Berbagai kesenian etnis Tionghoa kini dapat dengan mudah digelar dan disaksikan masyarakat, terutama pada saat perayaan Tahun Baru Imlek dan Cap Go Meh.
Hampir di seantero wilayah provinsi, khususnya di kota Pontianak, Singkawang, Kabupaten Pontianak dan Kubu Raya, atraksi kesenian pada saat dua perayaan penting itu berlangsung secara meriah dan menjadi bagian penting peristiwa budaya daerah.
Di antara atraksi seni yang dipastikan tampil adalah Festival Naga dan Barongsai, yang mendominasi pesta hiburan rakyat, yang digelar di jalan-jalan kota dan menjadi daya tarik wisata bernuansa berbeda.
"Berbagai seni budaya etnis Tionghoa menjadi bagian kebudayaan yang plural di provinsi ini. Karena itu harus selalu kita lestarikan dan tetap terjaga bahkan terus berkembang hingga saat ini," kata Ketua Majelis Adat Budaya Tionghoa (MABT) Kubu Raya Lim Tao Hong.
Menurut Lim, sebenarnya tidak hanya Imlek dan Cap Go Meh yang dirayakan warganya. Ada beberapa tradisi lain yang masih dilakukan oleh sebagian besar masyarakat Tionghoa di Kubu Raya, seperti Tradisi Bunga Mei Hua untuk menyambut Tahun Baru Cina.
Lim menjelaskan, di Tiongkok dikenal terdapat empat musim, yaitu musim semi, musim panas, musim gugur dan musim dingin. Tahun Baru Imlek datang bersamaan dengan musim semi, maka dulu dikenal dengan istilah Festival Musim Semi (Kuo Chun Ciek).
"Bunga Mei Hwa adalah pertanda datangnya musim semi. Itulah sebabnya terdapat tradisi di masyarakat Tionghoa, menggunakan bunga ini sebagai hiasan di rumah ketika Imlek tiba, sehingga terkesan suasana yang sejuk, nyaman dan indah," katanya.
Kemudian, Tradisi Jeruk Bali. Buah jeruk Bali yang disajikan setiap hari raya Imlek mempunyai kisah dan makna tersendiri.
Dalam bahasa Tionghoa, jeruk Bali disebut Jik yang juga berarti selamat, sehingga timbul ungkapan Mandarin Tah Jik , artinya besar selamat atau amat selamat.
Buah jeruk Bali biasanya diletakkan di atas meja ruang tamu. Buah yang dipilih terutama yang sepasang atau lebih, terutama yang memiliki daun di dekat buahnya.
"Jeruk bali tersebut ditempeli kertas merah dan juga disajikan di meja altar dekat tempat sembahyang sampai hari Cap Go Meh," katanya.
Salah satu kue khas perayaan tahun baru Imlek adalah kue keranjang. Menurut kepercayaan zaman dahulu, rakyat Tiongkok percaya bahwa anglo dalam dapur di setiap rumah didiami oleh Dewa Tungku, dewa yang dikirim oleh Yik Huang Shang Ti (Raja Surga) untuk mengawasi setiap rumah dalam menyediakan masakan setiap hari.
Setiap tanggal 24 bulan 12 Imlek (enam hari sebelum pergantian tahun), Dewa Tungku akan pulang ke Surga untuk melaporkan tugasnya. Maka untuk menghindarkan hal-hal yang tidak menyenangkan bagi rakyat, timbullah gagasan untuk menyediakan hidangan yang menyenangkan Dewa Tungku.
Seluruh warga kemudian menyediakan dodol manis yang disajikan dalam keranjang, disebut Kue Keranjang.
Kue Keranjang berbentuk bulat, mengandung makna agar keluarga yang merayakan Imlek tersebut dapat terus bersatu, rukun dan bulat tekad dalam menghadapi tahun yang akan datang. "Kue Keranjang disajikan di depan altar atau di dekat tempat sembahyang di rumah," papar Lim.
Sedangkan untuk Tradisi Barongsai dan Naga, berdasarkan informasi yang didapatnya, Barongsai mulai populer di zaman dinasti Selatan-Utara sekitar tahun 420-589 Masehi.
Kesenian Barongsai diperkirakan masuk di Indonesia pada abad 17, ketika terjadi migrasi besar dari China Selatan.
"Konon naga adalah binatang lambang kesuburan atau pembawa berkah. Binatang mitologi ini selalu digambarkan memiliki kepala singa, bertaring serigala dan bertanduk menjangan. Tubuhnya panjang seperti ular dengan sisik ikan, tetapi memiliki cakar mirip elang," terang Lim.
Sedangkan singa dalam masyarakat China merupakan simbol penolak bala, maka tarian Barongsai dianggap mendatangkan kebaikan, kesejahteraan, kedamaian dan kebahagiaan. Tarian Barongsai dilengkapi replika naga (liong), singa dan qilin (binatang bertanduk).
