Di dekat candi yang ditemukan pada 1950-an itu menjulang Candi Tinggi. Kedua candi itu dipisahkan pagar-pagar pembatas yang juga terbuat dari bata merah. Tidak jauh dari sana, sekitar 300 meter, ada kanal atau saluran air selebar 4-5 meter yang sudah tertutup semak belukar, juga permukiman penduduk.
”Sayang sekali kanalnya sudah tertutup semak. Kalau tidak, perahu masih bisa lewat sana. Tetapi, rencananya, tahun 2010 akan dibuka,” kata Ahok (31), pemandu wisata sekaligus anggota Balai Kreasi Pemuda Candi Muaro Jambi (BKPCMJ), Selasa (15/12).
Berdasarkan catatan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3), ada 82 situs candi di Kompleks Candi Muaro Jambi. Namun, baru delapan yang dipugar secara bertahap dan kurang dari 20 situs candi yang telah memiliki nama. Adapun nama candi-candi tersebut biasanya diberikan oleh masyarakat yang tinggal di sekitar candi. Seperti nama gumpung yang berarti patah dalam bahasa setempat.
Jarak antarcandi sebenarnya tidak berjauhan. Bisa ditempuh dengan berjalan kaki sambil menikmati suguhan pemandangan alam yang asri dan bebas polusi. Apalagi jika berkunjung pada musim duku atau durian, lebih nikmat lagi. Bisa mencicipi buah-buahan sambil berwisata sejarah.
Tak seperti candi-candi di Jawa, candi peninggalan Kerajaan Sriwijaya ini unik. Sebab, terdapat kanal dan parit yang saling tersambung dan berujung di Sungai Batanghari.
Kanal-kanal itu menghubungkan satu candi dengan candi lain. Jarak kanal dengan candi tidak jauh, hanya 200-300 meter. Bahkan, parit-parit selebar 2-3 meter yang dibangun di depan candi diduga juga menjadi salah satu akses memasuki candi dari jalur kanal.
Saat ini, sejumlah kanal masih ada yang berfungsi dan sudah ada yang dikeruk. ”Ada kemungkinan, dulu orang datang ke candi-candi ini memakai perahu melewati kanal yang tersambung dengan Sungai Batanghari,” kata Ahok.
Menurut Agus Widiatmoko dari Bagian Publikasi dan Dokumentasi BP3 Jambi, kanal di Kompleks Candi Muaro Jambi mempunyai dua fungsi simbolis. Pertama, kompleks candi dibangun sebagai bentuk makrokosmos. Dalam hal ini, kanal diibaratkan samudra, sedangkan candi adalah gunung-gunungnya. Fungsi kedua, jalur transportasi yang menghubungkan antarcandi. Aliran kanal yang menuju ke barat itu berkebalikan dengan aliran Sungai Batanghari yang ke arah timur. Oleh karena itu, umumnya gerbang masuk ke tiap candi adalah dari timur.
Sayangnya, sebagian kanal dan parit sudah tertutup oleh gundukan tanah, semak, juga rumah-rumah. Salah satunya adalah kanal yang membelah Kampung Danau Kelari dengan Kampung Sungai Melayu yang telah tertutup permukiman padat. Padahal, kanal yang berujung di Sungai Batanghari itu menembus sampai ke Candi Gumpung. Dari kanal itu menyambung ke kanal lain yang melintasi Candi Kedaton, Gedong I dan Gedong II.
Daya tarik wisata
Sebenarnya, kanal-kanal tersebut merupakan daya tarik tersendiri dari Kompleks Candi Muaro Jambi. Sebuah magnet baru yang mampu menjadi modal untuk mendatangkan lebih banyak lagi wisatawan. Para pengunjung tak perlu melintasi jalan darat yang berputar-putar. Bahkan, dengan perahu, mereka bisa meneruskan perjalanan ke seberang Sungai Batanghari untuk mencapai Candi Teluk dan Candi Astano.
