Sabtu, 11 Desember 2010

Latar Belakang Matakin

Latar Belakang Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia
(Oleh Hs. Bing)
Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia, yang disingkat MATAKIN adalah sebuah kelembagaan agama Khonghucu yang berdiri tahun 1955, sebagai kelanjutan dari institusi Khong Kauw Tjong Hwee ~ Lembaga Pusat Agama Khonghucu yang pernah dibangun di Yogyakarta tahun 1923.
Secara historis kita mencatat pula berdirinya institusi pendidikan swasta ‘nasional’ Indonesia, Tiong Hwa Hwee Kwan (THHK) tahun 1900 di Jakarta. Kedua lembaga itu dibentuk tokoh intelektual dan pendidik Khonghucu kelahiran Nusantara, yang berhasrat membangun kehidupan beragama dan berbudi-pekerti luhur bagi masyarakat di tanah-air Indonesia, yang waktu itu masih didalam kekuasaan kaum penjajah.
Untuk memahaminya dengan baik, kita mengenal terlebih dahulu latar-belakangnya, apa itu agama Khonghucu beserta kelembagaan agama dan moral-edukatif yang diajarkan nabi / guru-besar Kongzi semenjak 2550 tahun lebih yang lampau.

Nabi Kongzi dan Agama Khonghucu
Nabi Kongzi, atau Khonghucu (Confucius) hidup antara tahun 551 – 479 sM. Beliau mengembang-lanjutkan agama Ru Jiao, yang kini juga disebut agama Khonghucu.
Agama Khonghucu secara universal telah dikenal jauh sebelum kelahiran nabi besar Kongzi sendiri. Kelembagaan agama yang tumbuh di dalam sejarah perkembangan agama Khonghucu berawal dari wahyu Tuhan (Tian Xi) tertua 30 abad sM.

Kelembagaan Ibadah Tertua
Berdasar perkembangan sejarah dunia, maka semua komunitas agama berasal dari Tuhan Maha Pencipta. Nilai universal semua agama merupakan roh budaya religius masyarakat modern sekarang ini.

Dalam lembaga agama Khonghucu, keyakinan akan keesaan Tuhan (Da Yi) sudah terjabar sejak turunnya He Tu, wahyu Tuhan atau Tian Xi tertua dalam agama Ru Jiao. Wahyu pertama ini diterima oleh nabi purba, Fu Xi (30 abad sM). Kongzi adalah nabi besar yang menerima wahyu kelima, Yu Shu (5 abad sM.).

Lembaga Ibadah tertua yang diwahyukan melalui para nabi purba Ru Jiao tersebut, semula terdiri dari tiga kelembagaan ibadah :
1. Kauw atau Jiao - kelembagaan ibadah kepada Tuhan Maha Pencipta.
2. Sia atau Shi - kelembagaan ibadah mensyukuri karunia kuasa Tuhan di alam.
3. Bio atau Miao - kelembagaan ibadah bakti dan mendoakan arwah leluhur.

Ketiganya bersumber pada Tiga Hakikat yang disebut San Chai : Alam keTuhanan (Thian), alam semesta Di, alam kemanusiaan Ren. Hal ini pertama-tama bersumber kenyataan Tuhan sebagai Maha Pencipta.

Kemudian kuasa hukum-Nya yang abadi dalam alam-semesta, habitat hidup segala makhluk ciptaan-Nya. Serta kuasa firman-Nya yang berisi benih kebajikan dalam Watak Sejati manusia, makhluk-Nya yang termulia diantara ciptaannya.

Lembaga Ibadah Kong Miao (Khong Bio) pertama
Nabi Kongzi adalah yang mengajarkan Jalan Suci Tuhan kepada seluruh umat manusia, menjabarkan Kitab Suci Tuhan, Tian Shu. Ditegakkan kelembagaan agama sebagai perintah Firman Tuhan atas segenap insan yang beriman. Semenjak diajarkan oleh beliau, maka agama Ru Jiao bukan lagi hanya menjadi institusi istana.

Agama Khonghucu dikembangkan oleh nabi besar Kongzi kepada masyarakat luas, kepada rakyat jelata, dengan pedoman rohani beliau “You Jiao, Wu Lei !” ~ Ada pendidikan, tak boleh ada pembedaan !