Tetapi tidak semua perkumpulan memainkannya. Kebanyakan hanya tarian singa saja dengan alasan tarian singa dianggap lebih mudah dan praktis dibawakan di lokasi yang tidak luas. Atraksi topeng singa hanya membutuhkan dua orang pemain.
Seni bela diri menjadi kunci permainan ini sehingga banyak pemainnya berasal dari perguruan kungfu atau wushu. Gerakannya berciri akrobatik seperti salto, meloncat atau berguling.
Daya Tarik Wisata
Untuk melestarikan budaya-budaya tersebut, MABT dan Dinas Pariwisata setempat telah berupaya untuk mengumpulkan beberapa perkumpulan kesenian warga Tionghoa untuk dilakukan pembinaan.
"Pelestarian dan pengembangan berbagai cabang seni tidak dapat disamakan dengan melestarikan warisan benda-benda yang tidak dapat bergerak, ia hidup dan berkembang dalam komunitas masyarakat dan ajang budaya yang melingkupinya," kata Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kalbar Yusri Zainudin.
Karena itu, seni dan budaya etnis Tonghoa menjadi bagian atraksi wisata khas Kalbar yang dijaga kelestariannya, tambahnya.
Pada tahun 2002 saat perayaan Imlek 2533, Pemprov Kalbar sudah melakukan suatu event pawai budaya Cap Go Meh yang di ikuti Sembilan etnis yang ada di Kalbar.
"Kita mengharapkan, dari kebersamaan di bidang seni budaya ini semakin mengikat rasa kebersamaan antaretnis yang sudah terjalin selama ini," ujar Lim Piang Piang, salah satu tokoh masyarakat dari etnis Tionghoa di Sungai Raya.
Yang membanggakan, menurut Lim Piang Piang, dalam kegiatan tersebut, para wisatawan datang ke Kota Pontianak, tidak hanya dari dalam negeri, namun juga dari luar negeri.
Ia mngaku optimistis, jika kegiatan tersebut terus dilakukan secara berkelanjutan, akan menjadi salah satu objek pariwisata yang menjanjikan di Kalbar.
Terlebih melihat komposisi masyarakat Tionghoa yang cukup besar, serta di dukung berbagai fasilitas yang ada, jelas kegiatan pawai budaya tersebut dapat menjadi agenda pariwisata yang dapat mendongkrak perekonomian masyarakat.
"Tentunya hal tersebut dapat dilakukan dengan dukungan dari semua pihak, dan komitmen bersama," jelas Lim.
http://oase.kompas.com/read/2010/11/22/10060987/
Hampir di seantero wilayah provinsi, khususnya di kota Pontianak, Singkawang, Kabupaten Pontianak dan Kubu Raya, atraksi kesenian pada saat dua perayaan penting itu berlangsung secara meriah dan menjadi bagian penting peristiwa budaya daerah.
Di antara atraksi seni yang dipastikan tampil adalah Festival Naga dan Barongsai, yang mendominasi pesta hiburan rakyat, yang digelar di jalan-jalan kota dan menjadi daya tarik wisata bernuansa berbeda.
"Berbagai seni budaya etnis Tionghoa menjadi bagian kebudayaan yang plural di provinsi ini. Karena itu harus selalu kita lestarikan dan tetap terjaga bahkan terus berkembang hingga saat ini," kata Ketua Majelis Adat Budaya Tionghoa (MABT) Kubu Raya Lim Tao Hong.
Menurut Lim, sebenarnya tidak hanya Imlek dan Cap Go Meh yang dirayakan warganya. Ada beberapa tradisi lain yang masih dilakukan oleh sebagian besar masyarakat Tionghoa di Kubu Raya, seperti Tradisi Bunga Mei Hua untuk menyambut Tahun Baru Cina.
Lim menjelaskan, di Tiongkok dikenal terdapat empat musim, yaitu musim semi, musim panas, musim gugur dan musim dingin. Tahun Baru Imlek datang bersamaan dengan musim semi, maka dulu dikenal dengan istilah Festival Musim Semi (Kuo Chun Ciek).
"Bunga Mei Hwa adalah pertanda datangnya musim semi. Itulah sebabnya terdapat tradisi di masyarakat Tionghoa, menggunakan bunga ini sebagai hiasan di rumah ketika Imlek tiba, sehingga terkesan suasana yang sejuk, nyaman dan indah," katanya.
Kemudian, Tradisi Jeruk Bali. Buah jeruk Bali yang disajikan setiap hari raya Imlek mempunyai kisah dan makna tersendiri.
Dalam bahasa Tionghoa, jeruk Bali disebut Jik yang juga berarti selamat, sehingga timbul ungkapan Mandarin Tah Jik , artinya besar selamat atau amat selamat.
Buah jeruk Bali biasanya diletakkan di atas meja ruang tamu. Buah yang dipilih terutama yang sepasang atau lebih, terutama yang memiliki daun di dekat buahnya.
