Ilustrasi
Mulyana (5) menggelendot manja ke tubuh bapaknya, Jumhani (35), yang sedang duduk di balai-balai bambu sebuah rumah di Kampung Juhut, Desa Padasuka, Kecamatan Maja, Kabupaten Lebak, Banten, Selasa (12/6/2012). Anak itu seolah ingin memuaskan rasa rindu kepada bapaknya yang sempat ”menghilang” selama sembilan hari, dari 30 Mei hingga 7 Juni 2012.
Dalam kurun waktu tersebut, Jumhani yang sehari-hari menjadi penjaja gorengan di Kota Cilegon, Banten, harus merasakan pengalaman yang menyakitkan raga dan menyedihkan hatinya. Dia dipaksa mengaku sebagai pencopet oleh oknum polisi dari Kepolisian Resor (Polres) Serang.
Jumhani berkisah, Rabu (30/5/2012) sekitar pukul 14.00, dia berada di Stasiun Cilegon menunggu kedatangan kereta dari arah Stasiun Merak menuju Stasiun Besar Rangkasbitung, Lebak. Saat itu dia hendak pulang ke rumahnya di Lebak.
Selama ini Jumhani terbiasa pulang ke rumah tujuh hingga 10 hari sekali, membawa hasil berjualan gorengan di Cilegon kepada keluarganya di Juhut.
Begitu kereta tiba di Stasiun Cilegon, suami dari Siti Mumun Munawarah (22) itu segera naik dan duduk dekat pintu kereta. Semua berlangsung biasa seperti selama ini dia pulang ke rumah.
Namun, begitu kereta berhenti sebentar di Stasiun Serang, tiba-tiba ada dua petugas berpakaian preman yang menyergap, menarik, dan memintanya turun. Jumhani sempat meronta, tetapi dia tetap saja ditarik dan dimasukkan ke sebuah mobil.
”Di dalam mobil saya ditanya-tanya, disuruh mengaku copet. Sambil mobil terus jalan, saya juga dipukuli, bahkan disetrum dua kali di telinga pakai alat semacam penjepit yang ada kabelnya,” kata Jumhani.
Matanya pun kemudian ditutup dan dirinya diancam akan dibuang ke laut. ”Enggak kuat menahan siksaan, saya terpaksa mengaku. Duit Rp 1,3 juta di dompet hasil usaha jualan dari keringat sendiri, KTP, dan HP saya juga diambil,” katanya.
Setelah berputar-putar, mobil yang membawa Jumhani pun sore itu tiba di Markas Polres Serang. Jumhani kemudian dimasukkan ke ruangan. Tangannya diborgol. ”Selama sembilan hari di sana saya kadang ditanya-tanya. Kadang ada saja yang memukul meski tidak seberat seperti waktu di mobil,” kata Jumhani yang mengaku sangat ingat wajah-wajah para petugas.
Selama berada di sana, dia meminta agar dapat menghubungi keluarganya. Dia memohon kepada seorang petugas untuk meneleponkan nomor yang dia berikan kalaupun dia tidak boleh menelepon sendiri. ”Namun, tetap enggak dikasih sampai saya sudah mau pulang,” katanya.
Keluarga panik
Tidak adanya pemberitahuan itu membikin panik keluarga dan kerabat Jumhani di Juhut. Begitu kehilangan kontak, Rubai, seorang teman masa kecil Jumhani di Juhut, berikhtiar menanyakan kepada pihak Stasiun Besar Rangkasbitung.
Rubai mencari tahu kemungkinan adanya penumpang yang ketinggalan di kereta. ”Mereka juga ikut membantu kontak-kontak. Namun, ternyata dari Stasiun Kota (Jakarta) sampai Stasiun Merak pada hari-hari itu tidak ada kejadian orang tertinggal di kereta,” katanya.
Keluarga dan tetangga terus mencari ke arah lain dengan berbagai cara. Meski tanpa kabar pasti, setiap malam keluarga tetap menggelar pengajian di rumah Jumhani.
