KOMPAS.com - Sembilan puluh dewa berkumpul di Petak Sembilan, Jakarta. Mereka lalu diarak sepanjang jalan raya. Inilah tradisi lama etnis Tionghoa yang dihidupkan kembali dalam konteks Indonesia hari ini.
Jalan Hayam Wuruk dan Jalan Gajah Mada, Jakarta, menjadi lautan manusia, Minggu (21/10/2012). Ribuan orang bersukacita mengarak para dewa yang turun dari berbagai penjuru Indonesia disertai tarian barongsai dan ular naga. Inilah kirab ritual yang digelar Kelenteng Fat Cu Kung untuk merayakan ulang tahun (sejit) dewa tolak bala, Fat Cu Kung.
Acara sejit disertai arak-arakan dewa seperti ini belakangan marak di sejumlah daerah. Eddy Loho (58), pemimpin spiritual Kelenteng Tay Seng, Kota Manado, Sulawesi Utara, mengatakan, sepanjang tahun 2011-2012, dia telah menghadiri 15 kirab di sejumlah daerah, mulai Gorontalo, Makassar, Bojonegoro, Nganjuk, Surabaya, Lasem (Rembang), sampai Jakarta. Saking banyaknya undangan kirab, Loho dan rombongan belum sempat pulang ke Manado sejak 3 Oktober lalu.
"Kami bergerak dari satu kelenteng ke kelenteng lain untuk ikut sejit dan kirab. Setelah hadir di kirab Fat Cu Kung, (kami) baru bisa pulang ke Manado," ujar Loho yang rombongannya terdiri atas 40 orang.
Lima tahun terakhir, kelenteng-kelenteng di Indonesia seolah berlomba untuk mengadakan kirab. ”Bisa dikatakan tahun ini terjadi ledakan sejit yang disertai kirab ritual,” kata Suhendar dari Kelenteng Tjo Soe Kong, Tanjung Kait, Banten.
Kelenteng Tjo Soe Kong akan menggelar sejit dan kirab ritual pada akhir Desember nanti. "Ini adalah kirab pertama yang pernah kami gelar. Kami mengundang 200-an kelenteng di seluruh Indonesia," ujar Suhendar yang dipercaya sebagai ketua panitia.
Selasa (30/10/2012), persiapan acara besar itu telah dilakukan. Kelenteng bertahun 1959 yang terletak sekitar 200 meter dari laut di Teluk Jakarta itu bersolek sebelum menyambut kedatangan ribuan tamu. Kelenteng dipoles, dicat, dan dirapikan.
Korban stigma
Selama Orde Baru berkuasa, komunitas etnis Tionghoa dilarang mengekspresikan kebudayaan mereka. ”Jangankan bikin kirab, pasang hio di depan rumah saja dilarang,” ujar Tjia Boen Kiat, pemimpin Kelenteng Fat Cu Kung.
JJ Rizal dari Komunitas Bambu mengatakan, Orde Baru melakukan politik eksorsisme, yakni membangun stigma buruk tentang ekspresi keagamaan dan tradisi etnis Tionghoa. ”Secara sistematis membangun stigma bahwa segala sesuatu tentang China itu jahat dan tidak membaur. Faktanya di Nusantara budaya China berakulturasi secara luar biasa,” kata Rizal.
Setelah Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur melepas kekangan itu, etnis Tionghoa pun bebas mengekspresikan tradisi dan kebudayaan mereka, termasuk menggelar kirab budaya. Dengan kirab, kata Loho, kelenteng menjadi semarak. ”Dewa-dewa yang selama bertahun-tahun dibiarkan ’tidur’ di kelenteng dibangunkan kembali,” ujar Loho.
Kirab juga menjadi cara efektif untuk menyedot umat. Kelenteng yang sering menggelar kirab akan populer dan umatnya bertambah. Loho mencontohkan, ada sebuah kelenteng di Nganjuk, Jawa Timur, yang umatnya hanya 15 orang. Setelah menggelar kirab, umat mereka bertambah menjadi 100 orang.
