Senin, 09 Mei 2011

Rumah Para Pemberani

KOMPAS.com - "Pria-pria Minang itu rela membeli anjing-anjing mahal untuk memburu babi yang kemudian dibuangnya begitu saja," begitu kata Faisal, pemuda Minang, kawan saya selama putar-putar di Bukittinggi, Sumatera Barat. Kami sedang berbicara tentang tradisi berburu babi yang menakjubkan itu. Dulu babi-babi itu diburu karena gemar merusak tanaman di kebun atau sawah. Tradisi berburu ini berkembang hingga sekarang menjadi kegiatan olah raga yang prestisius. Minggu pagi serombongan pria akan berkumpul, lengkap dengan anjing-anjing pemburu yang terlatih, lalu masuk hutan memburu babi.
Karena orang-orang Minang tidak makan babi, biasanya babi-babi yang mati akan dibiarkan begitu saja di tengah hutan. Belakangan ada pedagang-pedagang babi dari Nias yang sering ikut berburu atau membeli hasil buruan mereka. Dari kegiatan yang perlu, berburu babi menjadi hobi, bahkan tradisi turun temurun. Faisal sudah ikut berburu babi sejak masih kanak-kanak. Faisal kecil senang naik mobil dan jalan-jalan ke hutan. Karena masih kecil ia rela disuruh ini-itu asalkan bisa ikut naik pick up dan berjalan menembus hutan berburu babi.

Ranah Minang memang begitu kaya akan tradisi. Setiap aspek kehidupannya adalah tradisi yang terpelihara turun temurun. Dengan Faisal saya berbicara tentang bagaimana ia dibesarkan dengan tradisi yang begitu kuat. Termasuk saat ia beranjak dewasa dan diharuskan merantau. Setiap pemuda Minang, menjelang usia dewasa, haruslah pergi merantau ke luar wilayahnya untuk menimba pengalaman dan mengenal dunia luar. Pemuda Minang diharapkan untuk dapat menempa kegigihan, jiwa dan mental pantang menyerah dengan berada jauh dari keluarga dan menghadapi kehidupan yang keras.

Ini diharapkan menjadi bekal untuk mereka meningkatkan diri ke derajat kehidupan yang lebih baik. Bahkan dahulu pria Minang harus merantau dengan hanya berbekal sebuah kain sarung dan sedikit uang. Sungguh sebuah tradisi yang terhormat. Sejak kecil Faisal dipanggil Aseng oleh orang tuanya, konon ini adalah singkatan dari "Anak Sengsara". Keluarganya memang dalam kondisi yang memprihatinkan saat ia dilahirkan.

Di usia delapan belas ia pergi meninggalkan kampungnya di Desa Matur dan pergi ke Jakarta melakukan apapun yang bisa dilakukan, bekerja di restoran Padang, berjualan di pasar Tanah Abang, dan banyak lagi. Sampai akhirnya ia kembali ke Bukittinggi dan memulai usaha sewa mobil bersama beberapa kawannya. Tradisi yang kuat yang menempa pemuda Minang untuk gigih dan tak kenal menyerah telah melahirkan begitu banyak pribadi terkuat yang pernah dimiliki republik ini.

Nama-nama besar pendiri Indonesia adalah putra-putra kebanggaan ranah Minang. Hatta, sang bapak ekonomi kerakyatan, Sjahrir sang demokrat, Haji Agus Salim yang bijak, atau Tan Malaka, tokoh misterius yang konon akhirnya harus tewas tertembak senapan tentara republik yang bantu didirikannya ini. Ranah Minang juga adalah rumah dari pemuka-pemuka kesusastraan Indonesia. Ia adalah rumah bagi Marah Rusli, Hamka, sampai AA Navis. Chairil Anwar juga salah satu dari begitu banyak pujangga berdarah Minang. Karya-karya besar seperti “Siti Nurbaya”, atau “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk” mungkin terlahir dari lamunan-lamunan di tanah yang indah ini.

Beruntunglah saya yang sempat menghabiskan waktu berjalan di kota Bukittinggi yang sejuk dan berbukit-bukit. Selain menikmati indahnya pemandangan saat melamun di Ngarai Sianok, atau melihat keramba-keramba ikan di Danau Maninjau, ada perasaan lain saat berada di sebuah kota dengan catatan sejarah perjuangan yang panjang. Pada masa pendudukan Jepang ia adalah pusat pengendalian militer Jepang untuk kawasan Sumatera, pada masa mempertahankan kemerdekaan, Bukittinggi adalah ibu kota sementara RI saat Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda. Kota ini juga adalah tempat Hatta menghabiskan masa kanak-kanaknya.

Saya sempat mampir ke rumah masa kecil Bung Hatta, melihat kamar tidur beliau, perabotan lama, atau memandangi foto Bung Hatta saat ia berusia tiga belas tahun. Siapa yang saat itu menyangka, wajah anak yang tenang itu adalah sosok yang jauh melampaui zamannya dan yang kemudian menjadi salah satu yang berdiri di depan saat Indonesia menyatakan kebebasannya.

Dari rumah Bung Hatta saya sempat mampir ke lubang Jepang yang misterius itu. Lubang sepanjang 1,4 km yang dibangun dengan darah penduduk republik periode 1942-1945 dimaksudkan menjadi salah satu tempat persembunyian akhir pasukan Jepang. Konon keberadaan lubang ini begitu dirahasiakan Jepang sehinga ribuan tenaga pribumi yang dijebloskan untuk menggalinya tidak pernah keluar lagi. Ribuan penduduk republik dijebloskan dalam kerja paksa, untuk kemudian dibunuh dan dibuang dalam salah satu lorongnya yang teramat suram.

Di sanapun terdapat penjara tempat menahan tawanan-tawanan Jepang yang tak pernah keluar lagi. Tak seorang pun mengetahui keberadaan lubang ini pada periode 1942-1945 selain mereka yang dibawa ke sana. Bahkan tak seorang pun tahu siapa-siapa yang dulu pernah dijebloskan dalam kerja paksa dan dibunuh di sana. Tak seorang pun tahu kemana tanah sisa galian itu dulu dibuang. Keberadaannya pun baru diketahui orang luar tahun 1946 saat Jepang sudah pergi. Lubang itu ada di sana dan masih menyimpan misterinya.

Berjalan di Bukittinggi kita akan dibawa dalam sebuah perjalanan waktu. Banyak sudut menjadi saksi dituliskannya sejarah. Ada Jam Gadang yang kokoh, Fort de Kock yang tua, dan masih banyak lagi. Berkunjunglah ke Museum Adat Banjuang dan perhatikan bagaimana sebuah masyarakat dibentuk oleh tradisi yang panjang dan budaya yang kokoh.

Atau pergilah sedikit ke luar ke daerah Tanah Datar dan nikmati kopi kawa daun yang tak ada duanya. Kopi ini dibuat bukan dari biji kopi tapi dari daunnya. Diantara udara yang sejuk, kopi yang dihidangkan diatas batok kelapa ini sungguh membuat saya ketagihan. Dan tentunya, kota yang berbukit ini memiliki sudut-sudut dengan pemandangan nan indah, perbukitan nan cantik di sekitar Ngarai Sianok, atau pemandangan yang menakjubkan dari Puncak Lawang. Ah kawan, tak pernah bosan saya mengatakan, Indonesia masih memiliki banyak sekali kejutan. (I Gusti Ngurah Teddy Wijaya Kusuma)

http://travel.kompas.com/read/2011/05/06/15525216/