menjadi bhikkhu dan mencapai kesucian.
Seperti telah dikisahkan, Ratu Mahamaya wafat pada hari ketujuh setelah melahirkan Pangeran Siddhartha. Ia wafat dan terlahir kembali sebagai dewa di surga Tusita. Untuk membalas budi ibu, Buddha membabarkan Dharma kepada ibunya. Untuk mendengarkan Dharma yang dibabarkan Buddha di surga Tavatimsa, ibunya turun dari surga Tusita.
Di Rajagaha, hiduplah seorang pemuda kaya bernama Sigala yang setiap hari menyembah keenam penjuru yaitu : ke timur, keselatan, ke barat, ke utara, ke bawah dan ke atas. Di Kosala, ada seorang murid yang disuruh oleh gurunya untuk mengumpulkan seribu jari orang sebagai bayaran sekolahnya. Karena kekejamannya, orang ini di juluki Angulimala ( sikalung jari)
Angulimala nyaris membunuh ibunya sendiri tetapi dicegah oleh Buddha yang menasehatinya untuk berhenti membunuh. Akhirnya Angulimala pun sadar menjadi bhikkhu dan mencapai kesucian. Suatu ketika, seorang ibu bernama Kisagotami meminta Buddha untuk menghidupkan kembali anaknya yang telah meninggal. Buddha meminta Kisagotami pergi ke desa untuk meminta segenggam biji lada dari rumah yang belum pernah ada anggota keluarganya yang meninggal.
Kisagotami pergi ke desa namun tidak berhasil mendapatkan rumah yang belum pernah ada keluarganya yang meninggal. Akhirnya ia sadar bahwa semua yang hidup pasti akan mati. Kisagotami kembali kepada Buddha dan menjadi siswa Buddha. Patacara adalah wanita yang kehilangan seluruh keluarganya dalam satu malam. Dalam perjalanan, suaminya mati dipatuk ular, bayinya yang baru lahir di sambar elang dan putra sulungnya hanyut di sungai. Sesampai di rumah ternyata ayah, ibu dan saudaranya telah mati terkena badai. Iapun menjadi tidak waras.
Buddha menyembuhkan dan mengajarkan Dharma kepada Patacara yang akhirnya berhasil mencapai kesucian.
Kekuatan cinta kasih Buddha sangat hebat. Devadatta yang iri kepada Buddha, suatu ketika mencoba membunuh Buddha dengan melepaskan Nalagiri, seekor gajah istana. Nalagiri yang besar dan buas diberi minuman keras lalu dilepaskan di jalan yang akan dilalui oleh Buddha. Nalagiri yang mabuk berlari menghancurkan apa yang ada dihadapannya, membuat semua orang ketakutan. Buddha memancarkan cinta kasihnya kepada gajah itu. Semenjak itu Nalagiri menjadi gajah yang patuh, jinak dan lembut sepanjang hayatnya.
Tahun 543 SM pada usia 80 tahun, setelah 45 tahun membabarkan Dharma, Buddha pun wafat (parinibbana). Buddha wafaat dengan berbaring di antara dua pohon sala di Kusinagara pada hari purnama bulan Waisak. Guru para dewa dan manusia yang tiada taranya telah pergi. Sebelum wafat, Buddha menyampaikan pesan terakhirnya kepada kita semua teruslah berjuang dengan penuh kesadaran (appamadena sampadetha)