Usaha ini pula yang sedang ditempuh Suhendar. Dia mengatakan, sejak tahun 1990-an sampai pertengahan 2000, popularitas Kelenteng Tjo Soe Kong sempat tenggelam.
”Lewat acara kirab, kami ingin membangkitkan lagi masa-masa kejayaan kelenteng yang pernah menjadi salah satu kelenteng terbesar di Banten,” katanya.
Suhendar menambahkan, kelenteng-kelenteng kecil yang bangunannya masih mengontrak pun berani menggelar kirab untuk tujuan serupa. ”Kalau kelenteng populer, umat yang datang pasti banyak dan sumbangan yang masuk ke kelenteng pasti bertambah dan bisa menggelar acara-acara. Ini sudah jadi tren,” kata Suhendar.
Meski begitu, tegas Suhendar, kirab tidak bisa sembarangan digelar. Mereka harus sembahyang dulu kepada dewa. ”Jika dewanya mau diulangtahuni dan dikirab, kami jalankan. Kalau dewa tidak mau dikirab, ya enggak bisa,” katanya.
Peziarah
Seiring maraknya kirab, bermunculan pula komunitas umat kelenteng yang rajin menghadiri acara kirab dewa di sejumlah kota. Di antara mereka adalah Iing (53) asal Cirebon, Jawa Barat. Setahun terakhir, Iing dan keluarga setidaknya menghadiri enam acara kirab di Tegal, Semarang, Tuban, Cilacap, dan Madura. ”Pokoknya kalau ada dana, kami berangkat pakai bus,” kata Iing.
Iing hadir di acara kirab Dewa Fat Cu Kung di Petak Sembilan bersama dua anaknya dan puluhan umat Kelenteng Welas Asih, Cirebon. Setelah mengikuti kirab, Iing dan rombongan berniat belanja pakaian di Tanah Abang, Jakarta.
Yuli (63) asal Kalideres juga rajin mengikuti kirab hingga keluar wilayah Jakarta. Tujuannya satu, mengalap berkah dari para dewa yang hadir. ”Mumpung banyak dewa berkumpul di acara sejit dan kirab, saya meminta berkah. Bayangkan, kalau bukan di acara seperti ini, saya harus keliling ke banyak kelenteng untuk bertemu dewa yang berbeda-beda,” katanya.
Setiap kelenteng biasanya memang memiliki dewa yang berbeda-beda, seperti dewa pelindung, tolak bala, penyembuh, pemberi keberuntungan, dan pemberi rezeki. Bahkan, beberapa kelenteng memiliki dewa lokal yang barangkali tidak ada di kelenteng mana pun di Indonesia atau dunia. Di Kelenteng Tjo Soe Kong, misalnya, ada Dewa Mbah Rahman dan Dewi Neng. Mereka adalah dua tokoh lokal yang dinilai telah memiliki karma baik kepada masyarakat sehingga pantas didewakan.
Pada akhirnya, menurut Rizal, kirab ritual adalah bagian dari ekspresi budaya etnis Tionghoa. ”Tradisi semacam ini ibarat lorong waktu yang membuat orang atau sebuah komunitas ada,” katanya.
Itulah yang dirasakan Rudi (25). Sebagai peranakan Tionghoa, dia tidak mengenal budaya dan tradisi etnis Tionghoa. ”Kirab dewa baru saya alami sekarang. Dulu paling dengar ceritanya doang dari orang-orang tua,” ujar Rudi, generasi peranakan Tionghoa yang tidak lagi mengenal nama lahir China.
Hal yang sama dirasakan Yuli (63). Waktu kecil dia sering diajak ikut kirab oleh orangtua. Setelah Soeharto berkuasa, tradisi kirab dewa tidak lagi dia alami. ”Kirab hampir terhapus dalam ingatan saya. Untung sekarang boleh diadakan lagi.”
