Mungkin untuk ongkos naik angkot atau makanan ringan anak-anak, mungkin anak-anak akan cemberut apabila dikasih uang saku seharga satu botol air mineral.
Tetapi bisakah kamu bayangkan ribuan perak itu bisa untuk makan di warung prasmanan? Luar biasa dan membingungkan!
Tapi, semua itu nyata dan terjadi di Pulau Formosa, Taiwan.
Sesosok nenek 95 tahun yang membuat orang-orang meneteskan air mata saking baiknya.
Seumur hidupnya hanya dicurahkan untuk hal yang menghangatkan ini, warung prasmanan seharga 10 NTD atau sekitar 4.000 perak (1 NTD = 439.4 kurs Juni 2017).
Nek, kenapa kasih begitu banyak!”
”Tidak apa-apa, tidak apa-apa, kalau makan harus kenyang, makan yang kenyang!”
Sementara tamu yang makan itu memasukkan 10 NTD ke dalam keleng di samping meja masakan.
Pemandangan seperti itu bisa disaksikan setiap hari di jembatan taman di seperti itu terjadi di jembatan taman di kota Kaohsiung, Taiwan.
Ikan kukus kecap, daging masak kecap, jagung, sosis, nasi…yang dipadukan dengan beberapa sayuran, semuanya lengkap. Harganya semua itu hanya 10 NTD atau sekitar 4.000 rupiah.
Tidak hanya itu, kamu juga bisa makan sepuasnya.
Ada yang bertanya pada nenek, “Murah sekali nek, apa nenek bisa untung?”
Jujur saja, mana mungkin bisa untung. Yang ada malah rugi, mustahil bisa untung !
Di warung inilah, nenek telah membuka usaha ruginya selama 55 tahun !
Anda pasti bertanya-tanya, siapa sosok nenek yang baik hati ini?
Mengapa di usianya yang sudah senja, masih menjajakan usaha ruginya di bawah terpaan angin dan hujan?
Nenek ini bukanlah sosok seorang bintang atau tokoh terkenal, dia hanyalah orang tua biasa.
Tapi nenek ini memiliki sekeping hati yang mulia. Kemudian menghangatkan jiwa dan perut orang-orang yang tak terhitung banyaknya dengan kebaikan hatinya.
Prasmanan seharga Rp. 4.000 ini sebagai balas budinya.
Nenek ini bernama Zhuang Zhu Yu, pindah ke Kaohsiung pada usia 16 tahun.
Tak lama setelah menikah, suaminya dikirim dinas sebagai tentara di Nanyang untuk melawan penjajahan Jepang.
Ia yang awalnya hidup seorang diri, akhirnya mendapatkan bantuan dari seorang pekerja di pelabuhan.
Hal ini membuatnya sangat terharu, dan selalu diingatnya sepanjang hayat.
Kemudian setelah suaminya kembali ke Taiwan, usahanya makin membaik dan maju.
Ia mulai membantu para pekerja di pelabuhan yang kesusahan, meminjamkan gudangnya sebagai tempat tinggal secara cuma-cuma.
Perlahan, ia melihat bahwa kehidupan para pekerja itu sangat susah. Kerjanya berat tapi bayarannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup, bahkan untuk tidur saja tidak ada tempatnya.
Dia terbayang dengan budi dari kuli di pelabuhan yang pernah membantunya, maka ia mulai memasak makanan bagi para pekerja tersebut tanpa menerima bayaran sepeser pun.
Ia tidak mengharapkan imbalan apapun dari mereka.
Hal yang mengharukan dari ketulusan nenek ini, adalah ia melakukan pekerjaan itu seumur hidup.
Setiap pagi ke pasar belanja sayur-mayur, kemudian menyiapkan masakannya, mulai dari mencuci sayur, memasak dan sebagainya semuanya disiapkan sendiri.
Itu dilakukan agar para pekerja bisa makan di pagi hari. Nenek selalu membuka warungnya tanpa istirahat, tidak peduli badai angin atau hujan, ia selalu melayani para kuli kasar dengan ikhlas.
Kebaikan hatinya kemudian tersebar luas. Bukan hanya pekerja pelabuhan orang-orang miskin dan gelandangan di sekitar silih berganti ke warungnya.
Makanan simpati secara cuma-cuma, satu hari lebih dari 200 orang makan di warungnya.