"Jeruk bali tersebut ditempeli kertas merah dan juga disajikan di meja altar dekat tempat sembahyang sampai hari Cap Go Meh," katanya.
Salah satu kue khas perayaan tahun baru Imlek adalah kue keranjang. Menurut kepercayaan zaman dahulu, rakyat Tiongkok percaya bahwa anglo dalam dapur di setiap rumah didiami oleh Dewa Tungku, dewa yang dikirim oleh Yik Huang Shang Ti (Raja Surga) untuk mengawasi setiap rumah dalam menyediakan masakan setiap hari.
Setiap tanggal 24 bulan 12 Imlek (enam hari sebelum pergantian tahun), Dewa Tungku akan pulang ke Surga untuk melaporkan tugasnya. Maka untuk menghindarkan hal-hal yang tidak menyenangkan bagi rakyat, timbullah gagasan untuk menyediakan hidangan yang menyenangkan Dewa Tungku.
Seluruh warga kemudian menyediakan dodol manis yang disajikan dalam keranjang, disebut Kue Keranjang.
Kue Keranjang berbentuk bulat, mengandung makna agar keluarga yang merayakan Imlek tersebut dapat terus bersatu, rukun dan bulat tekad dalam menghadapi tahun yang akan datang. "Kue Keranjang disajikan di depan altar atau di dekat tempat sembahyang di rumah," papar Lim.
Sedangkan untuk Tradisi Barongsai dan Naga, berdasarkan informasi yang didapatnya, Barongsai mulai populer di zaman dinasti Selatan-Utara sekitar tahun 420-589 Masehi.
Kesenian Barongsai diperkirakan masuk di Indonesia pada abad 17, ketika terjadi migrasi besar dari China Selatan.
"Konon naga adalah binatang lambang kesuburan atau pembawa berkah. Binatang mitologi ini selalu digambarkan memiliki kepala singa, bertaring serigala dan bertanduk menjangan. Tubuhnya panjang seperti ular dengan sisik ikan, tetapi memiliki cakar mirip elang," terang Lim.
Sedangkan singa dalam masyarakat China merupakan simbol penolak bala, maka tarian Barongsai dianggap mendatangkan kebaikan, kesejahteraan, kedamaian dan kebahagiaan. Tarian Barongsai dilengkapi replika naga (liong), singa dan qilin (binatang bertanduk).
Tetapi tidak semua perkumpulan memainkannya. Kebanyakan hanya tarian singa saja dengan alasan tarian singa dianggap lebih mudah dan praktis dibawakan di lokasi yang tidak luas. Atraksi topeng singa hanya membutuhkan dua orang pemain.
Seni bela diri menjadi kunci permainan ini sehingga banyak pemainnya berasal dari perguruan kungfu atau wushu. Gerakannya berciri akrobatik seperti salto, meloncat atau berguling.
Daya Tarik Wisata
Untuk melestarikan budaya-budaya tersebut, MABT dan Dinas Pariwisata setempat telah berupaya untuk mengumpulkan beberapa perkumpulan kesenian warga Tionghoa untuk dilakukan pembinaan.
"Pelestarian dan pengembangan berbagai cabang seni tidak dapat disamakan dengan melestarikan warisan benda-benda yang tidak dapat bergerak, ia hidup dan berkembang dalam komunitas masyarakat dan ajang budaya yang melingkupinya," kata Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kalbar Yusri Zainudin.
Karena itu, seni dan budaya etnis Tonghoa menjadi bagian atraksi wisata khas Kalbar yang dijaga kelestariannya, tambahnya.
Pada tahun 2002 saat perayaan Imlek 2533, Pemprov Kalbar sudah melakukan suatu event pawai budaya Cap Go Meh yang di ikuti Sembilan etnis yang ada di Kalbar.
"Kita mengharapkan, dari kebersamaan di bidang seni budaya ini semakin mengikat rasa kebersamaan antaretnis yang sudah terjalin selama ini," ujar Lim Piang Piang, salah satu tokoh masyarakat dari etnis Tionghoa di Sungai Raya.
Yang membanggakan, menurut Lim Piang Piang, dalam kegiatan tersebut, para wisatawan datang ke Kota Pontianak, tidak hanya dari dalam negeri, namun juga dari luar negeri.
Ia mngaku optimistis, jika kegiatan tersebut terus dilakukan secara berkelanjutan, akan menjadi salah satu objek pariwisata yang menjanjikan di Kalbar.
Terlebih melihat komposisi masyarakat Tionghoa yang cukup besar, serta di dukung berbagai fasilitas yang ada, jelas kegiatan pawai budaya tersebut dapat menjadi agenda pariwisata yang dapat mendongkrak perekonomian masyarakat.
"Tentunya hal tersebut dapat dilakukan dengan dukungan dari semua pihak, dan komitmen bersama," jelas Lim.
http://oase.kompas.com/read/2010/11/22/10060987/