Mereka terus mencermati setiap kabar, termasuk ketika ada orang linglung di suatu tempat. Bahkan, Sabtu (2/6/2012) pagi, Rubai dan teman-temannya mengendarai delapan sepeda motor untuk mencari keberadaan Jumhani begitu mendengar ditemukan karung berisi bangkai di Cibeureum yang berjarak sekitar 5 kilometer dari Juhut. ”Setelah kami datangi, ternyata itu bangkai kambing. Kami saat itu sama sekali tidak tahu di mana Jumhani berada,” katanya.
Isak tangis Siti Mumun Munawarah mengisi hari-hari tanpa kejelasan nasib suaminya tersebut. ”Anak saya yang masih kecil kadang melamun,” kata Siti dengan mata berkaca-kaca.
Akhirnya, Kamis (7/6/2012), Jumhani diperbolehkan pulang. Jumhani menuturkan, dirinya sore itu diantar ke Stasiun Serang dalam kondisi tanpa uang sepeser pun. Dia pun menumpang kereta untuk kembali ke kontrakannya di Cilegon.
”Saya bertekad kalau ketemu kondektur di atas kereta saya akan bilang mau numpang karena benar-benar enggak bawa uang. Pakaian pun dekil karena belum sempat ganti dan juga enggak pakai alas kaki,” katanya.
Jumhani kemudian mengabari keluarganya di Juhut yang malam itu juga segera menjemputnya. Senin (11/6/2012), Jumhani diantar keluarga dan kerabatnya melaporkan kekejian yang dilakukan oleh oknum polisi Polres Serang ke Bidang Profesi dan Pengamanan (Propam) Kepolisian Daerah Banten. Mereka meminta pihak Polda Banten menindak tegas oknum petugas yang menangkap dan menganiaya Jumhani.
Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Banten Ajun Komisaris Besar Gunawan, Selasa malam, menuturkan, polisi akan memproses laporan dari Jumhani. ”Saat ini sedang dalam proses di Propam Polda Banten, termasuk menyelidiki siapa anggota yang dilaporkan warga tersebut,” katanya.
Kepala Bagian Operasional Polres Serang Komisaris Yudhis Wibisana mengatakan, pihaknya menunggu proses dari Propam Polda Banten. ”Kalau ada warga yang melaporkan seperti itu, ya, akan kami tunggu prosesnya dari Propam. Karena nanti dari Propam, kan, akan dipanggil saksi-saksinya,” kata Yudhis.
http://nasional.kompas.com/read/2012/06/13/06504850/
Jumhani berkisah, Rabu (30/5/2012) sekitar pukul 14.00, dia berada di Stasiun Cilegon menunggu kedatangan kereta dari arah Stasiun Merak menuju Stasiun Besar Rangkasbitung, Lebak. Saat itu dia hendak pulang ke rumahnya di Lebak.
Selama ini Jumhani terbiasa pulang ke rumah tujuh hingga 10 hari sekali, membawa hasil berjualan gorengan di Cilegon kepada keluarganya di Juhut.
Begitu kereta tiba di Stasiun Cilegon, suami dari Siti Mumun Munawarah (22) itu segera naik dan duduk dekat pintu kereta. Semua berlangsung biasa seperti selama ini dia pulang ke rumah.
Namun, begitu kereta berhenti sebentar di Stasiun Serang, tiba-tiba ada dua petugas berpakaian preman yang menyergap, menarik, dan memintanya turun. Jumhani sempat meronta, tetapi dia tetap saja ditarik dan dimasukkan ke sebuah mobil.
”Di dalam mobil saya ditanya-tanya, disuruh mengaku copet. Sambil mobil terus jalan, saya juga dipukuli, bahkan disetrum dua kali di telinga pakai alat semacam penjepit yang ada kabelnya,” kata Jumhani.
Matanya pun kemudian ditutup dan dirinya diancam akan dibuang ke laut. ”Enggak kuat menahan siksaan, saya terpaksa mengaku. Duit Rp 1,3 juta di dompet hasil usaha jualan dari keringat sendiri, KTP, dan HP saya juga diambil,” katanya.