Hal ini membuat si nenek semakin gigih. Dia merasa itu hal-hal kecil yang bisa dilakukannya.
Karena dapat membantu lebih banyak orang membuat si nenek semakin bersemangat.
Namun, setiap hari memasok begitu banyak orang untuk makan juga bukanlah pengeluaran yang kecil.
Berapa lama nenek bisa bertahan dengan subsidinya yang tiada henti itu?
Agar punya uang untuk belanja sayur-mayur, kemudian ia mulai menerima bayaran 3 NTD atau sekitar 1300 perak, atau Rp. 2100 perak,- Semua harga jual itu berlangsung selama 10 tahun.
Sampai 10 tahun kemudian, nenek baru menaikkan menjadi 10 NTD atau sekitar 4000 rupiah.
Namun, sang nenek tidak akan menerima sepeserpun jika orang yang makan di warungnya itu benar-benar kesulitan.
Ia hanya melambaikan tangannya, sambil berkata, “Sudahlah tidak usah! Kalau tidak cukup tambah saja.”
Semua orang tahu perlu uang untuk membeli sayur-mayur. Tapi jika hanya dua dolar per orang untuk sekali makan, jangankan menopang kehidupan nenek sehari-hari, bahkan uang untuk membeli sayuran saja tidak cukup setiap hari!
Nenek Zhuang selalu memikirkan solusinya. Misalnya, setiap hari setelah tutup warung, ia bekerja sebagai pemungut sampah untuk tambahan uang belanja atau menggunakan uang pemberian anak-anaknya.
Belakangan ia bahkan menjual tujuh rumahnya. Bahkan berutang 500.000 NTD atau sekitar Rp. 219.7 juta.
Karena dia tidak hanya memasak untuk makan para kuli bangunan, saat pekerja bangunan tidak punya uang untuk biaya nikah, nenek Zhuang pasti akan membantu dengan uangnya sendiri untuk akad nikah mereka.
Seakan-akan ia telah mengganggap para pekerja di pelabuhan itu seperti kerabatnya sendiri!
Baik putra dan putri nenek sendiri, atau tetangganya tidak bisa memahami semua yang dilakukan nenek.
Para penduduk disini tidak ada yang bisa mengerti dengan nenek itu. Mengapa pekerjaan yang tidak ada hasilnya itu terus dipertahankan?
Apalagi usia nenek sudah semakin senja, fisiknya sudah tidak memungkinkannya begitu terus.
Namun, tidak ada satu pun orang yang mampu mencegahnya.
Jika direnungkan, banyak orang yang mampu membantu orang-orang miskin.
Tapi, mereka lebih suka berfoya-foya menghamburkan uang. Tidak pernah berpikir untuk membantu orang lain yang membutuhkan.
Orang yang membantu justeru seorang nenek yang hampir bangkrut. Dan sekali bantu juga bukan dalam hitungan hari, tapi selama 55 tahun, bayangkan!
Nenek Zhuang juga sering menasehati anak-anaknya, “Kalau ada kesempatan bantu-bantulah orang lain, ini adalah berkah kebaikan.”
Meski dililit penyakit, tapi curahan cinta kasih nenek Zhuang tidak pernah berhenti.
Di usianya ke- 70 tahun saat itu, karena kondisi fisiknya ia harus mengurangi menunya dari tiga kali menjadi dua kali.
Saat berusia 80 tahun, akhirnya nenek Zhuang pun jatuh sakit. Ia yang telah bekerja keras sepanjang hidupnya terbaring lemah di tempat tidur.
Tubuhnya kurus, membuat miris ketika melihat kondisinya sekarang.
Tapi dia masih mencemaskan para pekerja di dermaga. Cemas apakah orang-orang miskin di sana sudah makan atau belum.
Baru saja sedikit membaik, nenek Zhuang bersikeras mau ke warungnya, membuat keluarganya tak berdaya membujuknya.
Akhirnya keluarga terpaksa mengizinkannya cukup masak satu kali saja untuk pekerja.
Tapi, bagaimanapun juga, karena faktor usianya yang sudah senja, tidak lama kemudian nenek Zhuang stroke, dan harus istirahat di ranjang.
Kali ini, kondisi penyakitnya cukup memprihatinkan. Sebesar apapun cinta kasih dan kebaika tetap tak sanggup melawan serangan momok penyakit.
