PROF. Dr. Tu Weiming pernah mengunjungi Indonesia untuk memberikan ceramah dan seminar diberbagai kota seperti Jakarta, Yogyakarta, Semarang dan Surabaya. Prof. Dr. Tu Weiming adalah seorang profesor dalam bidang sejarah dan Filsafat China dan Konfuciani.Dalam ceramahnya di berbagai tempat,
Prof. Tu Weiming selalu menekankan bagaimana belajar menjadi manusia. Belajar menjadi manusia harus dipahami sebagai sebuah proses dinamis tiada akhir dari sebuah pembinaan diri. Pembelajaran ini tidak sekedar sebagai pengembangan ketrampilan professional atau pemahaman terhadap pengetahuan tertentu saja. Pembelajaran ini mempunyai tujuan memberi apresiasi secara menyeluruh terhadap berbagai dimensi kemanusiaan seseorang.
Belajar menjadi manusia tidak terjadi dengan begitu saja. Proses tersebut membutuhkan keputusan dan komitmen pribadi. Tanpa adanya usaha secara sadar, kita sebagai manusia yang memiliki keterbatasan, tidak akan mungkin dapat mengembangkan seluruh potensi yang ada dalam diri kita. Karena itu, kita harus meyakinkan diri kita sendiri pada proses pembelajaran secara moral dan spiritual untuk menjadi manusia sebagai titik awal memulai hidup yang panjang menuju manusia seutuhnya.
Proses pembelajaran ini harus berkesinambungan. Proses tersebut tidak dapat dipahami sebagai sebuah proyek atau program yang dapat mencapai kesempurnaannya pada kurun waktu tertentu. Bahkan dapat dikatakan proses pembelajaran menjadi manusia ini tidak pernah berakhir.
Proses tersebut bersifat holistik atau menyeluruh. Belajar menjadi manusia bukanlah sesederhana mempelajari satu ketrampilan profesi tertentu atau menjadi professional dalam satu tugas tertentu. Kita tahu benar bahwa menjadi musisi atau artis itu melibatkan banyak penguasaan, ketrampilan dan teknik yang baik. Pencarian bakat musik atau keartisan tentunya memerlukan seleksi kepribadian. Sebagai bahan bandingan, belajar mejadi manusia seutuhnya memerlukan sebuah transformasi kepribadian secara total dalam hal etika dan keberagamaan.
Kongzi mendifinisikan pembelajaran otentik sebagai “belajar demi kepentingan diri.” Sekilas kita menangkap kesan adanya semangat individualisme ekstrim dan idealisme subjektif dari apa yang diungkapkannya. Tetapi kesan itu akan segera hilang kalau kita kemudian menyadari bahwa yang dimaksud “diri” bukanlah diri atomistik sebagaimana dipahami oleh tradisi Barat. Diri adalah sesuatu yang niscaya dibentuk dalam pola relasi. Setiap relasi yang dijalin dengan lingkungan di luar dirinya, adalah bagian dari perkembangan dan pembentukan “diri’. Diri adalah kumpulan dari hubungan-hubungan tersebut. Diri adalah suatu yang selalu terbuka. Karena itu diri niscaya berdialog dengan manusia lain secara berkesinambungan.
Untuk lebih bermakna, pengembangan diri perlu melibatkan pengalaman dan refleksi terhadap banyak hal yang berkaitan dengan kehidupan manusia. Setidaknya ada lima bidang pengalaman dan perhatian manusia dalam budaya yang diwarisinya, yang merupakan faktor sangat penting bagi proses pembelajaran menjadi manusia:
Pertama, adalah sanjak. Dalam Kitab Sanjak/Shi Jing, sanjak diartikan lebih luas menjadi ekspresi kesenian pada umumnya. Seni merupakan ekspresi jiwa manusia dalam bentuk estetik ketika manusia berhubungan dengan alam. Kemampuan merespons dunia dalam bentuk puitis, dianggap sangat penting bagi pengembangan diri.
Kedua, adalah aspek ritual. Dalam Kitab Kesusilaan/Li Jing, ritual dimaksudkan sebagai aspek latihan ritualisasi raga dan kedisiplinan yang integral dalam kehidupan. Diri dilatih bagaimana melakukan tindakan sehari-hari yang biasa dilakukan dalam kehidupan dengan orang lain. Menyapu, makan, duduk, berkomunikasi, bersembahyang dan lain-lain adalah sebentuk ritual yang sangat penting dalam pembentukan diri.
Ketiga, adalah Sejarah yaitu memori kolektif berkaitan dengan asal-muasal kita sebagai manusia. Mempelajari sejarah berarti mengetahui dan peduli terhadap norma-norma dan ide-ide utama yang dianut oleh manusia masa lalu di mana kita sekarang menjadi bagian di dalamnya. Pemahaman seperti itu oleh Kongzi dituangkan dalam Kitab Chun Qiu/ Chun Qiu Jing.
Keempat, pandangan politik. Manusia juga harus berpartisipasi dalam kehidupan sosial. Karena itu politik menjadi tak bisa dihindari. Manusia adalah makhluk politik yang harus berpartisipasi secara bertanggungjawab dalam kehidupan politik masyarakat. Pandangan partisipasi politik diartikulasikan dalam Kitab Hikayat/ Shu Jing.
