"Jujur saja dulu ternyata saya telah salah memilih partai politik karena partai yang semula saya harapkan bisa menjadi tempat untuk memperjuangkan rakyat, ternyata tidak sesuai dengan yang saya harapkan,"
kata Prabukusumo saat menyampaikan orasi budaya pada peringatan hari ulang tahun penerbit Galangpress Yogyakarta, Kamis (5/5/2011) malam.
Menurut dia, karena merasa tidak ada kesesuaian itu, dirinya memilih keluar dari parpol tersebut, sekaligus mundur dari jabatan Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) parpol itu.
Seperti diketahui, mantan Ketua DPD Partai Demokrat Daerah Istimewa Yogyakarta itu mundur dan menyerahkan kewenangan ke tokoh lain, Sukardi, Joko Suwidi, dan KRT Harsadiningrat, Kamis (9/12/2010).
Prabukusumo mundur setelah pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sekaligus Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat yang dianggap mengusik keistimewaan DIY, antara lain, soal Sultan yang otomatis menjadi kepala daerah.
"Ini masalah hati nurani, dan ini semata-mata karena saya hanya memikirkan kepentingan Keraton Yogyakarta. Ini demi kepentingan rakyat Yogyakarta," katanya.
Ia mengatakan tidak menyesal telah keluar dari parpol tersebut, meskipun saat ini juga belum terpikirkan untuk masuk atau menjadi anggota parpol lain. "Bagi rekan-rekan yang sebelumnya bergabung dengan parpol saya dulu, dan meninggalkan parpol lamanya, kemudian merasakan seperti apa yang saya rasakan, silakan saja keluar dari parpol tersebut," katanya.
Sementara kepada para pemimpin parpol yang lain, ia berharap agar bersedia menerima rekan-rekan itu kembali.
Selain diisi dengan orasi budaya dari GBPH Prabukusumo dan Ketua Majelis Luhur Taman Siswa Tyasno Sudarto, peringatan ulang tahun Galangpress Yogyakarta juga dimeriahkan dengan penampilan musisi Sawung Jabo yang membawakan dua lagu perjuangan.
Peringatan ulang tahun ini juga dimeriahkan dengan pementasan Wayang Republik oleh dalang Ki Catur "Benyek" yang mengangkat cerita perjuangan rakyat Yogyakarta dalam perang kemerdekaan, termasuk sejarah status keistimewaan Yogyakarta setelah bergabung ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Status keistimewaan itu diberikan oleh presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno, sebagai penghormatan dan penghargaan setelah Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII melalui Maklumat 5 September 1945 menyatakan bergabung dengan NKRI.
http://regional.kompas.com/read/2011/05/06/01122158/
Menurut dia, karena merasa tidak ada kesesuaian itu, dirinya memilih keluar dari parpol tersebut, sekaligus mundur dari jabatan Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) parpol itu.
Seperti diketahui, mantan Ketua DPD Partai Demokrat Daerah Istimewa Yogyakarta itu mundur dan menyerahkan kewenangan ke tokoh lain, Sukardi, Joko Suwidi, dan KRT Harsadiningrat, Kamis (9/12/2010).
Prabukusumo mundur setelah pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sekaligus Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat yang dianggap mengusik keistimewaan DIY, antara lain, soal Sultan yang otomatis menjadi kepala daerah.
"Ini masalah hati nurani, dan ini semata-mata karena saya hanya memikirkan kepentingan Keraton Yogyakarta. Ini demi kepentingan rakyat Yogyakarta," katanya.
Ia mengatakan tidak menyesal telah keluar dari parpol tersebut, meskipun saat ini juga belum terpikirkan untuk masuk atau menjadi anggota parpol lain. "Bagi rekan-rekan yang sebelumnya bergabung dengan parpol saya dulu, dan meninggalkan parpol lamanya, kemudian merasakan seperti apa yang saya rasakan, silakan saja keluar dari parpol tersebut," katanya.
Sementara kepada para pemimpin parpol yang lain, ia berharap agar bersedia menerima rekan-rekan itu kembali.
Selain diisi dengan orasi budaya dari GBPH Prabukusumo dan Ketua Majelis Luhur Taman Siswa Tyasno Sudarto, peringatan ulang tahun Galangpress Yogyakarta juga dimeriahkan dengan penampilan musisi Sawung Jabo yang membawakan dua lagu perjuangan.
Peringatan ulang tahun ini juga dimeriahkan dengan pementasan Wayang Republik oleh dalang Ki Catur "Benyek" yang mengangkat cerita perjuangan rakyat Yogyakarta dalam perang kemerdekaan, termasuk sejarah status keistimewaan Yogyakarta setelah bergabung ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Status keistimewaan itu diberikan oleh presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno, sebagai penghormatan dan penghargaan setelah Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII melalui Maklumat 5 September 1945 menyatakan bergabung dengan NKRI.
http://regional.kompas.com/read/2011/05/06/01122158/