Kehidupan masyarakat di sekitar kanal juga menjadi daya tarik wisata, terutama bagi wisatawan asing yang menggemari suasana alami dan tradisional dalam aktivitas liburannya. Keinginan menjadikan paket wisata perjalanan air, kata Ahok, sudah dipikirkan BKPCMJ dan BP3. Rute perjalanan dimulai dari Candi Gumpung, menyusuri kanal dan parit yang melintasi beberapa candi, kemudian berakhir di Danau Lamo.
Pengunjung pun dipersilakan menikmati durian yang jatuh dari pohon.
Agus menambahkan, bukan hanya kanal, tetapi danau-danau kecil yang terbentuk di antara kanal, juga Sungai Batanghari, pun adalah obyek wisata yang menarik untuk dikembangkan menjadi wisata air. ”Orang ke Candi Muaro Jambi tak perlu lagi melalui darat (jaraknya sekitar 41 kilometer dari Kota Jambi), tapi bisa lewat jalur air. Lebih cepat dan menarik,” kata Agus.
Wisata sejarah tak dimungkiri merupakan cerita yang menarik untuk dibagikan kepada turis. Candi yang dibangun sejak abad VIII hingga terakhir digunakan pada awal abad XIII itu bukan hanya tempat beribadah umat Buddha, tetapi juga pusat pendidikan ajaran Buddha di masa Kerajaan Sriwijaya. Selain Kerajaan Sriwijaya, candi itu juga dimanfaatkan Kerajaan Melayu yang pada abad XIII hijrah ke daerah Pagaruyung, Sumatera Barat.
Tentu saja ini tak mudah. Pemerintah daerah harus serius menyediakan infrastruktur pariwisata untuk menunjang pengembangan wisata di kompleks candi ini. Kini akses jalan menuju Candi Muaro Jambi sudah memadai, tetapi fasilitas penginapan dan restoran masih belum ada. Tidak hanya itu, masyarakat di Desa Danau Lamo pun perlu menyiapkan diri menjadi masyarakat desa wisata. Lebih terbuka serta kreatif menciptakan kegiatan wisata dan budaya. Maksudnya, mengundang orang untuk datang berkunjung.
”Saya tahu, pekerjaan seperti ini awalnya butuh keikhlasan karena hasilnya tidak bisa dinikmati sekarang. Namun, jika sektor wisata di sini maju, akan banyak lapangan pekerjaan yang tercipta,” kata Ahok. (THT)
http://travel.kompas.com/read/2009/12/23/03554779/
”Sayang sekali kanalnya sudah tertutup semak. Kalau tidak, perahu masih bisa lewat sana. Tetapi, rencananya, tahun 2010 akan dibuka,” kata Ahok (31), pemandu wisata sekaligus anggota Balai Kreasi Pemuda Candi Muaro Jambi (BKPCMJ), Selasa (15/12).
Berdasarkan catatan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3), ada 82 situs candi di Kompleks Candi Muaro Jambi. Namun, baru delapan yang dipugar secara bertahap dan kurang dari 20 situs candi yang telah memiliki nama. Adapun nama candi-candi tersebut biasanya diberikan oleh masyarakat yang tinggal di sekitar candi. Seperti nama gumpung yang berarti patah dalam bahasa setempat.
Jarak antarcandi sebenarnya tidak berjauhan. Bisa ditempuh dengan berjalan kaki sambil menikmati suguhan pemandangan alam yang asri dan bebas polusi. Apalagi jika berkunjung pada musim duku atau durian, lebih nikmat lagi. Bisa mencicipi buah-buahan sambil berwisata sejarah.
Tak seperti candi-candi di Jawa, candi peninggalan Kerajaan Sriwijaya ini unik. Sebab, terdapat kanal dan parit yang saling tersambung dan berujung di Sungai Batanghari.
Kanal-kanal itu menghubungkan satu candi dengan candi lain. Jarak kanal dengan candi tidak jauh, hanya 200-300 meter. Bahkan, parit-parit selebar 2-3 meter yang dibangun di depan candi diduga juga menjadi salah satu akses memasuki candi dari jalur kanal.
Saat ini, sejumlah kanal masih ada yang berfungsi dan sudah ada yang dikeruk. ”Ada kemungkinan, dulu orang datang ke candi-candi ini memakai perahu melewati kanal yang tersambung dengan Sungai Batanghari,” kata Ahok.