5 tahun kemudian, nenek akhirnya pergi untuk selamanya.
Sosok orang yang membuka warung kecil dan pernah membantu orang-orang miskin yang tak terhitung banyaknya ketika itu kini tidak akan pernah kembali lagi.
Nenek Zhuang yang telah menginjak usia 96 tahun itu telah meninggalkan warung kasih sayangnya.
Saat perpisahan itu, lebih dari 2.000 orang secara spontan turut mengantar kepergian nenek Zhuang ke peristirahatan terakhirnya.
Untuk karangan bunga saja mencapai ratusan meter panjangnya di sisi kiri kanan jalan.
Chen Jinzhang (79), mantan pekerja di dermaga yang setiap hari menikmati masakan nenek Zhuang itu tampak menangis sesenggukan seperti anak kecil.
”Kita tidak akan pernah bisa lagi menikmati masakan nenek,” kataya terisak.
Sebagian besar yang datang mengantar kepergian nenek adalah para pekerja pelabuhan. Mereka semua pernah merasakan kasih dan karunia nenek Zhuang.
Mata para pekerja tampak berkaca-kaca dan meneteskan air mata begitu membayangkan kehangatan semangkuk nasi dari nenek Zhuang di tengah penderitaan hidup mereka ketika itu.
Tapi yang menyejukkan, anak-anak dari nenek Zhuang kemudian mendirikan yayasan amal saat memperingati tahun pertama kematian nenek Zhuang. Mereka berharap bisa meneruskan kebaikan dan kasih sayang ibunya.
Mungkin kita tidak punya kekuatan yang dahsyat untuk mengubah dunia, tapi di dunia yang rasa simpati dan empatinya yang tipis ini.
Semangkuk nasi mungkin benar-benar merupakan seberkas kehangatan sepanjang hayat. Sebuah tindakan yang tulus ikhlas menyebarkan energi positif ke segenap penjuru masyarakat.
Semoga dunia ini bisa menjadi lebih indah karena kebaikan kita semua, dan semoga setiap orang yang baik bisa dihangatkan oleh dunia ini.
Akhir kata selamat jalan nenek Zhuang yang baik! Semoga tenang di sisi Tuhan…
http://www.erabaru.net/2017/06/16/nenek-96-tahun-ini-menjalankan-usaha-ruginya-selama-55-tahun-bahkan-meninggalkan-hutang-ternyata-semua-ini-demi/5/
Seumur hidupnya hanya dicurahkan untuk hal yang menghangatkan ini, warung prasmanan seharga 10 NTD atau sekitar 4.000 perak (1 NTD = 439.4 kurs Juni 2017).
Nek, kenapa kasih begitu banyak!”
”Tidak apa-apa, tidak apa-apa, kalau makan harus kenyang, makan yang kenyang!”
Sementara tamu yang makan itu memasukkan 10 NTD ke dalam keleng di samping meja masakan.
Pemandangan seperti itu bisa disaksikan setiap hari di jembatan taman di seperti itu terjadi di jembatan taman di kota Kaohsiung, Taiwan.
Ikan kukus kecap, daging masak kecap, jagung, sosis, nasi…yang dipadukan dengan beberapa sayuran, semuanya lengkap. Harganya semua itu hanya 10 NTD atau sekitar 4.000 rupiah.
Tidak hanya itu, kamu juga bisa makan sepuasnya.
Ada yang bertanya pada nenek, “Murah sekali nek, apa nenek bisa untung?”
Jujur saja, mana mungkin bisa untung. Yang ada malah rugi, mustahil bisa untung !
Di warung inilah, nenek telah membuka usaha ruginya selama 55 tahun !
Anda pasti bertanya-tanya, siapa sosok nenek yang baik hati ini?
Mengapa di usianya yang sudah senja, masih menjajakan usaha ruginya di bawah terpaan angin dan hujan?
Nenek ini bukanlah sosok seorang bintang atau tokoh terkenal, dia hanyalah orang tua biasa.
Tapi nenek ini memiliki sekeping hati yang mulia. Kemudian menghangatkan jiwa dan perut orang-orang yang tak terhitung banyaknya dengan kebaikan hatinya.
Prasmanan seharga Rp. 4.000 ini sebagai balas budinya.
Nenek ini bernama Zhuang Zhu Yu, pindah ke Kaohsiung pada usia 16 tahun.
