Menelusur waktu, beberapa tahun yang lalu perahu roda lambung pernah menjadi primadona Sungai Batanghari. Di atas badan perahu berukuran panjang 20 meter dan lebar 8 meter ini, wisata air Sungai Batanghari hidup.
Tubuh putih perahu ini terlihat minimal dua kali sehari dengan jalur Tanggo Rajo-Batanghari atau kompleks Candi Muaro Jambi. Masyarakat pun akrab mengenalnya.
Namun sosoknya menghilang, dan saat ini tergolek di tepi sungai, di daerah RT 4 Kelurahan Tanjung Johor Kecamatan Pelayangan.
"Dulu sering bolak-balik bawa tamu dari dalam dan luar negeri, ado bae yang naik tiap harinya. Sekarang tengok sendirilah kondisinya," ujar Misbah (46), penjaga perahu roda lambung, Senin (10/1).
Dan memang, apabila kita menyusur Sungai Batanghari menggunakan ketek, dari Tanggo Rajo ke arah jembatan Batanghari II di sisi kiri akan tampak sebuah perahu besi berwarna putih pudar dengan bagian-bagian yang telah rusak. Tergolek di pinggir sungai bisa dikatakan perahu tersebut akan karam.
Perahu dua tingkat ini mempunyai sejarah tersendiri. Awal muasal kepemilikannya karena barter antara Pemkab Batanghari dan Pemprov Jambi. Sebuah perahu roda lambung ditukar dengan kendaraan.
Itulah awal kepemilikan kapal oleh provinsi, yang sebelumnya adalah milik Pemkab Batanghari.
"Di atap ada tulisan Serentak Bak Regam, itu semboyan Batanghari," jelas Misbah sambil membaca tulisan putih di atap kapal.
Ditambahkan pula pegawai honorer ini, sejak beralih kepemilikan, nasib perahu ini kurang dirawat. Pemerintahan terdahulu rupanya tidak menganggap penting keberadaan kapal ini.
Padahal secara geografis, Jambi adalah provinsi dengan kekuatan ada sungai, namun sayang tidak ada ikon mengenai wisata air. "Itulah mengapa kapal ini setengah hidup, dak ado perhatian," timpal lelaki berkumis ini.
Hampir sepuluh tahun, lima tambang yang mengikat badan kapal ke tiang pemancang tepi sungai menjadi saksi. Diceritakan lelaki ini kalau tambang itulah yang menjaga supaya kapal tidak hanyut ketika banjir.
"Kalau dak ado tambang maka musnah sudah sejarah kapal karena karam saat banjir," timpalnya.
Hanya itulah usaha yang dilakukannya selain menambal beberapa bagian kapal yang bocor dengan semen supaya tidak karam.
Uang sendiri pun keluar dari sakunya lantaran tidak ada dana pemprov yang turun untuk aset milik daerah. "Ya kayak mano, ini seperti anakku sendiri," katanya sambil tertawa.(duanto a sudrajad)
http://jambi.tribunnews.com/2011/01/11/ini-seperti-anakku-sendiri
Tubuh putih perahu ini terlihat minimal dua kali sehari dengan jalur Tanggo Rajo-Batanghari atau kompleks Candi Muaro Jambi. Masyarakat pun akrab mengenalnya.
Namun sosoknya menghilang, dan saat ini tergolek di tepi sungai, di daerah RT 4 Kelurahan Tanjung Johor Kecamatan Pelayangan.
"Dulu sering bolak-balik bawa tamu dari dalam dan luar negeri, ado bae yang naik tiap harinya. Sekarang tengok sendirilah kondisinya," ujar Misbah (46), penjaga perahu roda lambung, Senin (10/1).
Dan memang, apabila kita menyusur Sungai Batanghari menggunakan ketek, dari Tanggo Rajo ke arah jembatan Batanghari II di sisi kiri akan tampak sebuah perahu besi berwarna putih pudar dengan bagian-bagian yang telah rusak. Tergolek di pinggir sungai bisa dikatakan perahu tersebut akan karam.
Perahu dua tingkat ini mempunyai sejarah tersendiri. Awal muasal kepemilikannya karena barter antara Pemkab Batanghari dan Pemprov Jambi. Sebuah perahu roda lambung ditukar dengan kendaraan.
Itulah awal kepemilikan kapal oleh provinsi, yang sebelumnya adalah milik Pemkab Batanghari.
"Di atap ada tulisan Serentak Bak Regam, itu semboyan Batanghari," jelas Misbah sambil membaca tulisan putih di atap kapal.
Ditambahkan pula pegawai honorer ini, sejak beralih kepemilikan, nasib perahu ini kurang dirawat. Pemerintahan terdahulu rupanya tidak menganggap penting keberadaan kapal ini.
Padahal secara geografis, Jambi adalah provinsi dengan kekuatan ada sungai, namun sayang tidak ada ikon mengenai wisata air. "Itulah mengapa kapal ini setengah hidup, dak ado perhatian," timpal lelaki berkumis ini.
Hampir sepuluh tahun, lima tambang yang mengikat badan kapal ke tiang pemancang tepi sungai menjadi saksi. Diceritakan lelaki ini kalau tambang itulah yang menjaga supaya kapal tidak hanyut ketika banjir.
"Kalau dak ado tambang maka musnah sudah sejarah kapal karena karam saat banjir," timpalnya.
Hanya itulah usaha yang dilakukannya selain menambal beberapa bagian kapal yang bocor dengan semen supaya tidak karam.
Uang sendiri pun keluar dari sakunya lantaran tidak ada dana pemprov yang turun untuk aset milik daerah. "Ya kayak mano, ini seperti anakku sendiri," katanya sambil tertawa.(duanto a sudrajad)
http://jambi.tribunnews.com/2011/01/11/ini-seperti-anakku-sendiri