Ditegakkan kewajiban berbakti kepada orangtua dan leluhur di tempat ibadah Bio atau Miao. Hal ini berkembang dari jaman ke jaman menembus masa dinasti pertama, He atau Xia (23-18 abad sM), dinasti kedua, Yin atau Shang (18-12 abad sM) dan dinasti ketiga Ciu atau Zhou (12-3 abad sM).

Oleh jasa beliau inilah, para kaisar berbagai dinasti kemudian memberikan gelar rohani kepada nabi Kongzi hingga berabad-abad setelah beliau kembali keharibaan Tuhan.
Khongcu Bio atau Kongzi Miao pertama dibangun raja negeri Lu tahun 477sM, untuk menegakkan maha karya kenabian beliau sebagai Genta Rohani Tuhan sendiri atau Tian zhi Mu Duo, dua tahun setelah kemangkatannya di Qufu, propinsi Shandong sekarang.

Lembaga Kong Miao – Warisan Dunia
Kong Miao, dibangun terutama untuk melestarikan Kelembagaan Ibadah kepada TIAN sebagaimana diteladankan sang nabi besar, KONGFUZI. Kong Miao merupakan lembaga religius tertinggi pemeluk agama Khonghucu. Dia merupakan milik budayawan dan agamawan Khonghucu, bahkan milik dunia. Kini UNESCO, badan dunia di bawah Perserikatan Bangsa Bangsa menetapkan Kong Miao sebagai World Heritage, warisan dunia !

Di era Song (960-1279), ekuivalen masa dinasti kerajaan Kadiri dan Singhasari di Nusantara, baginda Ren Zhong bahkan menganugerahkan gelar khusus kepada keturunan sang nabi, yaitu: pangeran Yang Sheng. Pada masa sekarang pewaris marga Kong bukan dihormati karena gelar itu, tapi atas peranannya sebagai intelektual dan edukator moral-religius. Keturunan ke 77, Prof. Kong De Cheng adalah guru besar di berbagai universitas dunia dan acapkali diundang memberi kuliah di berbagai perguruan tinggi Asia dan Amerika.


Situs Sejarah Lembaga Ibadah Agama Khonghucu
Dari era dinasti Shang, arkeolog menemukan situs ibadah di Henan (berasal: th.1115sM), situs ibadah dinasti Han di Chang’an (berasal: th.3 sM), situs Tian-tang era dinasti Tang di Luoyang (berasal: th.691 M), situs Tian Tan (Temple of Heaven) setelah ibukota pindah ke Beijing era dinasti Ming (berasal: th.1420M).

Tempat Ibadah Tuhan inilah yang beberapa kali direnovasi, tahun 1530, 1751 dan 1896 tetap dengan sebutan : Tian Tan. (“Chronology of major events in ancient Chinese Architecture”) Tinggi Tian Tan 37,5 m. Luasnya 273 ha, sekitar tiga kali lebih luas daripada istana sang kaisar Ming, Yongle (1403 – 1424 M).

Kong Jiao Litang sebagai tempat kebaktian umat Konghucu di tanah air Indonesia dewasa ini bersumber padanya. Kongzi Miao hampir semuanya di bangun di Utara Katulistiwa, baik di daratan China, Korea, Jepang, Taiwan.

Lembaga Ibadah Khonghucu Indonesia
Pada akhir abad 19 sampai abad 20 dibangun Kong Miao, Lembaga Ibadah Khonghucu pertama di Asia Tenggara. Tepatnya di jalan Kapasan 131 kota Surabaya, Jawa Timur, Indonesia, yang memakai nama : Boen Bio atau Wen Miao. Inilah satu-satunya Kong Miao yang berada di lengkung selatan ekuator atau katulistiwa.

Diantara berbagai peninggalan budaya religius yang ada di bumi Nusantara ini Boen Bio atau Wen Miao di kota Surabaya menjadi bagian tak terpisahkan dari jejak budaya bangsa bangsa di benua Asia dan Asia tenggara.

Hal ini sekaligus melukiskan arus peradaban dan budaya religius agama agama besar si tanah air Indonesia. Sejarah dunia mencatat eksistensi berbagai komunitas agama yang diturunkan Tuhan : Islam, Nasrani, Buddha, Hindu, Tao, Shinto, Khonghucu.

