JAMBI – Dalam kehidupan seseorang, suatu pernikahan merupakan saat-saat yang penting dan tidak terlupakan. Sepasang calon pengantin akan dengan penuh semangat menyiapkan segala sesuatu untuk hari bahagia tersebut. Tentu saja hal ini memakan waktu dan tenaga yang tidak sedikit, tetapi walaupun lelah, pada wajah mereka tersirat harapan akan kebahagiaan.
Harapan-harapan itulah yang membuat mereka berdua mempunyai keinginan agar kebahagiaan mereka tersebut dapat disaksikan dan disahkan Sang Buddha.
Pada tradisi Tionghoa kuno, menghitung hari baik bukan hanya sebatas pada calon mempelai, juga keluarga kedua pihak. Keberadaan etnis Tionghoa dalam parade kebinekaan suku Nusantara makin memperkaya budaya negeri. Lazimnya budaya Timur, tradisi Tionghoa juga penuh makna simbolis, tidak terkecuali dalam tradisi pernikahan mereka. Tidak berbeda dengan urutan rangkaian pernikahan pada umumnya, tradisi perkawinan Tionghoa diawali dengan lamaran.
Melalui proses lamaran yang memakan waktu. Akhirnya Herman sang perjaka dari Sakyakirti mempersunting wanita idamannya yang bernama Susy sebagai permaisurinya, lalui dengan mencocokan tahun, bulan, tanggal, dan jam kelahiran mereka.
Setelah itu, mereka memantapkan hari Minggu, 25 September 2011 merupakan hari pernikahan, pemberkatan kedua mempelai dipimpin oleh Romo Balamitta dihadapan Sang Buddha, Minggu (25/9) siang.
Seusai pemberkatan dilanjutkan resepsi pada malam harinya di Batanghari Room Hotel Abadi, Jalan Gatot Subroto Jambi, Lagu dan tarian mengiringi Heman dan Susy menuju pelaminan bagaikan seorang Raja dan Ratu sehari “Happy Wedding Day” (Rm)