KOMPAS.com - Minggu (21/10/2012) menjelang petang, Teddy Onibala kembali ke alam sadar. Ia meneguk air mineral dan tersenyum menerima jabat tangan banyak orang. Minggu siang, lidahnya tersayat-sayat pedang di tangannya sendiri, darahnya mengucur menjadi tinta yang dipakainya untuk hu (kertas doa berwarna kuning), punggungnya pun luka oleh tebasan pedang. Pedangnya sendiri....
"Lukanya masih membekas sedikit, tetapi memang tak terasa sakit," ujar Onibala, sang tang shen (orang yang menyediakan tubuhnya menjadi perantara dewa) dari Kelenteng Tay Seng Bio, Manado, Sulawesi Utara. "Sungguh, saya tadi tidak tahu apa saja yang terjadi," ujarnya serius.
Pipi Santje, tang shen lain dari Tay Seng Bio yang pada Minggu siang dikoyak-koyak kawat baja yang keluar-masuk wajahnya juga tersenyum saja ditanyai soal ritual tang shen yang dijalaninya. Seperti Onibala, wajahnya sumringah tanpa sedikit pun noda luka, hanya keringat yang terus mengucur. Meski memukau banyak orang, tak ada kesan jumawa dari mereka.
Menjadi tang shen memang bukan pekerjaan seorang jumawa. Onibala dan Santje justru harus prihatin untuk menyiapkan tubuh mereka disinggahi dewa demi mengangkat karma buruk manusia dan semesta.
"Kami berpantang selama 49 hari, berdiam di kamar, hanya membaca kitab-kitab dan merenung. Makan, kopi, juga rokok, diantarkan ke bilik kami di kelenteng. Jadi selama menyiapkan diri kami tak pulang ke rumah," kata Onibala.
Eddy Loho, pemimpin Kelenteng Tay Seng, menuturkan kerelaan untuk mengasingkan diri dan menjalani pantangan itu penting untuk membersihkan diri para tang shen.
"Menjauhi hal-hal yang bersifat keduniaan, termasuk berhubungan badan dengan istri, bahkan pulang ke rumah, harus dilakukan agar pikiran para tang shen jernih. Menjadi medium pengorbanan para dewa bukan hal yang ringan, dan tang shen bukan atraksi gagah-gagahan," kata Loho.
Tak semua orang bisa begitu saja menjadi tang shen. "Menjadi tang shen harus sepersetujuan para dewa. Jika tidak, tidak akan berhasil. Hanya mereka yang terpilih yang mampu menjalaninya," kata Loho meyakinkan.
Onibala, misalnya, tidak pernah menduga dirinya bisa menjadi tang shen Kelenteng Tay Seng Bio. "Orangtua saya bukan seorang tang shen, tetapi saya terpilih menjadi tang shen. Ternyata, dalam garis keturunan saya memang ada seorang kakek yang menjadi tang shen. Namun, siapa yang terpilih menjadi tang shen memang tak bisa diduga,” kata Onibala.
Dahulu, tang shen merupakan ritual dan tradisi yang umum muncul dalam berbagai perayaan keagamaan maupun tradisi peranakan Tionghoa. Dulu hampir setiap kelenteng memiliki tang shen. Namun, pelarangan tradisi dan ritual keagamaan peranakan Tionghoa selama 32 tahun rezim Orde Baru berkuasa membuat tradisi itu terkikis.
"Kami di Manado beruntung karena selama Orde Baru situasi keamanan di Manado memungkinkan kami terus merayakan berbagai peristiwa keagamaan ataupun tradisi peranakan Tionghoa di Manado," ujar Loho. (ROW/BSW)
http://oase.kompas.com/read/2012/11/04/11141966/
Pipi Santje, tang shen lain dari Tay Seng Bio yang pada Minggu siang dikoyak-koyak kawat baja yang keluar-masuk wajahnya juga tersenyum saja ditanyai soal ritual tang shen yang dijalaninya. Seperti Onibala, wajahnya sumringah tanpa sedikit pun noda luka, hanya keringat yang terus mengucur. Meski memukau banyak orang, tak ada kesan jumawa dari mereka.
Menjadi tang shen memang bukan pekerjaan seorang jumawa. Onibala dan Santje justru harus prihatin untuk menyiapkan tubuh mereka disinggahi dewa demi mengangkat karma buruk manusia dan semesta.
"Kami berpantang selama 49 hari, berdiam di kamar, hanya membaca kitab-kitab dan merenung. Makan, kopi, juga rokok, diantarkan ke bilik kami di kelenteng. Jadi selama menyiapkan diri kami tak pulang ke rumah," kata Onibala.
Eddy Loho, pemimpin Kelenteng Tay Seng, menuturkan kerelaan untuk mengasingkan diri dan menjalani pantangan itu penting untuk membersihkan diri para tang shen.
"Menjauhi hal-hal yang bersifat keduniaan, termasuk berhubungan badan dengan istri, bahkan pulang ke rumah, harus dilakukan agar pikiran para tang shen jernih. Menjadi medium pengorbanan para dewa bukan hal yang ringan, dan tang shen bukan atraksi gagah-gagahan," kata Loho.
Tak semua orang bisa begitu saja menjadi tang shen. "Menjadi tang shen harus sepersetujuan para dewa. Jika tidak, tidak akan berhasil. Hanya mereka yang terpilih yang mampu menjalaninya," kata Loho meyakinkan.
Onibala, misalnya, tidak pernah menduga dirinya bisa menjadi tang shen Kelenteng Tay Seng Bio. "Orangtua saya bukan seorang tang shen, tetapi saya terpilih menjadi tang shen. Ternyata, dalam garis keturunan saya memang ada seorang kakek yang menjadi tang shen. Namun, siapa yang terpilih menjadi tang shen memang tak bisa diduga,” kata Onibala.
Dahulu, tang shen merupakan ritual dan tradisi yang umum muncul dalam berbagai perayaan keagamaan maupun tradisi peranakan Tionghoa. Dulu hampir setiap kelenteng memiliki tang shen. Namun, pelarangan tradisi dan ritual keagamaan peranakan Tionghoa selama 32 tahun rezim Orde Baru berkuasa membuat tradisi itu terkikis.
"Kami di Manado beruntung karena selama Orde Baru situasi keamanan di Manado memungkinkan kami terus merayakan berbagai peristiwa keagamaan ataupun tradisi peranakan Tionghoa di Manado," ujar Loho. (ROW/BSW)
http://oase.kompas.com/read/2012/11/04/11141966/