Secara universal semua komunitas agama memiliki sejumlah aspek agamis :
1.Aspek keyakinan kepada Tuhan.
2.Aspek keyakinan wahyuNya melalui Nabi, Rasul, Guru Agung UtusanNya..
3.Aspek keyakinan diturunkanNya Kitab Kitab Suci.
4.Aspek keyakinan moral dan institusi ibadah dan Tempat Ibadahnya
5.Aspek keyakinan yang tumbuh melalui sejarah dunia.
6.Aspek keyakinan umat yang menjalankannya sebagai ‘spiritual life’ nya.

Melewati sejarah yang cukup panjang itu telah berkembang arus budaya insan beriman, yang bersumber pada turunnya wahyu Tuhan (Tian Xi). Perjalanan budaya keagamaan dunia itupun berada dalam alur sejarah Nusantara, paralel dengan tumbuh kembang kelembagaan yang ada di seluruh dunia umumnya, benua Asia khususnya.

Telah kita ketahui bersama dalam kurun prasejarah itulah oleh akhli antropologi dan arkaeolog ditemukan jejak jejak peradaban dan budaya nenek-moyang berbagai bangsa di Asia dan Asia Tenggara. Tercatat dalam historiografi dunia, perpindahan penduduk secara besar-besaran dari arah utara ke kawasan selatan.migrasi besar-besaran itu menurut para akhli adalah dimulai pada kurun waktu 20 abad sM terus-menerus dan

Kemudian yang terbesar adalah migrasi besar-besaran kedua sekitar 500 tahun sM. Sejarah budaya religius agama Ru Jiao dan kelembagaannya, kita ketahui juga meliputi kurun waktu itu, dari 30 abad sM sampai 6 abad sM saat kehidupan nabi besar Kongzi.

Kelembagaan Agama Di Era Penjajahan
Era penjajahan dalam sejarah kita catat merupakan penindasan atas berbagai bangsa, termasuk di kawasan Nusantara. Penjajahan memang merupakan bagian ‘kelam’ kehidupan beragama di bumi Asia, Asia Tengara dan Indonesia.

Begitu berat tekanan hidup beragama yang dirasakan masyarakat Nusantara. Termasuk dirasakan umat beragama Khonghucu, bersama-sama masyarakat beragama Islam, Hindu, dan Buddha, dalam mengembangkan ibadah dan kelembagaan agamanya. Bahkan sejumlah tokoh agama Budha pernah menyatakan, bahwa dalam era pemerintah kolonial Belanda di bumi Nusantara, nyaris kelembagaan mereka yang beragama Budha lenyab, tiada satupun vihara yang eksis.

Selama masa VOC banyak terjadi kekacauan dan pergolakan, yang melibatkan seluruh sendi kehidupan masyarakat sipil di Nusantara. Di jaman penjajahan Belanda ( dan kemudian Jepang ), boleh dikatakan masyarakat Nusantara tidak memiliki keleluasaan di dalam melakukan ibadah sesuai tuntunan agamanya.

Barulah ketika memasuki abad ke 20, masyarakat intelektual berbagai agama mulai bersama-sama membangkitkan kesadaran kebangsaan Indonesia. Di kalangan masyarakat Nusantara tumbuh lembaga lembaga pendidikan yang bersifat swasta nasional, bersumber nilai luhur budaya religius.

Muhamadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU), bersama sama dengan Taman Siswa dan Tiong Hwa Hwee Kwan (THHK) merupakan contoh kongkrit kesadaran kebangsaan dan religius tokoh beragama, dalam hal ini Islam dan Khonghucu di tanah air Indonesia. Menembus dominasi persekolahan swasta yang didirikan kaum misi dan zending (Katolik, Kristen) dan yang didirikan pemerintah kolonial.

Kelenteng atau Miao sebagai tempat ibadat umat Khonghucu, yang kemudian menerima juga umat Budha Mahayana dan Tao, di tangan kolonial Belanda ‘melulu’ dianggap ‘adat-istiadat’ kaum ‘Hwa-kiauw’ (‘kaum peranakan Tionghwa’ sebuah istilah khas penjajah Belanda yang diskriminatif ).

