Selasa, 01 Februari 2011

Ajaran dari "Tuan Kong"

Pemimpin harus menjadi teladan yang baik. Masyarakat juga sebaliknya, harus menerima keberadaan pemimpin karena pimpinan itu ibarat titisan Tuhan dari surga. Ini adalah salah satu ajaran dari Konfusius, filsuf besar China dengan ajaran yang tersebar hingga ke Eropa dan AS bernama Konfusianisme.

Konfusius (Confucius-Barat) adalah kata Latin dari Kong Zia atau Kong Fuzi, atau Master Kong (Tuan Kong). Konfusius juga bisa berarti cerdik cendekia Kong.
Penerjemahan nama Konfusius ke kata Latin ini dibuat oleh misionaris Jesuit di China, termasuk Pastor Michele Ruggieri (1543-1607). Ordo Jesuit merupakan pelopor penerjemahan buku-buku bahasa China ke dalam bentuk-bentuk tulisan Barat.

Konfusius adalah pendiri dasar-dasar sekolah pemikiran China. Ajarannya membentuk dasar-dasar pendidikan dan menjadi dasar-dasar bagi kriteria ideal perilaku manusia.
Falsafahnya meletakkan fondasi soal bagaimana manusia harus bersikap, berinteraksi, bagaimana bentuk masyarakat dan pemerintahan yang memimpin masyarakat.

Salah satu ajarannya yang terkenal adalah ”Perlakukan orang lain dengan baik jika kamu juga ingin diperlakukan dengan baik”.

Filsuf China ini hidup pada periode 551-479 Sebelum Masehi berdasarkan informasi dari situs Stanford Encyclopedia of Philosophy. Makamnya kini ada di kota Qufu, Provinsi Shandong.

Konfusius lahir pada era praktik- praktik kriminal dan korupsi mewabah. Di lingkungan seperti itu, dia berkembang menjadi guru, filsuf, dan penasihat pemerintahan di era Dinasti Zhou.

Fung Yu-lan, salah satu sejarawan besar soal pemikiran China, menyamakan pengaruh sejarah China dengan sentuhan Konfusius setara dengan Socrates di Barat.
Di China, yang mayoritas warganya tidak beragama, keberadaan falsafah Konfusius menjadi landasan penting sebagai penuntun moral. Sebagaimana dikatakan Paus Benediktus XVI, ”Agama juga pagar moral bagi Kristen.”

Mungkin bisa juga dikatakan, di China untung juga ada falsafah Konfusius sehubungan dengan ketiadaan agama.

Apakah ditaati?
Ada satu hal menarik. Berdasarkan berita di Shanghai Daily pada 2 Februari 2007, Konfusius memiliki 1,2 juta keturunan yang diturunkan selama 80 generasi. Mereka kini tersebar di AS, Korea, Australia, Swiss, dan Malaysia, menurut Kong Dehong, salah satu keturunan Konfusius, yang juga dikutip kantor berita China, Xinhua.

”Konfusius tentu saja menjadi landasan moral penting bagi China,” kata Prof Zha Daojiang dari Universitas Peking di Beijing.

Para pakar sosial budaya dunia juga melandaskan struktur pemerintahan di China ke dalam kerangka pemikiran Konfusius. Di dalam sebuah masyarakat, ada strata pemimpin, pegawai, para pedagang, dan rakyat biasa.

Konfusius menegaskan, pemerintah harus bekerja dengan baik, terus memperbaiki diri untuk menciptakan struktur pemerintahan yang stabil. Ini penting agar keharmonisan terus terjaga dan semua strata masyarakat juga harus menjalankan tugasnya dengan baik. Konflik-konflik juga ajaran Konfusius yang harus dihindari.

Masyarakat juga harus dituntut terus mencari kebaikan dan kebenaran serta tidak mudah menyerah pada keadaan, tetapi menghadapinya dengan ketekunan. Ini mungkin menjadi salah satu dasar bagi etos kerja.

