TANJAB BARAT, ayojambi.com – Seyogyanya angin segar menerpa umat Khonghucu diseluruh tanah air Indonesia setelah KH Abdurraman Wahid atau Gus Dur menduduki tampuk kepemimpinan Republik Indonesia pasca Reformasi. Melalui wawasan kebangsaan Gus Dur mencabut semua peraturan yang mendiskriminasikan kaum Tionghoa dengan mengeluarkan PP. No. 6 Tahun 2000.
Keputusan Presiden RI No 6 tahun 2000 tanggal 17 Januari 2000 oleh Presiden KH Abdurraman Wahid tentang pencabutan Inpres No. 14 tahun 1967 tentang pembatasan Kegiatan Agama, Kepercayaan dan adat istiadat China.
Keputusan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia, Suryadi Soedirdja tanggal 31 Maret 2000 No. 477/805/Sj. Yang mencabut surat edaran Mendagri No. 477 / 74054 tertanggal 18 Nopember 1978 tentang pembatasan kegiatan Agama, Kepercayaan dan adat istiadat
Namun semua itu belum sepenuhnya dinikmati masyarakat Tionghoa yang beragama Khonghucu di kabupaten-kabupaten, pasalnya tempat ibadah (kelenteng) mereka sudah tidak mampu menampung jumlah umat yang datang beribadah. Seperti salah satu Kelenteng yang berada di Jalan Prof. Dr. Soedewi MS, Rt. 21, Kelurahan Tungkal Harapan, Kota Kuala Tungkal, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Kelenteng Makin Leng San Keng yang dipandang sudah tidak layak lagi, maka pengurus kelenteng MAKIN Leng San Keng Kuala Tungkal, bermaksud akan membangunan kelenteng baru untuk menampung umat Khonghucu di Kuala Tungkal. Berbagai persyaratan seperti Akte Notaris kepengurusan kelenteng Makin Leng San Keng, serta Foto Copy KTP umat Khonghucu dan Surat Hibah tanah untuk pembangunan kelenteng serta surat rekomendasi dari FKUB Kabupaten Tanjungjabung Barat.
Disamping itu, untuk mendirikan tempat peribadatan harus memenuhi persyaratan yang antara lain; minimal jemaat berjumlah 90 orang serta harus mendapat persetujuan dari minimal 60 orang warga masyarakat Rt. 14 dan Rt. 21 itu sesuai ketentuan yang ada.
Namun kenyataan, hingga kini Bupati Tanjungjabung Barat, Provinsi Jambi belum mengeluarkan rekomendari untuk mengurus ijin mendiri banganan (IMB) kelenteng. Dimana bangunan lama dipandang sudah tidak layak untuk dipergunakan sebagai tempat beribadah, karena dibangun lama terbuat dari bahan kayu yang sudah pada kropos dan kami bermaksud akan membangun rumah ibadah tersebut secara permanen.
Menurut keterangan beberapa pengurus kelenteng MAKIN Leng San Keng yang minta tidak mencantumkan namanya, menyatakan, bahwa surat permohonan pembangunan kelenteng sudah lama diajukan ke Bupati Tanjab Barat, lebih kurang tiga bulan, namun sangat disayangkan bahwa hingga kini belum ada tanda-tanda akan dikeluarkan surat dari Bupati, “Tinggal tanda tangan Bupati saja” pernyataan ini sudah dua bulan disampaikan pengurus Kelenteng. Mereka juga telah melaporkan masalah ini kepada Matakin Pusat dan Matakin Provinsi Jambi secara lisan, namun tidak ada tanggapan secara signifikan dari petinggi Matakin.
Selain itu, dalam konstitusi UUD 1945 kebebasan beragama merupakan hak asasi manusia. Pembatasan hak asasi manusia hanya bisa dilakukan dengan instrumen hukum setingkat undang-undang (UU). “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang…,” tegas Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Bahkan hak beragama tidak bisa dikurangi dalam keadaan apapun (Pasal 28I ayat 1). http://hukum.kompasiana.com/2012/06/08/inilah-inkonstitusionalitas-pembatasan-pendirian-tempat-ibadah-469399.html. (Rm)