Pemerintah kolonial memecah-belas penduduk Indonesia menjadi golongan istimewa: kaum Eropeesche; kemudian baru golongan boemi-poetera dan timur-asing. Dengan begitu sarana ibadat masyarakat Nusantara kecuali ‘kerk’ (gereja) sama sekali tidak memperoleh dukungan moril apalagi materiil.

Lithang Khong Kauw Hwee juga sulit berkembang karena dianggap bukan ‘godsdient’ (agama), hanya sebuah ‘lembaga adat’ dimana ini semua disebabkan oleh dominasi budaya politik kaum penjajah.

Demikian pula dengan Masjid dari masyarakat Islam, maupun Pura dari masyarakat Hindu mengalami hal yang sama dengan tempat ibadat agama Khonghucu, oleh budaya politik Belanda dipandang ‘hanya’ kepercayaan ‘adat-istiadat anak-negeri’ (bumi-poetera).

Memang berbeda ‘nasib’ lembaga agama Islam, Khonghucu dan Hindu, apabila dibandingkan dengan ‘KERK’ (Gereja) Kristen Protestan dan Katolik, yang didukung lewat ‘fonds’ (dana) ‘missi’ dan ‘zending’ dari Eropah yang difasilitasi pemerintah kolonial Belanda !

Kelembagaab agama Masa 1900-1945
Institusi keagamaan masyarakat Khonghucu di Nusantara semakin meningkat dengan berdirinya Wen Miao dan THHK di Indonesia, diikuti Khong Kauw Hwee (KKH) atau Lembaga Agama Khonghucu di berbagai kota besar.

Awal 1900 sejarah mencatat peran tokoh agama Khonghucu dalam membangun lembaga pendidikan swasta Tiong Hwa Hwee Kwan (THHK). Ketua THHK adalah sesepuh agama Khonghucu waktu itu : Phoa Keng Hek dan Tan Kim San.

Sejalan pula dengan berdirinya Muhammadiyah oleh KH.A. Dahlan (1912), Taman Siswa oleh Ki Hajar Dewantoro (1922), Nahdlatoel Oelama oleh KH.Hasyim Ashari (1926). Keempat kelembagaan pendidikan swasta Nusantara diatas berhadap-hadapan dengan sekolah sekolah kolonial yang berbahasa Belanda. Sedang THHK, Muhamadiyah, Taman Siswa dan NU menolak berbahasa Belanda !

Kelembagaab Agama Masa Kemerdekaan
Setelah mengalami tekanan kehidupan beragama yang cukup berat, maka bersama-sama masyarakat beragama Islam, Hindu, Budha, umat Khonghucu memperoleh kembali kesempatan untuk mengembangkan ibadah dan kelembagaan agamanya.

Berbagai Miao / Kelenteng, Lithang dan lembaga pendidikan (Shu Yan)
dikembangkan.Beberapa Miao atau Kelenteng tadi sudah ada sejak jaman kerajaan Nusantara abad 14 - 15 M dan tetap terpelihara sampai di jaman kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia ini.

Lembaga Pusat Boen Bio dan Khong Kauw Tjong Hwee
Tempat Ibadat Utama Agama Khonghucu adalah Kong Miao. Ada dua jenis yang kita kenal semula. Pertama, yang altarnya menempatkan Kim-sin Nabi Besar Kongzi, disebut: Khongcu Bio atau Kongzi Miao.

Kedua, yang pada altarnya bukan patung Altar atau Kim-sin Nabi Kongzi, melainkan Papan Roh atau Sin Ci nabi besar Kongzi, dinamakan : Boen Bio atau Wen Miao.

Di Surabaya pada mulanya terdapat sebuah bangunan Tempat Ibadat Agama Khonghucu, semula disebut : Boen Tjhiang Soe (1880-an). Atas kesepakatan para tokoh agama Khonghucu waktu, 1900-1904 direnovasi sebagai Lembaga Boen Bio (Wen Miao).

Inilah satu-satunya Bangunan Ibadat Khong Bio (Kong Miao) yang ada di lengkung selatan ekuator/ katulistiwa.

Khong Kauw Tjong Hwee – Lembaga Pusat Pertama
Di Yogyakarta pertama kalinya digelar konferensi agamawan Khonghucu guna menata kelembagaan modern, juga membakukan tata-ibadah agama Khonghucu. Disepakati bersama untuk mendirikan lembaga pusat.