Pertanyaannya, apakah ajaran moral Konfusius benar-benar ditaati penuh di China? Tak banyak orang di China ini yang menjawabnya dengan yakin. Pertanyaan itu lebih kurang sama dengan, ”Apakah Kristen di Barat menjalankan ajaran Tuhan?”

Ratna Laksana, warga Indonesia, yang sudah sebelas tahun tinggal di China, juga hanya bisa kebingungan ketika ditanya: Apakah Konfusius diterapkan penuh di China? ”Sepertinya saya melihat, uang adalah yang paling utama di sini,” katanya.

Kalimat magis
Namun, falsafah Konfusius kemudian menjadi semacam faktor magis dan sering dipakai sebagai landasan pemikiran bagi program-program pemerintah. Sama seperti pada era Orde Baru, Pancasila selalu ditekankan almarhum mantan Presiden Soeharto.
Dr Andrian Chan dari University of New South Wales, Australia, mengatakan, asas Konfusianisme menjadi asas utama bagi Pemerintah China dalam berbagai era dinasti di China.

Di dalamnya, misalnya, ada ajaran untuk mengutamakan keharmonisan, di mana rakyat turut pada pemerintah dan sebaliknya pemerintah melayani rakyat dan keduanya hidup dengan fabrikasi sosial politik yang saling mendengar.

Presiden Hu Jintao menekankan, keharmonisan harus dilestarikan dengan menekankan bahwa itu adalah juga ajaran Konfusius. Saat berkunjung ke AS pada 21 Januari lalu, Hu Jintao sengaja mengunjungi The Confucius Institute di Chicago.

”Para pemimpin China memang terbiasa memunculkan slogan-slogan untuk mendorong programnya,” kata Profesor Hora Tjitra, pengajar di Universitas Zhejiang, Hangzhou.

Saat memulai menerapkan reformasi ekonomi, Deng Xiaoping juga mendorong orang menjadi pebisnis, sebuah kelas sosial, yang juga ada dalam sistem Konfusius. Ucapannya yang terkenal itu, ”xia hai” atau ”melompatlah ke laut” adalah sebuah panggilan bagi masyarakat untuk menjadi pebisnis, yang dia imbuhkan dengan sebutan ”menjadi kaya itu mulia”.

Namun, tidak semua sependapat bahwa ajaran Konfusius menjadi acuan utama bagi kehidupan di China. Bahkan, kadang terjadi manipulasi terhadap Konfusius, seperti ditulis oleh He Quinlian, ekonom China dan penulis buku, yang melihat asas itu telah dimanipulasi demi kemajuan ekonomi dalam bukunya China’s Pitfalls tahun 1997. Ia mengkritik kemajuan ekonomi yang juga memunculkan kronisme, korupsi, ketimbang merupakan keadaan yang tidak sejalan dengan falsafah Konfusius.

Almarhum Lucian W Pye, ahli ilmu politik, sinolog, dan pakar perbandingan politik dari Massachusetts Institute of Technology, juga mengatakan, ajaran Konfusius lebih dipakai sebagai justifikasi untuk menjalankan pemerintahan ketimbang menjalankan pemerintahan yang benar.

Namun, Deng Xiaoping setidaknya menunjukkan keteladanan soal ajaran Konfusius. Ketika memulai reformasi ekonomi, saat di mana polemik politik mengemuka, Deng mengatakan, sebaiknya lebih bagus jika orang lebih banyak bekerja ketimbang berbicara.

Ia juga meredam para pengkritik reformasi ekonominya dengan ucapan, ”Carilah kebenaran berdasarkan fakta”. Faktanya, saat memulai reformasi ekonomi, rakyat China amat sengsara dan semua pihak harus sadar dengan fakta- fakta yang ada itu dan membenahinya ketimbang terus ribut tanpa dasar. Ini juga bagian dari ajaran Konfusius.(MON)

http://cetak.kompas.com/read/2011/02/02/04145335/