Kata takjub mencuat karena luas kompleks percandian ini mencapai 2.062 hektar. Mulai dari lahan yang telah dikuasai Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jambi, kebun milik warga, hingga kanal-kanal penghubung antarcandi. Candi-candi yang tersebar di antara kanal inilah keunikan Kompleks Candi Muaro Jambi, yang tak ditemui di kompleks percandian lain di Nusantara.
Tercatat ada 11 candi utama yang ditemukan dan sebagian sudah dipugar, di antaranya Candi Gumpung, Candi Tinggi dan Tinggi I, Gedong I dan II, Kedaton, Koto Mahligai, Astano, Teluk I dan II, Bukit Sengalo, dan Kembar Batu. Hamparan candi itu belum termasuk 82 reruntuhan candi yang diperkirakan masih terkubur di dalam puluhan gundukan tanah, atau biasa disebut menapo oleh warga sekitar candi.
Bekas-bekas kanal dan parit di Candi Muaro Jambi merupakan konsep arsitektur tata kota zaman dulu yang menakjubkan. Parit selebar 2-3 meter dibuat mengelilingi candi dan berfungsi sebagai pembatas, sedangkan kanal selebar 6-10 meter dibuat mengular membelah candi-candi yang fungsinya sebagai jalur transportasi. Kanal pun menyambung dengan Sungai Batanghari.
Peneliti BP3 Jambi meyakini, transportasi utama menuju ke candi kala itu menggunakan perahu. Sistem transportasi ini tak ubahnya seperti kanal-kanal di Kota Venesia saat ini.
Ada empat kanal yang telah diberi nama, yaitu Kanal Jambi, Melayu, Terusan, dan Parit Johor. ”Selain kanal, ada Danau Kelari, sebuah danau kecil penghubung antarkanal,” kata Agus.
Selain kanal, ada dongeng menarik yang mengakar di kalangan warga sekitar candi, yaitu kisah tentang kegagalan Raja Datuk Paduka Berhala membangun sebuah candi setinggi langit dalam waktu semalam, yang diminta oleh Putri Pinang Masak. Karena jengkel, raja pun menendang candi tersebut hingga berserakan dan membentuk candi-candi kecil.
Selintas, cerita ini mirip legenda Bandung Bondowoso yang gagal membangun seribu candi untuk Roro Jonggrang, atau Sangkuriang yang tak berhasil membuat perahu serta danau untuk Dayang Sumbi.
Setelah dimanjakan rasa takjub, ironi pun muncul kala memandangi bata-bata merah yang menyusun candi itu keropos dimakan usia. Lumut hijau bersemu hitam merekat kuat, retakkan bata yang memanjang pun menjadi hiasan candi. Bahkan, hampir semua candi hanya terdiri atas bagian fondasi dan tubuhnya, sedangkan bagian atas tak terlacak entah ke mana.
Tembok dan gapura yang mengelilingi candi pun hampir tak terlihat bekasnya, seperti gapura dan tembok keliling Candi Gumpung—ditemukan tahun 1820 dan baru dipugar tahun 1982 hingga 1988—yang hanya tersisa bagian fondasinya setinggi betis hingga pinggang orang dewasa.
Ketua Kelompok Kerja Pemugaran BP3 Jambi Kristanto Januardi mengakui, sampai sekarang belum diketahui bagaimana desain bentuk bagian atas candi-candi di Kompleks Candi Muaro Jambi.
Belum ditemukan manuskrip yang menuliskan candi dibuat tahun berapa, bahkan oleh siapa. Sejumlah candi, seperti Astono atau Kedaton, yang diduga dibangun lebih dari satu tahap dengan masa pembuatan yang berbeda pun belum berdampingan dengan bukti prasasti atau catatan sejarahnya.
”Menapo”
Saat ini, Kompleks Candi Muaro Jambi memang belum bisa dijelajahi menggunakan perahu, kecuali Candi Teluk I dan II, karena terletak di seberang Sungai Batanghari. Perjalanan menghampiri beberapa candi akan melewati sejumlah menapo yang telah diberi patok merah, bertuliskan nomor dan BP3. Menapo-menapo itu terletak di kebun-kebun durian, duku, dan cokelat milik warga desa.
Bentuk menapo tak ubahnya gundukan tanah setinggi 0,5 sampai 1 meter. Akan tetapi, dulu, menapo-menapo itu tingginya ada yang sampai 3-6 meter. Menurut penjelasan warga, kata menapo berasal dari kata napo, yaitu sejenis kancil dalam bahasa setempat.
Ketika banjir, napo mengungsi di gundukan bukit-bukit kecil. Akhirnya, warga menyebut bukit-bukit kecil tempat napo bersembunyi itu dengan istilah menapo.
Umumnya, nama candi mengikuti nama menapo tempat candi ditemukan. Yang memberi nama pun warga desa, salah satunya Candi Astano.
Tak hanya itu, anggrek berukuran raksasa, yang disebut anggrek macan jambi (Gramma top phyllum speciosum), terlihat eksotik di atas dahan-dahan pohon durian di sekitar menapo.
Candi ini sempat terkubur sampai akhirnya ditemukan kembali oleh tentara Inggris, SC Crooke, tahun 1820. Sayangnya, sekali lagi, karena jenis batunya adalah batu bata, kebanyakan candi yang ditemukan tak utuh kondisinya.
Pemugaran candi dilakukan secara bertahap dan satu per satu. Sejak tahun 1970-an hingga kini, pemugaran terus berlanjut, yaitu pada Candi Kedaton.