Badan pusat itu disebut : Khong Kauw Tjong Hwee (KKTH) atau Kong Jiao Zhong Hui. Ditetapkan berkedudukan di Bandung (1923). Setahun kemudian, di Bandung diadakan Kongres KKTH, tepatnya tanggal 25 September 1924, untuk keseragaman Tata Agama dan Tata Laksana Upacara.

Penerbitan majalah Khong Kauw Gwat Po, ceramah dan khotbah agama Khonghucu bagi masyarakat mulai dilaksanakan. Yang lebih unik, bahasa yang digunakan bukanlah bahasa Tionghoa, melainkan dipakai bahasa ‘anak negeri’, yaitu bahasa Melayoe.

Tokoh sesepuh agama Khonghucu yang mendirikan KKTH pada tahun 1923 tersebut berasal dari berbagai kota. Antaranya dua sesepuh : Tio Tjien Ik dan Auw Ing Kiong dari Sala, beliau berdua juga duduk sebagai pengurus KKTH antara 1930-1940.

Beberapa Tokoh Yang Berperan Dalam KKTH Antara 1923-1942:
Dari Surabaya a.l.: Ie Hien Liong, Tan Giok Tong, Ibu Tjoa Hiem Nio dan Tan Tjiam Nio. Tokoh Gresik : Liem Thay Yang dan Ong Kok Gan. Tokoh dari kota Semarang : Liem Mo Lien dan Tan Ngo Siang. Dari kota Pekalongan, a.l.: Oey Pie Lok, Gouw Sien Hwat, Soei Siong Moey. Dari Cirebon a.l.: The Kian Giap, Liem Keng Hong, Ibu Tan Seng Tjay dan Oei Giok Lie.

Tokoh kota Indramayu a.l.: Pouw Ping Yauw, Ibu Tan Ik Tie, Nyoo Gin Ho. Dari Bogor (waktu itu disebut Buitenzoeg) a.l.: Tan Ek Tjwan. Dari Purworejo : Tan Tjien Aan, Sie Djing Tong, Ibu Tjoa Thian An dan Oh Tien Nio. Dari Sala : Oey Ing wiw dan Auw Ing Kiong. Dari Kutoarjo : Tan Ling Tik, Ong Ping Gwan, Ibu Yap Tiauw Hok dan Ouw Gwat Hian. Bahkan dari Makasar : Souw Tjie Yong.

Seorang tokoh budayawan di kalangan intelektual Indonesia waktu itu yang kemudian menjadi penulis Kitab Pedoman A B C Bahasa Melayoe. Beliau ialah bapak Lie Kiem Hok, salah seorang tokoh pendidik dan pendiri lembaga edukasi swasta nasional, THHK (Tiong Hwa Hwee Kwan) tahun 1901 di Batavia (Jakarta). Pada tahun 1886 Bp.Lie Kiem Hok juga menerbitkan dalam bahasa ‘Indonesia-Melayoe’: Kitab Hikayat Khonghucu.

Khong Kauw Hwee dan Tiong Hwa Hwee Kwan
Demikianlah, institusi keagamaan Khonghucu Indonesia eksis sejak pra kemerdekaan, baik Khong Kauw Hwee (KKH) sebagai lembaga agama Konghucu maupun Tiong Hwa Hwee Kwan (THHK),dengan susah-payah dikembangkan masyarakat pemeluknya di tanah air kita. Kedua institusi tadi merupakan kontribusi masyarakat Indonesia yang beriman Khonghucu, yang mulai dapat menembus dominasi penjajah !

Lembaga Keagamaan Pada Masa 1945-1955
Tempat ibadah pemeluk agama Khonghucu di tanah air Indonesia disamping Wen Miao yaitu : Ru Jiao Li Tang, tempat kebaktian umat agama Khonghucu, yang tersebar di seluruh kota kota besar di Indonesia. Cukup banyak Li Tang Agama Khonghucu yang dibangun oleh lembaga keagamaan KKH atau Majelis Agama Konghucu Indonesia; kemudian pada 1955 membentuk institusi nasional yakni Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia di Jakarta.

