Senin, 13 Juni 2011

Soekarno Lahir di Rumah Kontrakan

Hampir semua rumah peninggalan Belanda di kawasan Jalan Pandean, Surabaya, Jawa Timur, masih asli. Antara satu rumah dan rumah lainnya nyaris tak ada berbeda, bentuk, model, dan coraknya bergaya kolonial.

Sejak dulu, tidak ada yang spesial di kampung itu. Namun, akhir-akhir ini, warga dikejutkan dengan penelitian yang menggemparkan.
Bukan hanya bagi warga setempat, masyarakat Indonesia pun dibuat tercengang dengan penemuan bahwa rumah kelahiran Soekarno, Presiden pertama RI yang juga Sang Proklamator, berada di sebuah gang sempit yang berukuran tidak lebih dari tiga meter di Kota Pahlawan, Surabaya, bukan di Blitar sebagaimana yang diketahui masyarakat Indonesia selama ini.
Bung Karno dilahirkan di Surabaya, tepatnya di sebuah rumah kontrakan Jalan Lawang Seketeng, sekarang berubah menjadi Jalan Pandean IV/40. Ayahnya, Raden Soekemi, seorang guru sekolah rakyat dan ibunya, Ida Ayu Rai, seorang perempuan bangsawan Bali.

"Setelah kami lakukan penelitian dan melalui kajian cukup lama, ternyata rumah kelahiran Soekarno bukan di Blitar, melainkan di Surabaya," ujar Ketua Umum Soekarno Institute Peter A Rohi.

Ukuran bangunan rumahnya 6 x 14 meter. Terdiri dari satu ruang tamu, satu ruang tengah yang biasa ditempati keluarga bersantai, dan dua kamar.

Di belakang ada dapur yang terdapat juga sebuah tangga kayu untuk naik ke lantai dua. Di lantai atas tersebut, hanya digunakan untuk menjemur pakaian.
"Dari dulu, ya seperti ini. Kami tidak mengubahnya, atau merenovasi," ujar Siti Djamilah, pemilik rumah saat ini.

Ia mengaku menempati bangunan itu sejak 1990. Ketika itu ia ikut kedua orangtuanya. Kakak Djamilah dan suaminya, H Zaenal Arifin, juga menetap di rumah tersebut.
Kemudian, 1998 Djamilah menikahi Choiri. Setelah kedua orangtua Djamilah meninggal, mereka hanya tinggal berempat.

"Kami tidak menyangka bahwa rumah ini adalah tempat kelahiran Bung Karno. Sebuah kebanggaan dan anugerah karena kami tinggal di rumah tokoh kelas dunia. Tidak hanya presiden, tapi seorang yang patut menjadi teladan bangsa Indonesia," tutur Choiri, suami Djamilah.

Sebagai upaya untuk mengenang rumah kelahiran Bung Karno, Soekarno Institute, memasang prasasti sebagai tanda. Pada 6 Juni 2011 pemasangan dan pembukaan selubung prasasti dilakukan oleh Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, Direktur The Soekarno Institute Peter A Rohi, dan perwakilan Bung Karno, Prof Haryono Sigit. Ratusan warga dan pejabat pemerintah kota serta anggota DPRD Surabaya juga turut menyaksikannya.

"Kami sudah melalui kajian dan penelitian panjang sejak masa reformasi. Bahkan penelitian juga kami lakukan di Belanda. Buku-buku sejarah masa lalu juga membuktikan bahwa di Surabaya inilah Bung Karno dilahirkan. Syukurlah sekarang bisa diresmikan," ujar Peter A Rohi.

"Di Jakarta ada prasasti Barack Obama, padahal dia Presiden Amerika Serikat. Masak Presiden Indonesia tidak ada prasastinya? Kami memasangnya di rumah kelahiran Soekarno," katanya, menambahkan.
Dijelaskan Peter, pemasangan prasasti digelar 6 Juni 2011 karena disamakan dengan tanggal kelahiran Soekarno, yakni 6 Juni 1901.

Peter menyayangkan sikap pemerintah yang menyatakan bahwa Soekarno lahir di Blitar. Padahal, kata dia, berbagai buku-buku sejarah dan arsip nasional menegaskan bahwa Soekarno dilahirkan di Surabaya.

Ia berani menunjukkan puluhan koleksi buku sejarah yang menuliskan kelahiran Soekarno. Di antaranya, buku berjudul Soekarno Bapak Indonesia Merdeka karya Bob Hering, Ayah Bunda Bung Karno karya Nurinwa Ki S Hendrowinoto tahun 2002, dan Kamus Politik karangan Adinda dan Usman Burhan tahun 1950.
Lainnya, Ensiklopedia Indonesia tahun 1955, Ensiklopedia Indonesia tahun 1985, dan Im Yang Tjoe tahun 1933 yang sudah ditulis kembali oleh Peter A Rohi dengan judul Soekarno Sebagi Manoesia pada tahun 2008.