Setelah berputar-putar, mobil yang membawa Jumhani pun sore itu tiba di Markas Polres Serang. Jumhani kemudian dimasukkan ke ruangan. Tangannya diborgol. ”Selama sembilan hari di sana saya kadang ditanya-tanya. Kadang ada saja yang memukul meski tidak seberat seperti waktu di mobil,” kata Jumhani yang mengaku sangat ingat wajah-wajah para petugas.
Selama berada di sana, dia meminta agar dapat menghubungi keluarganya. Dia memohon kepada seorang petugas untuk meneleponkan nomor yang dia berikan kalaupun dia tidak boleh menelepon sendiri. ”Namun, tetap enggak dikasih sampai saya sudah mau pulang,” katanya.
Keluarga panik
Tidak adanya pemberitahuan itu membikin panik keluarga dan kerabat Jumhani di Juhut. Begitu kehilangan kontak, Rubai, seorang teman masa kecil Jumhani di Juhut, berikhtiar menanyakan kepada pihak Stasiun Besar Rangkasbitung.
Rubai mencari tahu kemungkinan adanya penumpang yang ketinggalan di kereta. ”Mereka juga ikut membantu kontak-kontak. Namun, ternyata dari Stasiun Kota (Jakarta) sampai Stasiun Merak pada hari-hari itu tidak ada kejadian orang tertinggal di kereta,” katanya.
Keluarga dan tetangga terus mencari ke arah lain dengan berbagai cara. Meski tanpa kabar pasti, setiap malam keluarga tetap menggelar pengajian di rumah Jumhani.
Mereka terus mencermati setiap kabar, termasuk ketika ada orang linglung di suatu tempat. Bahkan, Sabtu (2/6/2012) pagi, Rubai dan teman-temannya mengendarai delapan sepeda motor untuk mencari keberadaan Jumhani begitu mendengar ditemukan karung berisi bangkai di Cibeureum yang berjarak sekitar 5 kilometer dari Juhut. ”Setelah kami datangi, ternyata itu bangkai kambing. Kami saat itu sama sekali tidak tahu di mana Jumhani berada,” katanya.
Isak tangis Siti Mumun Munawarah mengisi hari-hari tanpa kejelasan nasib suaminya tersebut. ”Anak saya yang masih kecil kadang melamun,” kata Siti dengan mata berkaca-kaca.
Akhirnya, Kamis (7/6/2012), Jumhani diperbolehkan pulang. Jumhani menuturkan, dirinya sore itu diantar ke Stasiun Serang dalam kondisi tanpa uang sepeser pun. Dia pun menumpang kereta untuk kembali ke kontrakannya di Cilegon.
”Saya bertekad kalau ketemu kondektur di atas kereta saya akan bilang mau numpang karena benar-benar enggak bawa uang. Pakaian pun dekil karena belum sempat ganti dan juga enggak pakai alas kaki,” katanya.
Jumhani kemudian mengabari keluarganya di Juhut yang malam itu juga segera menjemputnya. Senin (11/6/2012), Jumhani diantar keluarga dan kerabatnya melaporkan kekejian yang dilakukan oleh oknum polisi Polres Serang ke Bidang Profesi dan Pengamanan (Propam) Kepolisian Daerah Banten. Mereka meminta pihak Polda Banten menindak tegas oknum petugas yang menangkap dan menganiaya Jumhani.
Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Banten Ajun Komisaris Besar Gunawan, Selasa malam, menuturkan, polisi akan memproses laporan dari Jumhani. ”Saat ini sedang dalam proses di Propam Polda Banten, termasuk menyelidiki siapa anggota yang dilaporkan warga tersebut,” katanya.
Kepala Bagian Operasional Polres Serang Komisaris Yudhis Wibisana mengatakan, pihaknya menunggu proses dari Propam Polda Banten. ”Kalau ada warga yang melaporkan seperti itu, ya, akan kami tunggu prosesnya dari Propam. Karena nanti dari Propam, kan, akan dipanggil saksi-saksinya,” kata Yudhis.
http://nasional.kompas.com/read/2012/06/13/06504850/