Ada pula Li Tang Agama Konghucu Indonesia yang dibangun di dalam lingkungan Kelenteng. Kelenteng sesuai aspek religiusnya kadang mempunyai sebutan yang khas, seperti : Gong, Ding, She, Guan, An, Ci dan Tang. Ambil contoh: Fu De Miao, Guan Sheng Miao, Yong An Gong, Nan Zheng Gong, Guan Yin Ding, Tai Jie She..

Yin Ni Khung Chiao Lien He Hui - MATAKIN
Setelah Khong Kauw Tjong Hwee sebagai lembaga keagamaan pertama Pusat Agama Khonghucu (Confucius) sejak 1923 – 1942, kemudian serangan balatentara Jepang ke tanah air Indonesia menyebabkan seluruh kelembagaan kita terhenti.

Perang kemerdekaan yang kemudian berkecamuk, disusul antara tahun 1945 - 1950 banyak terjadi perubahan cepat di tanah air Indonesia, sehingga kehidupan beragama Khonghucu belum dapat ditingkatkan kelembagaannya.

Kita bersyukur pada bulan Desember 1954 diadakan konferensi antara perwakilan :
1. Khong Kauw Hwee Sala,
2. Boen Bio – Khong Kauw Hwee Surabaya,
3. Khong Kauw Hwee Malang,
4. Khong Kauw Hwee Semarang,
5. Khong Kauw Hwee Bandung,
6. Khong Kauw Hwee Ciampea,
7. Khong Kauw Hwee Bogor.

Dalam persiapan bulan Desember 1954 itulah disepakati akan diadakan konferensi penting pada bulan April 1955 di Sala. Maksud utama adalah mendirikan kembali lembaga nasional Khong Kauw Hwee, sebagaimana pernah terbentuk di Yogyakarta 1923,

Tokoh-Tokoh Pendiri Perserikatan Khung Chiao Hui Indonesia.
Sesepuh agama Khonghucu yang ikut berperan dalam membangun kembali intsitusi nasional agama Khonghucu, ialah :

- Auw Ing kiong dari KKH Sala.
- Thio Tjoan Tek dan Tjan Hoat Kie dari KKH Bandung.
- Oei Ping Sing, Tio Tien Hway, Tn.Ny. Ong Hong Heng dari KHH Boen Bio Surabaya. - Lie Ing Lien (Hs.G.Budiatmadjaja) dari KKH Semarang.
- Tjan Djoen Hie (Hs.S.Dh.Chandra) Tangerang.
- Yap Bo Chin, Kwee Kok Tjo, Kwee Boen Hian dari KKH Malang.
- Hs.Tan Hok Liang dari KKH Ciampea.
- Thung Tiong Wie, Tan Liong Kie dari KKH Bogor.
- The Yoe Soen dari KKH Bandung.

Para beliau adalah sejumlah tokoh agamawan dan rohaniwan Khonghucu di tanah air Indonesia, yang berasal dari Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur yang berperan langsung dalam membangun Lembaga Tinggi Agama Khonghucu di tanah air sesudah masa kemerdekaan tahun 1955 tersebut.

Dalam Konferensi di Sala itulah kemudian disepakati berdirinya Yin Ni Khung CHIAO Lien He Hui atau Perserikatan Khung Chiao Hui Indonesia. Lembaga inilah yang kini kita kenal sebagai : MATAKIN.

Pada awal berdirinya MATAKIN yang waktu itu disebut Perserikatan Khung Chiao Hui Indoneia, sebagai Ketua Perserikatan : Dr.Kwee Tjie Tiok. Sekretaris Perserikatan adalah (kini Hs.) Tjhie Tjay Ing. Beliau berdua adalah tokoh agamawan dari Khong Kauw Hwee Sala.

Hari bersejarah tersebut adalah tepat tanggal : 16 April 1955, dua minggu sebelum Presiden Pertama Republik Indonesia, Ir.Soekarno membuka Konferensi Internasional Asia Afrika yang diselenggarakan di kota Bandung.

Perkembangan Penting Kelembagaan
Banyak kemajuan yang dicapai umat agama Khonghcuu di tanah air dengan berdirinya Perserikatan Khung Chiao Hui Indonesia atau MATAKIN semenjak 1955. Kehidupan beragama semakin ditingkatkan, demikian pula banyak berdiri Khong Kauw Hwee (Kong Jiao Hui) sebagai lembaga keagamaan.