Begitulah adanya Candi Muaro Jambi. Sebuah peninggalan budaya yang maha-agung di tanah Nusantara, yang menua karena proses alam. Dan, kalau tak dijaga, yang tertinggal hanya pusara dan ceritanya.... (Timbuktu Harthana)
http://travel.kompas.com/read/2010/01/16/09052280/
Tercatat ada 11 candi utama yang ditemukan dan sebagian sudah dipugar, di antaranya Candi Gumpung, Candi Tinggi dan Tinggi I, Gedong I dan II, Kedaton, Koto Mahligai, Astano, Teluk I dan II, Bukit Sengalo, dan Kembar Batu. Hamparan candi itu belum termasuk 82 reruntuhan candi yang diperkirakan masih terkubur di dalam puluhan gundukan tanah, atau biasa disebut menapo oleh warga sekitar candi.
Bekas-bekas kanal dan parit di Candi Muaro Jambi merupakan konsep arsitektur tata kota zaman dulu yang menakjubkan. Parit selebar 2-3 meter dibuat mengelilingi candi dan berfungsi sebagai pembatas, sedangkan kanal selebar 6-10 meter dibuat mengular membelah candi-candi yang fungsinya sebagai jalur transportasi. Kanal pun menyambung dengan Sungai Batanghari.
Peneliti BP3 Jambi meyakini, transportasi utama menuju ke candi kala itu menggunakan perahu. Sistem transportasi ini tak ubahnya seperti kanal-kanal di Kota Venesia saat ini.
Ada empat kanal yang telah diberi nama, yaitu Kanal Jambi, Melayu, Terusan, dan Parit Johor. ”Selain kanal, ada Danau Kelari, sebuah danau kecil penghubung antarkanal,” kata Agus.
Selain kanal, ada dongeng menarik yang mengakar di kalangan warga sekitar candi, yaitu kisah tentang kegagalan Raja Datuk Paduka Berhala membangun sebuah candi setinggi langit dalam waktu semalam, yang diminta oleh Putri Pinang Masak. Karena jengkel, raja pun menendang candi tersebut hingga berserakan dan membentuk candi-candi kecil.
Selintas, cerita ini mirip legenda Bandung Bondowoso yang gagal membangun seribu candi untuk Roro Jonggrang, atau Sangkuriang yang tak berhasil membuat perahu serta danau untuk Dayang Sumbi.
Setelah dimanjakan rasa takjub, ironi pun muncul kala memandangi bata-bata merah yang menyusun candi itu keropos dimakan usia. Lumut hijau bersemu hitam merekat kuat, retakkan bata yang memanjang pun menjadi hiasan candi. Bahkan, hampir semua candi hanya terdiri atas bagian fondasi dan tubuhnya, sedangkan bagian atas tak terlacak entah ke mana.
Tembok dan gapura yang mengelilingi candi pun hampir tak terlihat bekasnya, seperti gapura dan tembok keliling Candi Gumpung—ditemukan tahun 1820 dan baru dipugar tahun 1982 hingga 1988—yang hanya tersisa bagian fondasinya setinggi betis hingga pinggang orang dewasa.
Ketua Kelompok Kerja Pemugaran BP3 Jambi Kristanto Januardi mengakui, sampai sekarang belum diketahui bagaimana desain bentuk bagian atas candi-candi di Kompleks Candi Muaro Jambi.
Belum ditemukan manuskrip yang menuliskan candi dibuat tahun berapa, bahkan oleh siapa. Sejumlah candi, seperti Astono atau Kedaton, yang diduga dibangun lebih dari satu tahap dengan masa pembuatan yang berbeda pun belum berdampingan dengan bukti prasasti atau catatan sejarahnya.
”Menapo”
Saat ini, Kompleks Candi Muaro Jambi memang belum bisa dijelajahi menggunakan perahu, kecuali Candi Teluk I dan II, karena terletak di seberang Sungai Batanghari. Perjalanan menghampiri beberapa candi akan melewati sejumlah menapo yang telah diberi patok merah, bertuliskan nomor dan BP3. Menapo-menapo itu terletak di kebun-kebun durian, duku, dan cokelat milik warga desa.
Bentuk menapo tak ubahnya gundukan tanah setinggi 0,5 sampai 1 meter. Akan tetapi, dulu, menapo-menapo itu tingginya ada yang sampai 3-6 meter. Menurut penjelasan warga, kata menapo berasal dari kata napo, yaitu sejenis kancil dalam bahasa setempat.
Ketika banjir, napo mengungsi di gundukan bukit-bukit kecil. Akhirnya, warga menyebut bukit-bukit kecil tempat napo bersembunyi itu dengan istilah menapo.
Umumnya, nama candi mengikuti nama menapo tempat candi ditemukan. Yang memberi nama pun warga desa, salah satunya Candi Astano.
Tak hanya itu, anggrek berukuran raksasa, yang disebut anggrek macan jambi (Gramma top phyllum speciosum), terlihat eksotik di atas dahan-dahan pohon durian di sekitar menapo.
Candi ini sempat terkubur sampai akhirnya ditemukan kembali oleh tentara Inggris, SC Crooke, tahun 1820. Sayangnya, sekali lagi, karena jenis batunya adalah batu bata, kebanyakan candi yang ditemukan tak utuh kondisinya.
Pemugaran candi dilakukan secara bertahap dan satu per satu. Sejak tahun 1970-an hingga kini, pemugaran terus berlanjut, yaitu pada Candi Kedaton.
Begitulah adanya Candi Muaro Jambi. Sebuah peninggalan budaya yang maha-agung di tanah Nusantara, yang menua karena proses alam. Dan, kalau tak dijaga, yang tertinggal hanya pusara dan ceritanya.... (Timbuktu Harthana)
http://travel.kompas.com/read/2010/01/16/09052280/