Selasa, 02 Agustus 2011

Jepang: China Makin Meresahkan

TOKYO, SELASA  - Jepang menyuarakan kekhawatirannya terhadap peningkatan kemampuan militer China dan sikap negara itu yang makin asertif terhadap tetangga-tetangganya di kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara.

Dalam laporan tahunan atau buku putih pertahanan Jepang tahun 2011, yang dirilis Selasa (2/8), Jepang memilih kata ”asertif” untuk menggambarkan posisi China dalam ”berbagai kepentingan yang bertentangan dengan negara-negara tetangganya, termasuk Jepang”.
”Kami (sengaja) memilih ekspresi seperti itu karena kami berpikir seluruh komunitas internasional mungkin juga menganggapnya seperti itu. Ini adalah satu cara untuk menyampaikan harapan kami bahwa China akan menangani masalah ini dengan cara bersahabat,” ungkap Menteri Pertahanan Jepang Toshimi Kitazawa.

Jepang tahun lalu terlibat dalam ketegangan diplomatik dengan China setelah kapal patrolinya bertabrakan dengan kapal nelayan China di dekat rangkaian kepulauan yang diperebutkan dengan China, yakni Kepulauan Senkaku atau Diaoyu, menurut versi China.

Buku putih itu juga menuduh China tidak transparan dalam mengumumkan belanja sektor pertahanannya. Anggaran pertahanan China yang diumumkan tiap tahun, kata laporan itu, diduga hanya sebagian dari anggaran yang sesungguhnya.

Laporan Jepang ini menggarisbawahi kekhawatiran negara-negara tetangga China lainnya terhadap pertumbuhan kekuatan militer China. Tahun ini, China sudah mengejutkan dunia dengan menguji coba pesawat tempur berteknologi stealth pertama buatan sendiri dan mengakui sedang membangun kapal induk dari bekas kapal induk milik Uni Soviet.

Akui rudal pembunuh
Beberapa pekan lalu, Panglima Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) China Jenderal Chen Bingde membenarkan pihaknya juga tengah mengembangkan peluru kendali (rudal) balistik antikapal perang Dong Feng DF-21D.

Di kalangan intelijen dan militer Barat, rudal ini dijuluki ”pembunuh kapal induk” karena diduga dirancang khusus untuk melumpuhkan kapal-kapal induk milik AS. Jika rudal itu dioperasikan, ruang gerak satuan tempur kapal induk dari Armada Ketujuh AS di Samudra Pasifik akan menjadi terbatas, terutama di kawasan Pasifik Barat.

Selama ini, kabar tentang ”pembunuh kapal induk” tersebut hanya beredar di kalangan intelijen dan dalam bentuk rumor di kalangan peminat teknologi militer di internet. Pernyataan Jenderal Chen, yang dikutip majalah Jane’s Defence Weekly (JDW) edisi 20 Juli, ini menjadi konfirmasi pertama keberadaan rudal tersebut.

Meski demikian, Chen menegaskan rudal tersebut masih dalam tahap pengembangan dan dirancang untuk keperluan pertahanan semata. ”Rudal ini masih menjalani berbagai uji eksperimental. Jika sukses, nantinya (hanya) akan digunakan sebagai senjata untuk bertahan, bukan untuk menyerang,” katanya, 11 Juli lalu.

Chen tidak menjelaskan detail spesifikasi rudal tersebut, termasuk daya jangkaunya. Harian China Daily waktu itu menyebut rudal DF-21D bisa mengenai sasaran sejauh 2.700 kilometer. Namun, menurut kantor Intelijen Angkatan Laut AS, rudal itu hanya berdaya jangkau 1.500 km.

Pengaruhi kawasan
Andrew Erickson, pakar strategi dari US Naval War College, mengatakan, pernyataan Chen menunjukkan militer China telah yakin bahwa tahap pengembangan rudal itu sudah sampai pada tahap matang dan cukup untuk memengaruhi pola pikir strategis negara-negara tetangga di kawasan.

Hal itu tercermin dari laporan tahunan Jepang ini. Menurut Jepang, pembangunan militer dan pergerakan pasukan China di kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara, yang tidak terbuka, memicu kekhawatiran negara-negara di kawasan.

”Kebijakan pertahanan dan pergerakan militer yang tertutup ini menjadi sumber kekhawatiran di kawasan, termasuk Jepang, dan seluruh komunitas internasional. Kami perlu mempelajarinya secara hati-hati,” cetus laporan tahunan pertahanan Jepang tersebut.

Beberapa bulan terakhir, China juga terlibat ketegangan diplomatik dengan Vietnam dan Filipina terkait klaimnya atas wilayah Laut China Selatan. Dua negara ini kemudian mendekat ke AS, yang diharapkan bisa membantu menghadapi agresivitas China. (AFP/DHF)

http://internasional.kompas.com/read/2011/08/03/07323773/