Masyarakat beragama Khonghucu jugamelakukan pengabdian sosial, berperan dalam pengembangan seni budaya nasional Indonesia, keolahragaan maupun dalam perjuangan di bidang pendidikan nasional.

Khong Kauw Hwee kini disebut : Majelis Agama Khonghucu Indonesia (MAKIN) melayani umat agama Khonghucu di pulau Jawa maupun di Sulamesi, Kalimantan, Bali, Sumatera, bahkan di Maluku dan Irian Jaya.

Pendidikan Keagamaan
Sebuah kelembagaan agama memiliki institusi pendidikan Keagamaan. Dalam kelembagaan MATAKIN, bidang kerohaniwanan juga memiliki kurikulum pendidikan keagamaan bagi para rohaniwan. Lasimnya pendidikan demikian diadakah oleh sebuah institusi yang disebut : Shu Yan.

Rohaniwan agama Khonghucu terdiri atas : penebar agama (Jiaosheng), guru agama (Wenshi) maupun pendeta (Xueshi), dengan tugas mengembangan studi dan pelayanan sosial religius masyarakat pemeluknya, termasuk melaksanakan pendidikan agama bagi para murid beragama Khonghucu.

Pendidikan agama bagi segenap murid beragama Khonghucu juga sudah dilaksanakan lebih intensif semenjak 1967 di wajibkan di sekolah-sekolah di seluruh tanah air Indonesia. Dengan demikian dari sekolah dasar, menengah dan perguruan tinggi diadakan pula kurikulum pengajara agama. MATAKIN bidang pendidikan juga telah mempunyai kurikulum pengajaran agama Khonghucu.

Munas MATAKIN
Kelembagaan agama Khonghucu sebagai representatif dari kehidupan beragama segenap umat pemeluknya , secara periodik mengadakan musyawarah secara nasional. Musyawa rah nasional akan membahas seluruh institusi yang ada di dalam lembaga di daerah mau pun di tingkat nasional.

MATAKIN mempunyai tiga institusi untuk membangun sebuah sitem pengembangan dan pelayanan kehidupan sosial religius seluruh masyarakat pemeluknya, yaitu :

1. Dewan Presidium MATAKIN
2. Dewan Rohaniwan MATAKIN.
3. Dewan Pengurus MATAKIN.

Disamping ketiga Dewan utama di atas, MATAKIN dapat pula menyusun Dewan Dewan lain antara lain :Dewan Kehormatan MATAKIN, Dewan Pakar MATAKIN, Dewan Penyantun MATAKIN, Dewan Penasihat MATAKIN.

Dalam ketentuan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD ART) MATAKIN dijelaskan fungsi masing-masing isntitusi di atas :

AD MATAKIN Bab IX Pasal 14, 1:
Presidium MATAKIN adalah manifestasi kedaulatan tertinggi Anggota MATAKIN yang mempunyai tanggung-jawab utnuk memilih, mengangkat, mengontrol dan memberhentikan Ketua Umum Dewan Pengurus MATAKIN, jika nyata-nyata terbukti melakukan pelanggaran mendasar terhadap Anggara Dasar dan Anggaran Rumah Tangga; serta secara rutin memberikan santunan dan atau nasihat kepada Dewan Pengurus, agar senantiasa dapat bekerja di jalur yang benar, baik dan efektif, sesuai yang dicita-citakan dan diamanahkan seluruh anggota.

Dewan Presidium MATAKIN selayaknya terdiri atas : Para Rohaniwan setingkat Wenshi ke atas, dipilih oleh Musyawarah Nasional MATAKIN.

AD MATAKIN Bab IX Pasal 14, 2:
Dewan Rohaniwan MATAKIN merupakan Dewan Tertinggi Rohaniwan Agama Khonghucu, yang mempunyai tanggung-jawab atas pembinaan rohaniwan, menampung aspirasi rohaniwan dan mengontrol segala aktivitas serta kredibilitas setiap rohaniwan agama Khonghucu di Indonesia. Untuk menetapkan Pedoman dan Mekanisme Kerja, serta program kerja yang bersifat strategis, Dewan Eohaniwan MATAKIN melaksanakan Musyawarah Kerja Nasional (MUKERNAS) yang diikuti para rohaniwan (Xueshi, Wenshi, Jiaosheng) dan pimp.Dewan Pengurus MATAKIN & peng. MAKIN MAKIN.