"Bahkan mantan Kepala Perpustakaan Blitar sudah mengakui bahwa Soekarno tidak dilahirkan di Blitar, melainkan di Surabaya," tuturnya.

Pihaknya berharap, ke depan masyarakat Indonesia lebih mengetahui dan mengakui bahwa kota kelahiran Soekarno yang selama ini dikenal adalah keliru.
"Dulu pascatragedi G30S/PKI, semua buku sejarah ditarik dan diganti di Pusat Sejarah ABRI pimpinan Nugroho Notosusanto. Tapi, saya heran, kenapa ada pergantian kota kelahiran Soekarno? Semoga pemerintah ke depan sudah mengakui bahwa lahirnya presiden pertama Indonesia ada di Surabaya," tutur Peter.

Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini juga mengaku sangat yakin bahwa Bung Karno bukan dilahirkan di Blitar. Pihaknya juga telah mengirim surat ke pemerintah pusat untuk meluruskan persoalan ini dan optimistis pemerintah mengakuinya.

"Kami masih menunggu respons dari pemerintah pusat. Namun, tahun 2010, Wali Kota Surabaya saat itu, Bambang DH, sudah menandatangani prasasti sekaligus mengirimkan surat ke pemerintah pusat," ujar Tri Rismaharini.

Menurut Risma, pihaknya sudah menemui keluarga pemilik rumah, Choiri, agar bersedia menjualnya dan akan menjadikan rumah itu sebagai museum atau tempat cagar budaya.
"Saya sudah memberikan tugas kepada Dinas Pariwisata Kota Surabaya untuk negosiasi harga dengan pemilik rumah. Nantinya rumah kelahiran Bung Karno akan dijadikan museum dan untuk kawasan sejarah," ujar Tri Rismaharini ketika ditemui di sela-sela pemasangan prasasti dan peresmian rumah kelahiran Bung Karno, Senin (6/6/2011).
Sayang, orang nomor satu di Surabaya tersebut enggan menyebutkan anggaran yang dikeluarkan.

"Harga masih negosiasi. Saya sudah minta ke Bu Wiwik (Kepala Dinas Pariwisata) untuk mengalokasikan dana dari Perubahan Anggaran Keuangan (PAK) Kota Surabaya. Lebih bagus lagi kalau masih ada barang-barang aslinya, agar bisa menceritakan ke anak-anak bahwa di Surabaya Bapak Proklamator dilahirkan," tutur Risma.

Sementara itu, keluarga Bung Karno, Prof Haryono Sigit, mengakui bahwa orangtua Bung Karno pernah tinggal di rumah itu. Ia juga menyerahkan sepenuhnya kepada Pemerintah Kota Surabaya untuk mengelola rumah tersebut.
"Mau diapakan rumah itu, bukan wewenang saya. Saya serahkan ke pemkot," tukas mantan Rektor ITS Surabaya tersebut.

Putra kandung Bung Tomo, Bambang Sulistomo, yang turut hadir dalam peresmian mengatakan, selama ini tidak ada yang tahu bahwa Bung Karno dilahirkan di sebuah kampung kecil di Jalan Pandean.

"Saya bangga menjadi bagian dari warga Surabaya. Kota ini memiliki putra bangsa yang diakui seluruh Indonesia maupun dunia. Mari kita tiru dan amalkan sikapnya," kata Bambang Sulistomo.

Direktur Utama Surabaya Heritage Freddy H Istanto mengatakan, jika nantinya rumah kelahiran Soekarno dijadikan museum, yang harus diperhatikan adalah sistem pengelolaannya.

"Jangan hanya fisiknya saja yang dibanggakan, tapi pengelolaannya yang terpenting. Pengelola juga harus memikirkan bagaimana caranya menjadi bagian dari implementasi ajaran Bung Karno agar generasi mengerti bahwa Bung Karno lahir di Surabaya," tutur Freddy.

Choiri, selaku pemilik rumah, mengatakan, secara prinsip pihaknya tidak mempermasalahkan dan siap menjual rumahnya ke Pemkot Surabaya. Terkait harga, ia mengaku masih melakukan negosiasi untuk menentukan harga yang pas.
"Tapi, itu terserah keluarga. Secara prinsip kami siap pindah demi kepentingan negara," ujarnya sembari mengaku belum memastikan di mana mereka pindah kelak jika rumah sudah dimiliki pemkot.

"Tapi, kami masih banyak saudara kok di Surabaya, sambil mencari rumah, kami mungkin tinggal di rumah saudara dulu," timpal Djamilah.

http://oase.kompas.com/read/2011/06/13/0911444/