Bagi Rizal, pengungkapan ekspresi tradisi budaya berbagai etnik di Nusantara pada akhirnya akan memperkuat keindonesiaan kita. ”Setiap orang Indonesia bisa saling belajar tentang akar budaya yang lain, belajar tentang orang yang hidup (berdampingan) bersama kita,” katanya.(Budi Suwarna & Aryo Wisanggeni)
http://oase.kompas.com/read/2012/11/04/07590628/
Acara sejit disertai arak-arakan dewa seperti ini belakangan marak di sejumlah daerah. Eddy Loho (58), pemimpin spiritual Kelenteng Tay Seng, Kota Manado, Sulawesi Utara, mengatakan, sepanjang tahun 2011-2012, dia telah menghadiri 15 kirab di sejumlah daerah, mulai Gorontalo, Makassar, Bojonegoro, Nganjuk, Surabaya, Lasem (Rembang), sampai Jakarta. Saking banyaknya undangan kirab, Loho dan rombongan belum sempat pulang ke Manado sejak 3 Oktober lalu.
"Kami bergerak dari satu kelenteng ke kelenteng lain untuk ikut sejit dan kirab. Setelah hadir di kirab Fat Cu Kung, (kami) baru bisa pulang ke Manado," ujar Loho yang rombongannya terdiri atas 40 orang.
Lima tahun terakhir, kelenteng-kelenteng di Indonesia seolah berlomba untuk mengadakan kirab. ”Bisa dikatakan tahun ini terjadi ledakan sejit yang disertai kirab ritual,” kata Suhendar dari Kelenteng Tjo Soe Kong, Tanjung Kait, Banten.
Kelenteng Tjo Soe Kong akan menggelar sejit dan kirab ritual pada akhir Desember nanti. "Ini adalah kirab pertama yang pernah kami gelar. Kami mengundang 200-an kelenteng di seluruh Indonesia," ujar Suhendar yang dipercaya sebagai ketua panitia.
Selasa (30/10/2012), persiapan acara besar itu telah dilakukan. Kelenteng bertahun 1959 yang terletak sekitar 200 meter dari laut di Teluk Jakarta itu bersolek sebelum menyambut kedatangan ribuan tamu. Kelenteng dipoles, dicat, dan dirapikan.
Korban stigma
Selama Orde Baru berkuasa, komunitas etnis Tionghoa dilarang mengekspresikan kebudayaan mereka. ”Jangankan bikin kirab, pasang hio di depan rumah saja dilarang,” ujar Tjia Boen Kiat, pemimpin Kelenteng Fat Cu Kung.
JJ Rizal dari Komunitas Bambu mengatakan, Orde Baru melakukan politik eksorsisme, yakni membangun stigma buruk tentang ekspresi keagamaan dan tradisi etnis Tionghoa. ”Secara sistematis membangun stigma bahwa segala sesuatu tentang China itu jahat dan tidak membaur. Faktanya di Nusantara budaya China berakulturasi secara luar biasa,” kata Rizal.
Setelah Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur melepas kekangan itu, etnis Tionghoa pun bebas mengekspresikan tradisi dan kebudayaan mereka, termasuk menggelar kirab budaya. Dengan kirab, kata Loho, kelenteng menjadi semarak. ”Dewa-dewa yang selama bertahun-tahun dibiarkan ’tidur’ di kelenteng dibangunkan kembali,” ujar Loho.
Kirab juga menjadi cara efektif untuk menyedot umat. Kelenteng yang sering menggelar kirab akan populer dan umatnya bertambah. Loho mencontohkan, ada sebuah kelenteng di Nganjuk, Jawa Timur, yang umatnya hanya 15 orang. Setelah menggelar kirab, umat mereka bertambah menjadi 100 orang.
Usaha ini pula yang sedang ditempuh Suhendar. Dia mengatakan, sejak tahun 1990-an sampai pertengahan 2000, popularitas Kelenteng Tjo Soe Kong sempat tenggelam.
”Lewat acara kirab, kami ingin membangkitkan lagi masa-masa kejayaan kelenteng yang pernah menjadi salah satu kelenteng terbesar di Banten,” katanya.