AD MATAKIN Bab IX Pasal 14, 3:
Dewan Pengurus MATAKIN merupakan Dewan Pelaksana Tertinggi Organisasi yang bertanggung-jawab utnuk memimpin Majelis, menjalankan Anggaran Dasar, Anggara Rumah Tangga, serta mengejawantahkan seluruh program kerja yang diamanatkan Anggota.

MUNAS MATAKIN yang terbaru di adakan di Jakarta September 2002, dengan menyempurnakan AD ART MATAKIN, menetapkan susunan Pengurus MATAKIN untuk bertanggung-jawab dalam Masa Pengabdian 2002 – 2006.
Hal ini adalah sebagai penyempurnaan program kerja yang ditetapkan Munas sebelmnya.

Mukernas Dewan Rohaniwan
Dewan Rohaniwan MATAKIN ialah badan predikasi korps rohaniwan. Rohaniwan agama Khonghucu mengikuti pendidikan keagamaan, punya jiwa keteladanan, memenuhi kode etik Deroh, mematuhi AD/ART MATAKIN serta ketentuan Shi Gao maupun Tata Agama & Tata Laksana Upacara Agama Khonghucu Indonesia, yang ditetapkan dalam konferensi / musyawarah kerja nasional yang khusus diadakan untuk itu
.
Mukernas I Rohaniwan Agama Khonghucu se-Indonesia di Ciamis, dipimpin Dr.Sardjono, Hs.Nio Kie Gian, Hs.Oey Yok Soen dan Hs. Tjhie Tjay Ing, menjelang Konggres MATAKIN, 5-6 Desember 1964 di Tasikmalaya.

Kemudian menjelang Konggres VII MATAKIN di Pekalongan 24-28 Desember 1969 di Sala dan 18-22 Desember 1975 di Tangerang. Untuk lebih mengkonfirmasikan hasil-hasil musyawarah itu, rokhaniwan mengadakan temu-karya para Haksu di Lithang Gerbang Kebajikan Makin Sala.

Temu Karya Dewan Haksu MATAKIN
Temu-karya para Haksu di Lithang Gerbang Kebajikan Makin Sala tersebut dihadiri lima Haksu yang ada pada waktu itu, yaitu :

1 .Hs. S.Dh.Tjandra (Tjan Djoen Hie) Tangerang;
2 .Hs. Tjhie Tjay Ing Sala;
3. Hs.G.Budiatmadjaja (Lie Ing Liem) Semarang;
4. Hs. Heru Soetjiadi (Tjia Siang Hay) Ciampea ,
5. Haksu Drs. The Houw Sek Malang.

Perkembangan MATAKIN berlanjut, generasi-muda tampil menggantikan Xueshi Suryo Hutomo, Wenshi Onglee Kuswanto. Tampil pimpinan baru dari generasi muda, dua periode dipimpin oleh Bs. Dr. Chandra Setiawan M.M, dan setelah Munas XIV yang diselenggarakan di Jakarta, kini dipimpin oleh Bs. Ir. Budi Santoso Tanuwibowo.

Semoga dengan rakhmat Tian, pengurusan baru MATAKIN akan mampu memberikan pengabdian untuk perkembangan dan masa depan yang lebih baik, meskipun harus lebih banyak perjuangan untuk menjawab tantangan dan mengatasi permasalahan yang kian bertambah mengingat lebih terbukanya kesempatan untuk berkembang.

AD/ART MATAKIN yang telah diperbarui pada MUNAS terakhir. Demikian pula program kerja dan rencana strategis MATAKIN 2002 – 2006. Disamping itu juga Amanat Dewan Rokhaniwan (Shi Gao) merupakan rangkuman hasil Mukernas Derokh MATAKIN yang diselenggarakan di Bandungan, Ambarawa pada tanggal 20-22 Desember 2002.

SEKRETARIAT MATAKIN :
Alamat : Komplek Ruko Royal Sunter Blok F-23, Jl.Danau Sunter Selatan, Jakut.
Telpon : 031 - 6509941.
Facsimile : 031 – 65302778.

Dalam Kebajikan, Tuhan senantiasa berkenan !
Shanzai.