Sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur, 李傳兴 (Lie Chuan Heng) memperingati tiga tahun berpulangnya ayahnya 李義源. Berbakti dan setia kepada orang tua merupakan sebuah kewajiban yang tidak bisa di tolak oleh putra-putranya.
Salah satu tradisi yang masih di pegang erat warga tionghoa adalah membakar rumah arwah yang terbuat dari kertas. Di Jambi, tradisi itu masih berjalan hingga sekarang dan semakin banyak yang mampu mengirimkan rumah-rumahan untuk almarhum orangtua mereka.
“Tradisi ini masih kuat bertahan sampai sekarang. Tradisi membakar rumah-rumahan sebagai bentuk kebaktian seorang anak laki-laki terhadap orangtuanya. Mereka mengirimkan rumah-rumahan dengan cara membakar berikut segala isinya.”
Ritual kali ini dipimpin oleh Lim Tek Chu Taoshe dari Tiongkok 中国道士林泽取 dibantu rohaniawan MAKIN Sai Che Tien, Js. The Lien Teng (郑連丁).
Banyak yang berkeyakinan, orang yang sudah meninggal juga membutuhkan rumah, kendaraan dan harta benda lainnya. Layaknya ketika masih hidup di muka bumi ini.
“Bahwa manusia hidup di atas bumi merlukan tempat tinggal yang layak, kebutuhan sehari, seperti pangan, sandang dan papan. Demikian juga arwah orang yang telah wafat di alam baka. Juga membutuhkan kehidupan seperti layaknya masa hidupnya”.
Bagi masyarakat Tionghoa, penghormatan kepada orangtua atau leluhur, baik yang masih hidup atau yang sudah wafat, merupakan kebudayaan. Rumah-rumahan biasanya terbuat dari bambu, karton, dan kertas warna warni serta dirias lampu kelap kelip.
Tradisi mengirimkan rumah-rumahan beserta isinya biasanya banyak dipegang teguh pada tradisi Tionghoa yang beragama Khonghucu dan Tao. Pengiriman rumah-rumahan dilakukan setelah orangtua meninggal tiga tahun, ada juga yang baker rumah-rumahan pada saat pemakaman jenazah.
Ada dua jenis kertas yang digunakan untuk mendukung pembakaran rumah-rumahan, pertama kertas yang bagian tengahnya berwarna keemasan (kim cua). Kedua, kertas yang bagian tengahnya berwarna silver (gin cua).
Kertas warna emas untuk dewa, sedangkan silver bagi arwah leluhur. Sebelum pembakaran rumah-rumahan, anak lain-laki dari almarhum akan melakukan sembahyang mengundang roh orangtua yang sudah meninggal.
Konon tradisi "Bakar Rumah-rumahan dan uang Kertas" ini baru dimulai pada zaman pemerintahan Kaisar Lie Sie Bien (Lie She Min) dari Kerajaan Tang di Tiongkok. Lie Sie Bien adalah seorang kaisar yang adil dan bijaksana sehingga beliau dicintai oleh rakyatnya. (Romy)
* https://www.facebook.com/makinjambi
Salah satu tradisi yang masih di pegang erat warga tionghoa adalah membakar rumah arwah yang terbuat dari kertas. Di Jambi, tradisi itu masih berjalan hingga sekarang dan semakin banyak yang mampu mengirimkan rumah-rumahan untuk almarhum orangtua mereka.
“Tradisi ini masih kuat bertahan sampai sekarang. Tradisi membakar rumah-rumahan sebagai bentuk kebaktian seorang anak laki-laki terhadap orangtuanya. Mereka mengirimkan rumah-rumahan dengan cara membakar berikut segala isinya.”
Ritual kali ini dipimpin oleh Lim Tek Chu Taoshe dari Tiongkok 中国道士林泽取 dibantu rohaniawan MAKIN Sai Che Tien, Js. The Lien Teng (郑連丁).
Banyak yang berkeyakinan, orang yang sudah meninggal juga membutuhkan rumah, kendaraan dan harta benda lainnya. Layaknya ketika masih hidup di muka bumi ini.
“Bahwa manusia hidup di atas bumi merlukan tempat tinggal yang layak, kebutuhan sehari, seperti pangan, sandang dan papan. Demikian juga arwah orang yang telah wafat di alam baka. Juga membutuhkan kehidupan seperti layaknya masa hidupnya”.
Bagi masyarakat Tionghoa, penghormatan kepada orangtua atau leluhur, baik yang masih hidup atau yang sudah wafat, merupakan kebudayaan. Rumah-rumahan biasanya terbuat dari bambu, karton, dan kertas warna warni serta dirias lampu kelap kelip.
Tradisi mengirimkan rumah-rumahan beserta isinya biasanya banyak dipegang teguh pada tradisi Tionghoa yang beragama Khonghucu dan Tao. Pengiriman rumah-rumahan dilakukan setelah orangtua meninggal tiga tahun, ada juga yang baker rumah-rumahan pada saat pemakaman jenazah.
Ada dua jenis kertas yang digunakan untuk mendukung pembakaran rumah-rumahan, pertama kertas yang bagian tengahnya berwarna keemasan (kim cua). Kedua, kertas yang bagian tengahnya berwarna silver (gin cua).
Kertas warna emas untuk dewa, sedangkan silver bagi arwah leluhur. Sebelum pembakaran rumah-rumahan, anak lain-laki dari almarhum akan melakukan sembahyang mengundang roh orangtua yang sudah meninggal.
Konon tradisi "Bakar Rumah-rumahan dan uang Kertas" ini baru dimulai pada zaman pemerintahan Kaisar Lie Sie Bien (Lie She Min) dari Kerajaan Tang di Tiongkok. Lie Sie Bien adalah seorang kaisar yang adil dan bijaksana sehingga beliau dicintai oleh rakyatnya. (Romy)
* https://www.facebook.com/makinjambi