Menurut Agus Widiatmoko dari Bagian Publikasi dan Dokumentasi BP3 Jambi, kanal di Kompleks Candi Muaro Jambi mempunyai dua fungsi simbolis. Pertama, kompleks candi dibangun sebagai bentuk makrokosmos. Dalam hal ini, kanal diibaratkan samudra, sedangkan candi adalah gunung-gunungnya. Fungsi kedua, jalur transportasi yang menghubungkan antarcandi. Aliran kanal yang menuju ke barat itu berkebalikan dengan aliran Sungai Batanghari yang ke arah timur. Oleh karena itu, umumnya gerbang masuk ke tiap candi adalah dari timur.
Sayangnya, sebagian kanal dan parit sudah tertutup oleh gundukan tanah, semak, juga rumah-rumah. Salah satunya adalah kanal yang membelah Kampung Danau Kelari dengan Kampung Sungai Melayu yang telah tertutup permukiman padat. Padahal, kanal yang berujung di Sungai Batanghari itu menembus sampai ke Candi Gumpung. Dari kanal itu menyambung ke kanal lain yang melintasi Candi Kedaton, Gedong I dan Gedong II.
Daya tarik wisata
Sebenarnya, kanal-kanal tersebut merupakan daya tarik tersendiri dari Kompleks Candi Muaro Jambi. Sebuah magnet baru yang mampu menjadi modal untuk mendatangkan lebih banyak lagi wisatawan. Para pengunjung tak perlu melintasi jalan darat yang berputar-putar. Bahkan, dengan perahu, mereka bisa meneruskan perjalanan ke seberang Sungai Batanghari untuk mencapai Candi Teluk dan Candi Astano.
Kehidupan masyarakat di sekitar kanal juga menjadi daya tarik wisata, terutama bagi wisatawan asing yang menggemari suasana alami dan tradisional dalam aktivitas liburannya. Keinginan menjadikan paket wisata perjalanan air, kata Ahok, sudah dipikirkan BKPCMJ dan BP3. Rute perjalanan dimulai dari Candi Gumpung, menyusuri kanal dan parit yang melintasi beberapa candi, kemudian berakhir di Danau Lamo.
Pengunjung pun dipersilakan menikmati durian yang jatuh dari pohon.
Agus menambahkan, bukan hanya kanal, tetapi danau-danau kecil yang terbentuk di antara kanal, juga Sungai Batanghari, pun adalah obyek wisata yang menarik untuk dikembangkan menjadi wisata air. ”Orang ke Candi Muaro Jambi tak perlu lagi melalui darat (jaraknya sekitar 41 kilometer dari Kota Jambi), tapi bisa lewat jalur air. Lebih cepat dan menarik,” kata Agus.
Wisata sejarah tak dimungkiri merupakan cerita yang menarik untuk dibagikan kepada turis. Candi yang dibangun sejak abad VIII hingga terakhir digunakan pada awal abad XIII itu bukan hanya tempat beribadah umat Buddha, tetapi juga pusat pendidikan ajaran Buddha di masa Kerajaan Sriwijaya. Selain Kerajaan Sriwijaya, candi itu juga dimanfaatkan Kerajaan Melayu yang pada abad XIII hijrah ke daerah Pagaruyung, Sumatera Barat.
Tentu saja ini tak mudah. Pemerintah daerah harus serius menyediakan infrastruktur pariwisata untuk menunjang pengembangan wisata di kompleks candi ini. Kini akses jalan menuju Candi Muaro Jambi sudah memadai, tetapi fasilitas penginapan dan restoran masih belum ada. Tidak hanya itu, masyarakat di Desa Danau Lamo pun perlu menyiapkan diri menjadi masyarakat desa wisata. Lebih terbuka serta kreatif menciptakan kegiatan wisata dan budaya. Maksudnya, mengundang orang untuk datang berkunjung.
”Saya tahu, pekerjaan seperti ini awalnya butuh keikhlasan karena hasilnya tidak bisa dinikmati sekarang. Namun, jika sektor wisata di sini maju, akan banyak lapangan pekerjaan yang tercipta,” kata Ahok. (THT)
http://travel.kompas.com/read/2009/12/23/03554779/