Suhendar menambahkan, kelenteng-kelenteng kecil yang bangunannya masih mengontrak pun berani menggelar kirab untuk tujuan serupa. ”Kalau kelenteng populer, umat yang datang pasti banyak dan sumbangan yang masuk ke kelenteng pasti bertambah dan bisa menggelar acara-acara. Ini sudah jadi tren,” kata Suhendar.
Meski begitu, tegas Suhendar, kirab tidak bisa sembarangan digelar. Mereka harus sembahyang dulu kepada dewa. ”Jika dewanya mau diulangtahuni dan dikirab, kami jalankan. Kalau dewa tidak mau dikirab, ya enggak bisa,” katanya.
Peziarah
Seiring maraknya kirab, bermunculan pula komunitas umat kelenteng yang rajin menghadiri acara kirab dewa di sejumlah kota. Di antara mereka adalah Iing (53) asal Cirebon, Jawa Barat. Setahun terakhir, Iing dan keluarga setidaknya menghadiri enam acara kirab di Tegal, Semarang, Tuban, Cilacap, dan Madura. ”Pokoknya kalau ada dana, kami berangkat pakai bus,” kata Iing.
Iing hadir di acara kirab Dewa Fat Cu Kung di Petak Sembilan bersama dua anaknya dan puluhan umat Kelenteng Welas Asih, Cirebon. Setelah mengikuti kirab, Iing dan rombongan berniat belanja pakaian di Tanah Abang, Jakarta.
Yuli (63) asal Kalideres juga rajin mengikuti kirab hingga keluar wilayah Jakarta. Tujuannya satu, mengalap berkah dari para dewa yang hadir. ”Mumpung banyak dewa berkumpul di acara sejit dan kirab, saya meminta berkah. Bayangkan, kalau bukan di acara seperti ini, saya harus keliling ke banyak kelenteng untuk bertemu dewa yang berbeda-beda,” katanya.
Setiap kelenteng biasanya memang memiliki dewa yang berbeda-beda, seperti dewa pelindung, tolak bala, penyembuh, pemberi keberuntungan, dan pemberi rezeki. Bahkan, beberapa kelenteng memiliki dewa lokal yang barangkali tidak ada di kelenteng mana pun di Indonesia atau dunia. Di Kelenteng Tjo Soe Kong, misalnya, ada Dewa Mbah Rahman dan Dewi Neng. Mereka adalah dua tokoh lokal yang dinilai telah memiliki karma baik kepada masyarakat sehingga pantas didewakan.
Pada akhirnya, menurut Rizal, kirab ritual adalah bagian dari ekspresi budaya etnis Tionghoa. ”Tradisi semacam ini ibarat lorong waktu yang membuat orang atau sebuah komunitas ada,” katanya.
Itulah yang dirasakan Rudi (25). Sebagai peranakan Tionghoa, dia tidak mengenal budaya dan tradisi etnis Tionghoa. ”Kirab dewa baru saya alami sekarang. Dulu paling dengar ceritanya doang dari orang-orang tua,” ujar Rudi, generasi peranakan Tionghoa yang tidak lagi mengenal nama lahir China.
Hal yang sama dirasakan Yuli (63). Waktu kecil dia sering diajak ikut kirab oleh orangtua. Setelah Soeharto berkuasa, tradisi kirab dewa tidak lagi dia alami. ”Kirab hampir terhapus dalam ingatan saya. Untung sekarang boleh diadakan lagi.”
Bagi Rizal, pengungkapan ekspresi tradisi budaya berbagai etnik di Nusantara pada akhirnya akan memperkuat keindonesiaan kita. ”Setiap orang Indonesia bisa saling belajar tentang akar budaya yang lain, belajar tentang orang yang hidup (berdampingan) bersama kita,” katanya.(Budi Suwarna & Aryo Wisanggeni)
http://oase.kompas.com/read/2012/11/04/07590628/