Tak lama setelah menikah, suaminya dikirim dinas sebagai tentara di Nanyang untuk melawan penjajahan Jepang.
Ia yang awalnya hidup seorang diri, akhirnya mendapatkan bantuan dari seorang pekerja di pelabuhan.
Hal ini membuatnya sangat terharu, dan selalu diingatnya sepanjang hayat.
Kemudian setelah suaminya kembali ke Taiwan, usahanya makin membaik dan maju.
Ia mulai membantu para pekerja di pelabuhan yang kesusahan, meminjamkan gudangnya sebagai tempat tinggal secara cuma-cuma.
Perlahan, ia melihat bahwa kehidupan para pekerja itu sangat susah. Kerjanya berat tapi bayarannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup, bahkan untuk tidur saja tidak ada tempatnya.
Dia terbayang dengan budi dari kuli di pelabuhan yang pernah membantunya, maka ia mulai memasak makanan bagi para pekerja tersebut tanpa menerima bayaran sepeser pun.
Ia tidak mengharapkan imbalan apapun dari mereka.
Hal yang mengharukan dari ketulusan nenek ini, adalah ia melakukan pekerjaan itu seumur hidup.
Setiap pagi ke pasar belanja sayur-mayur, kemudian menyiapkan masakannya, mulai dari mencuci sayur, memasak dan sebagainya semuanya disiapkan sendiri.
Itu dilakukan agar para pekerja bisa makan di pagi hari. Nenek selalu membuka warungnya tanpa istirahat, tidak peduli badai angin atau hujan, ia selalu melayani para kuli kasar dengan ikhlas.
Kebaikan hatinya kemudian tersebar luas. Bukan hanya pekerja pelabuhan orang-orang miskin dan gelandangan di sekitar silih berganti ke warungnya.
Makanan simpati secara cuma-cuma, satu hari lebih dari 200 orang makan di warungnya.
Hal ini membuat si nenek semakin gigih. Dia merasa itu hal-hal kecil yang bisa dilakukannya.
Karena dapat membantu lebih banyak orang membuat si nenek semakin bersemangat.
Namun, setiap hari memasok begitu banyak orang untuk makan juga bukanlah pengeluaran yang kecil.
Berapa lama nenek bisa bertahan dengan subsidinya yang tiada henti itu?
Agar punya uang untuk belanja sayur-mayur, kemudian ia mulai menerima bayaran 3 NTD atau sekitar 1300 perak, atau Rp. 2100 perak,- Semua harga jual itu berlangsung selama 10 tahun.
Sampai 10 tahun kemudian, nenek baru menaikkan menjadi 10 NTD atau sekitar 4000 rupiah.
Namun, sang nenek tidak akan menerima sepeserpun jika orang yang makan di warungnya itu benar-benar kesulitan.
Ia hanya melambaikan tangannya, sambil berkata, “Sudahlah tidak usah! Kalau tidak cukup tambah saja.”
Semua orang tahu perlu uang untuk membeli sayur-mayur. Tapi jika hanya dua dolar per orang untuk sekali makan, jangankan menopang kehidupan nenek sehari-hari, bahkan uang untuk membeli sayuran saja tidak cukup setiap hari!
Nenek Zhuang selalu memikirkan solusinya. Misalnya, setiap hari setelah tutup warung, ia bekerja sebagai pemungut sampah untuk tambahan uang belanja atau menggunakan uang pemberian anak-anaknya.
Belakangan ia bahkan menjual tujuh rumahnya. Bahkan berutang 500.000 NTD atau sekitar Rp. 219.7 juta.
Karena dia tidak hanya memasak untuk makan para kuli bangunan, saat pekerja bangunan tidak punya uang untuk biaya nikah, nenek Zhuang pasti akan membantu dengan uangnya sendiri untuk akad nikah mereka.
Seakan-akan ia telah mengganggap para pekerja di pelabuhan itu seperti kerabatnya sendiri!
Baik putra dan putri nenek sendiri, atau tetangganya tidak bisa memahami semua yang dilakukan nenek.
Para penduduk disini tidak ada yang bisa mengerti dengan nenek itu. Mengapa pekerjaan yang tidak ada hasilnya itu terus dipertahankan?
Apalagi usia nenek sudah semakin senja, fisiknya sudah tidak memungkinkannya begitu terus.