Kelima, manusia tentu tidak bisa dilepaskan dari alam dan dunia, tempatnya hidup. Pandangan positif terhadap kosmos (alam) menjadi penting bagi pembentukan diri. Inilah aspek terakhir ajaran Konfusius yang bisa ditemukan dalam Kitab Perubahan / Yi Jing ( I Ching)
Belajar menjadi manusia tidak terjadi dengan begitu saja. Proses tersebut membutuhkan keputusan dan komitmen pribadi. Tanpa adanya usaha secara sadar, kita sebagai manusia yang memiliki keterbatasan, tidak akan mungkin dapat mengembangkan seluruh potensi yang ada dalam diri kita. Karena itu, kita harus meyakinkan diri kita sendiri pada proses pembelajaran secara moral dan spiritual untuk menjadi manusia sebagai titik awal memulai hidup yang panjang menuju manusia seutuhnya.
Proses pembelajaran ini harus berkesinambungan. Proses tersebut tidak dapat dipahami sebagai sebuah proyek atau program yang dapat mencapai kesempurnaannya pada kurun waktu tertentu. Bahkan dapat dikatakan proses pembelajaran menjadi manusia ini tidak pernah berakhir.
Proses tersebut bersifat holistik atau menyeluruh. Belajar menjadi manusia bukanlah sesederhana mempelajari satu ketrampilan profesi tertentu atau menjadi professional dalam satu tugas tertentu. Kita tahu benar bahwa menjadi musisi atau artis itu melibatkan banyak penguasaan, ketrampilan dan teknik yang baik. Pencarian bakat musik atau keartisan tentunya memerlukan seleksi kepribadian. Sebagai bahan bandingan, belajar mejadi manusia seutuhnya memerlukan sebuah transformasi kepribadian secara total dalam hal etika dan keberagamaan.
Kongzi mendifinisikan pembelajaran otentik sebagai “belajar demi kepentingan diri.” Sekilas kita menangkap kesan adanya semangat individualisme ekstrim dan idealisme subjektif dari apa yang diungkapkannya. Tetapi kesan itu akan segera hilang kalau kita kemudian menyadari bahwa yang dimaksud “diri” bukanlah diri atomistik sebagaimana dipahami oleh tradisi Barat. Diri adalah sesuatu yang niscaya dibentuk dalam pola relasi. Setiap relasi yang dijalin dengan lingkungan di luar dirinya, adalah bagian dari perkembangan dan pembentukan “diri’. Diri adalah kumpulan dari hubungan-hubungan tersebut. Diri adalah suatu yang selalu terbuka. Karena itu diri niscaya berdialog dengan manusia lain secara berkesinambungan.
Untuk lebih bermakna, pengembangan diri perlu melibatkan pengalaman dan refleksi terhadap banyak hal yang berkaitan dengan kehidupan manusia. Setidaknya ada lima bidang pengalaman dan perhatian manusia dalam budaya yang diwarisinya, yang merupakan faktor sangat penting bagi proses pembelajaran menjadi manusia:
Pertama, adalah sanjak. Dalam Kitab Sanjak/Shi Jing, sanjak diartikan lebih luas menjadi ekspresi kesenian pada umumnya. Seni merupakan ekspresi jiwa manusia dalam bentuk estetik ketika manusia berhubungan dengan alam. Kemampuan merespons dunia dalam bentuk puitis, dianggap sangat penting bagi pengembangan diri.
Kedua, adalah aspek ritual. Dalam Kitab Kesusilaan/Li Jing, ritual dimaksudkan sebagai aspek latihan ritualisasi raga dan kedisiplinan yang integral dalam kehidupan. Diri dilatih bagaimana melakukan tindakan sehari-hari yang biasa dilakukan dalam kehidupan dengan orang lain. Menyapu, makan, duduk, berkomunikasi, bersembahyang dan lain-lain adalah sebentuk ritual yang sangat penting dalam pembentukan diri.
Ketiga, adalah Sejarah yaitu memori kolektif berkaitan dengan asal-muasal kita sebagai manusia. Mempelajari sejarah berarti mengetahui dan peduli terhadap norma-norma dan ide-ide utama yang dianut oleh manusia masa lalu di mana kita sekarang menjadi bagian di dalamnya. Pemahaman seperti itu oleh Kongzi dituangkan dalam Kitab Chun Qiu/ Chun Qiu Jing.
Keempat, pandangan politik. Manusia juga harus berpartisipasi dalam kehidupan sosial. Karena itu politik menjadi tak bisa dihindari. Manusia adalah makhluk politik yang harus berpartisipasi secara bertanggungjawab dalam kehidupan politik masyarakat. Pandangan partisipasi politik diartikulasikan dalam Kitab Hikayat/ Shu Jing.
Kelima, manusia tentu tidak bisa dilepaskan dari alam dan dunia, tempatnya hidup. Pandangan positif terhadap kosmos (alam) menjadi penting bagi pembentukan diri. Inilah aspek terakhir ajaran Konfusius yang bisa ditemukan dalam Kitab Perubahan / Yi Jing ( I Ching)