Selasa, 01 Februari 2011

Menikmati Imlek di Sepenggal Jalan...

WAJAH Jalan Wotgandul di kawasan pecinan Kota Semarang di Jawa Tengah menjadi lebih cantik, Sabtu (29/1/2011) malam. Lampion-lampion merah tergantung di tengah jalan, di antara barisan stan-stan yang menawarkan makanan hingga pernak-pernik Imlek atau Sincia. Membuat denyut kehidupan di kawasan ini sungguh bergeliat malam itu.
Udara panas dan lengket tidak menghalangi lelaki-perempuan, tua-muda, dari berbagai latar belakang etnis berdesak-desakan di penggalan jalan itu. Sekadar memenuhi hasrat masuk ke tengah pusat keramaian Pasar Imlek Semawis (PIS) yang digelar hingga 1 Februari 2011, atau dua hari menjelang Sincia, Tahun Kelinci 2562 Imlek yang jatuh pada 3 Februari 2011 dalam penanggalan Masehi.

Wangi hioswa (dupa) tercium dari sejumlah klenteng di Jalan Wotgandul, musik berbahasa Mandarin, membuat suasana menjelang Imlek menjadi lebih kental terasa. Ditambah lagi, malam itu ada beberapa lelaki dan perempuan berkostum tokoh-tokoh mitologi China, seperti Sun Go Kong, tiga dewa, Kwan Im, serta Thian Shang Sheng Bo (dewi laut) yang bergaya dan bisa diajak berpose oleh pengunjung.

Sumiyati (45) dan Sarkun Ariyanto (48), warga Lempong Sari, Semarang Tengah, malam itu mengaku khusus datang untuk menikmati kemeriahan menjelang perayaan Imlek itu. ”Saya tidak merayakan Imlek, tetapi rasanya ada yang kurang kalau tidak ke sini. Saya ingin mencoba makanan khas China dan melihat tariannya. Ternyata menarik,” tutur Sumiyati.

PIS yang sudah delapan kali digelar Komunitas Pecinan Semarang untuk Pariwisata (Kopi Semawis), bagi Jongkie Tio, pemerhati budaya Tionghoa di Semarang, perlahan-lahan menjadi bagian dari masyarakat Semarang. Kini, PIS bukan hanya disajikan dan dinikmati oleh orang-orang Tionghoa saja, tetapi juga dinikmati warga Kota Semarang lainnya.

”Bisa dilihat yang datang itu multietnis. Dan akulturasi itu merupakan salah satu perbedaan pecinan Semarang dengan daerah lain sejak dulu,” paparnya.

Tengok, misalnya, Pasar Gang Baru alias Gang Senggol di pecinan Semarang yang biasa menyediakan pernik dan kebutuhan menjelang Sincia. Di gang itu bisa ditemukan makanan peranakan hingga penganan khas Jawa. Atau ada pula Perkumpulan Rasa Dharma (Boen Han Tong) di Gang Pinggir yang menyimpan gamelan Jawa klangenan orang-orang Tionghoa dahulu.

Begitu pula dengan TK dan SD yang dikelola Yayasan Khong Kauw Hwee di Gang Lombok, yang menyediakan pendidikan gratis bagi anak tak mampu dari berbagai etnis.

Untuk mengangkat itu pula, kemeriahan PIS oleh panitia dipecah di Gang Pinggir serta di Klenteng Tay Kak Sie di Gang Lombok. Selain itu, acara yang ditampilkan tidak melulu kesenian Tionghoa peranakan saja, seperti wayang potehi atau pameran karya arsitek Liem Bwan Tjie, dan foto pecinan. Namun, ada pula ketoprak Ngesti Pandowo atau pameran batik semarangan.

Selain membuat kemeriahan dan melestarikan tradisi pasar malam Jie Kauw Meh (malam tanggal 29) serta mengenalkan tema besar ”pembauran” kepada khalayak, PIS juga merupakan salah satu upaya merevitalisasi pecinan Semarang. PIS mencoba membangunkan kawasan seluas 25 hektar dari tidurnya. Pada hari biasa setiap malam tiba, kawasan itu biasanya sunyi tanpa aktivitas.

Upaya lain dilakukan dengan menggelar Pasar Semawis setiap akhir pekan di Gang Warung untuk wisata kuliner.

Ketua Panitia Pasar Imlek Semawis Darmadi mengakui, tujuan revitalisasi itu sendiri masih belum tercapai sepenuhnya. Masih banyak hal yang harus dibenahi di kawasan pecinan agar lebih menarik untuk dikunjungi wisatawan selain dengan PIS, termasuk pembenahan infrastruktur.

Angin segar kini mulai terasa. Mulai tahun 2011, Pemerintah Kota Semarang memasukkan PIS sebagai agenda tahunan Kota Semarang. Wali Kota Semarang Soemarmo HS juga menyatakan mendukung pengembangan kawasan pecinan untuk menarik wisatawan ke Kota Semarang.

Dukungan pemerintah yang lebih luas kini ditunggu agar kemeriahan itu tidak hanya terasa sekali setahun…. (Antony Lee/Amanda Putri)

http://travel.kompas.com/read/2011/02/02/08110673/