Namun, tidak ada satu pun orang yang mampu mencegahnya.
Jika direnungkan, banyak orang yang mampu membantu orang-orang miskin.
Tapi, mereka lebih suka berfoya-foya menghamburkan uang. Tidak pernah berpikir untuk membantu orang lain yang membutuhkan.
Orang yang membantu justeru seorang nenek yang hampir bangkrut. Dan sekali bantu juga bukan dalam hitungan hari, tapi selama 55 tahun, bayangkan!
Nenek Zhuang juga sering menasehati anak-anaknya, “Kalau ada kesempatan bantu-bantulah orang lain, ini adalah berkah kebaikan.”
Meski dililit penyakit, tapi curahan cinta kasih nenek Zhuang tidak pernah berhenti.
Di usianya ke- 70 tahun saat itu, karena kondisi fisiknya ia harus mengurangi menunya dari tiga kali menjadi dua kali.
Saat berusia 80 tahun, akhirnya nenek Zhuang pun jatuh sakit. Ia yang telah bekerja keras sepanjang hidupnya terbaring lemah di tempat tidur.
Tubuhnya kurus, membuat miris ketika melihat kondisinya sekarang.
Tapi dia masih mencemaskan para pekerja di dermaga. Cemas apakah orang-orang miskin di sana sudah makan atau belum.
Baru saja sedikit membaik, nenek Zhuang bersikeras mau ke warungnya, membuat keluarganya tak berdaya membujuknya.
Akhirnya keluarga terpaksa mengizinkannya cukup masak satu kali saja untuk pekerja.
Tapi, bagaimanapun juga, karena faktor usianya yang sudah senja, tidak lama kemudian nenek Zhuang stroke, dan harus istirahat di ranjang.
Kali ini, kondisi penyakitnya cukup memprihatinkan. Sebesar apapun cinta kasih dan kebaika tetap tak sanggup melawan serangan momok penyakit.
5 tahun kemudian, nenek akhirnya pergi untuk selamanya.
Sosok orang yang membuka warung kecil dan pernah membantu orang-orang miskin yang tak terhitung banyaknya ketika itu kini tidak akan pernah kembali lagi.
Nenek Zhuang yang telah menginjak usia 96 tahun itu telah meninggalkan warung kasih sayangnya.
Saat perpisahan itu, lebih dari 2.000 orang secara spontan turut mengantar kepergian nenek Zhuang ke peristirahatan terakhirnya.
Untuk karangan bunga saja mencapai ratusan meter panjangnya di sisi kiri kanan jalan.
Chen Jinzhang (79), mantan pekerja di dermaga yang setiap hari menikmati masakan nenek Zhuang itu tampak menangis sesenggukan seperti anak kecil.
”Kita tidak akan pernah bisa lagi menikmati masakan nenek,” kataya terisak.
Sebagian besar yang datang mengantar kepergian nenek adalah para pekerja pelabuhan. Mereka semua pernah merasakan kasih dan karunia nenek Zhuang.
Mata para pekerja tampak berkaca-kaca dan meneteskan air mata begitu membayangkan kehangatan semangkuk nasi dari nenek Zhuang di tengah penderitaan hidup mereka ketika itu.
Tapi yang menyejukkan, anak-anak dari nenek Zhuang kemudian mendirikan yayasan amal saat memperingati tahun pertama kematian nenek Zhuang. Mereka berharap bisa meneruskan kebaikan dan kasih sayang ibunya.
Mungkin kita tidak punya kekuatan yang dahsyat untuk mengubah dunia, tapi di dunia yang rasa simpati dan empatinya yang tipis ini.
Semangkuk nasi mungkin benar-benar merupakan seberkas kehangatan sepanjang hayat. Sebuah tindakan yang tulus ikhlas menyebarkan energi positif ke segenap penjuru masyarakat.
Semoga dunia ini bisa menjadi lebih indah karena kebaikan kita semua, dan semoga setiap orang yang baik bisa dihangatkan oleh dunia ini.
Akhir kata selamat jalan nenek Zhuang yang baik! Semoga tenang di sisi Tuhan…
http://www.erabaru.net/2017/06/16/nenek-96-tahun-ini-menjalankan-usaha-ruginya-selama-55-tahun-bahkan-meninggalkan-hutang-ternyata-semua-ini-demi/5/