Agama Khonghucu berkembang di era reformasi, tepatnya setelah Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan Keppres No 6 Tahun 2000 tentang Pencabutan Inpres No 14 Tahun 1967 dan SE Mendagri No 477/74054/BA.01.2/4683/95. Sejak saat itu, umat Khonghucu dan orang-orang Tionghoa non Khonghucu bisa bebas berekspresi. Terlebih pada 2001 Presiden Abdurrahman Wahid menjadikan tahun baru Imlek sebagai hari libur fakultatif bagi etnis Tionghoa, yang dilanjutkan Presiden Megawati dengan menetapkan Imlek sebagai hari libur nasional melalui Keppres No 19 Tahun 2002.
Adanya UU Nomor 1/PNPS/1965 menegaskan kembali tentang keberadaan penganut agama Khonghucu di Indonesia. Dalam UU itu disebutkan bahwa yang berhak mendapatkan pelayanan khusus dari negara adalah penganut Agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu.
Sebagaimana amanat UU itu pula, Kemenag menerbitkan PMA No 10 Tahun 2010 tetang pelayanan agama Khonghucu yang ditempatkan di Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) dan PMA No 13 Tahun 2013, tentang pelayanan bagi penganut Khonghucu di tingkat Kanwi Kemenag Provinsi dan di tingkat Kakan kemenag Kabupaten/ Kota.
Sekretaris Jenderal Kementerian Agama Prof Nur Syam mengatakan, ada tiga tantangan dalam bimbingan masyarakat Khonghucu. Pertama, tantangan pendataan masyarakat Khonghucu. Berdasarkan pengamatan lapangan, salah satu hal mendasar untuk menjadi perhatian ialah tentang akurasi data mengenai jumlah masyarakat Khonghucu.
Data yang akurat menjadi ukuran menentukan program dana nggarannya. Di dalam
Perbincangan dengan Bappenas ataudi dalam pertemuan trilateral selalu saja yang dikritisi ialah tentang akurasi data. Akurasi data menjadi ukuran ketepatan perencanaan program maupun penganggarannya.
“Dengan data yang akurat, kepercayaan terhadap Kemenag juga akan meningkat,” kata NurSyam.
Kedua, identitas sebagai pemeluk Khonghucu juga menjadi penting. Pendataan tentu tidak akan mudah dilakukan manakala persoalan identitas belum tuntas. Identitas merupakan batas pembeda antara satu dan lainnya. Biasanya dikaitkan dengan simbol-simbol yang terdapat dan menjadi penanda bagi identitas dimaksud Ketiga, pelayanan kepada umat Khonghucu. Sebenarnya, ada hal mendasar yang menjadi kewajiban pemerintah melayani umat beragama, yaitu pendidikan, kependudukan, dan pernikahan termasuk penganut agama-agama minoritas.
Lebih lanjut, Nur Syam mengingatkan terdapat tantangan sangat serius di internal Khonghucu adalah mengenai kelangkaan guru agama Khonghucu. “Hingga hari ini belum didapatkan guru-guru agama Khonghucu yang memenuhi standar mengajar. Belum ada guru agama Khonghucu yang berijazah S-1,” cetusnya. Saat ini baru terdapat satu Lembaga Pendidikan Tinggi Agama Khonghucu Swasta di Semarang Stakhong Cahaya Kebajikan.
Kehadiran lembaga pendidikan tinggi itu diharapkan mampu menjawab tantangan keberadaan guru agama Khonghucu. “Kedepan tentu harus dipikirkan secara mendalam tentang bagaimana peningkatan kualitas pelayanan kepada umat agama Khonghucu.”
Jaga kerukunan
Menurut, Nur Syam, yang terpenting ialah bagaimana menjalin kerukunan di atas keragaman identitas beragama ini. Kiranya jangan hanya membicarakan aku atau kamu, akan tetapi yang lebih penting adalah tentang kita. Jika kita berbicara dengan bahasa ‘kekitaan’, batas identitas yang semula sangat tegas itu akan menjadi luruh kedalam kebersamaan. “Jika hal ini yang dijadikan sebagaimana kota kehidupan, maka merajut kerukunan di dalam kebinekaan tentu bukanlah masalah yang sulit dilakukan,” tegasnya. (Bay/S-25)