Selasa, 26 Oktober 2010

Gempa Besar di Mentawai Masih Mengancam

KOMPAS.com - Gempa berkekuatan 7,2 skala Richter atau 7,7 Magnitude yang mengguncang Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, Senin (25/10/2010) pukul 21.42.20 WIB lokasinya lebih ke utara dari pusat gempa 6,6 Mw pada September 2007. Pusat gempa ini lebih dekat ke major lock patch Mentawai yang berpotensi menimbulkan gempa besar 8,8 Mw.

Menurut laporan Pusat Gempa Nasional Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), pusat gempa berada pada 3,61 Lintang Selatan-99,93 Bujur Timur. Kedalamannya 10 kilometer atau termasuk gempa dangkal. Lokasi episentrum itu berjarak 78 kilometer barat daya Pulau Pagai Selatan di Kepulauan Mentawai.

"Gempa kemarin bisa merupakan prekursor ke gempa lebih besar. Kelihatannya tinggal selangkah lagi ke klimaksnya. Mudah-mudahan masih hitungan tahun, bukan hari, minggu, atau bulan. Yang jelas, desakan pada 'Si Raksasa gempa Mentawai yang sudah matang itu' sudah semakin tinggi," kata Danny Hilman, pakar geologi dari Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

Pusat gempa besar yang dimaksud Danny berada di bawah Siberut-Sipora-Pagai Utara. Analisis ini berdasarkan penelitiannya terhadap fenomena kegempaan tektonik di Sumatera sejak 1990-an.

Sementara itu, Kepala Pusat Gempa dan Tsunami BMKG Fauzi memperkirakan, rentetan gempa moderat antara 6 skala Richter (SR) dan 7 SR sejak beberapa tahun terakhir di dekat pusat gempa berskala lebih dari 8 SR itu memberikan efek mengurangi energi yang menekan di segmen itu.

Tsunami

Meski episentrum gempa berada di Zona Penunjaman, menurut Fauzi, tidak ada dislokasi permukaan dasar laut yang berarti hingga menimbulkan tsunami yang relatif besar. Beberapa jam setelah gempa berskala 7,2 SR itu gempa susulannya hanya berkisar 5 SR.

Menurut laporan yang diterima Danny, gempa di perairan selatan Pulau Pagai Selatan ini menimbulkan tsunami hingga 3 meter di Pulau Pagai. Namun, tsunami di pesisir barat Sumatera, terutama di sekitar Padang, semakin rendah. Hal ini disebabkan gelombang pasang itu terhalang oleh Pulau Pagai-Sipora.

Data ketinggian tsunami tersebut berbeda dengan pasang surut yang terekam pada Stasiun Pasang Surut Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) di Padang dan Tanah Bala atau Nias Selatan. Kenaikan pasang surut yang terpantau di stasiun tersebut hanya 0,5 meter.

Sejarah tsunami Padang

Penelitian di pesisir barat Padang, yang dilakukan Danny Hilman dan Kerry Sieh dari California Institute of Technology Amerika Serikat, berhasil mengungkap terjadinya gempa dan tsunami di Padang.

Berdasarkan data sejarah, tsunami pernah menerjang Padang pada 10 Februari 1797 akibat gempa bermagnitude momen 8,4 hingga menewaskan sekitar 300 orang. Namun, dari penelitian pada kondisi terumbu karang diketahui, terjadi terjangan tsunami kedua pada 29 Januari 1833 dengan kekuatan 9,0. Tidak ada catatan berapa jumlah korban jiwa ketika itu.

Terumbu karang merupakan "perekam alam" bencana itu akibat naik turunnya dasar pesisir pantai, akibat aktivitas tektonik, yaitu penunjaman Lempeng Indo-Australia terhadap Lempeng Eurasia.

Pelepasan energi yang menimbulkan gempa besar akan diikuti proses penghimpunan kembali energi di tepi lempeng itu. Tekanan antarlempeng terus-menerus berlangsung. Maka, gempa akan terjadi lagi sampai batuan di daerah itu tak mampu menahan tekanan.

Setelah terjadi kenaikan permukaan, dalam hitungan ratusan tahun, bagian yang terangkat itu akan berangsur turun lagi sebagai akibat penekanan tadi. Jika permukaan dasar laut turun hingga merendam seluruh koral karena proses geologis dan tektonis itu, bagian atas koral tumbuh lagi. Turun naiknya permukaan ini mengakibatkan bentuk mikroatol ini bagai topi khas Meksiko, sombrero.

Pola inilah yang dijadikan dasar untuk memprediksi periode kegempaan. Mereka memperkirakan, gempa besar diperkirakan bakal terjadi lagi pada 2033, pascagempa tahun 1833.

Pada tahun 1833 terjadi gempa berskala 8,9 SR hingga mengakibatkan Pagai Selatan mengalami pengangkatan 2 hingga 3 meter. Adapun gempa 2007 hanya mengakibatkan kenaikan paling tinggi 0,5 meter daratan Pulau Pagai Selatan.

Berdasarkan data global positioning system (GPS) yang terpasang di Pulau Pagai Selatan, menurut Danny, diketahui, bagian timur pulau itu mengalami kenaikan 30 sentimeter, sedangkan bagian barat naik 0,5 meter. Adapun Sipora mengalami kenaikan beberapa puluh sentimeter.

Mekanisme naiknya pulau-pulau di pesisir Padang dan turunnya kawasan pantai Bengkulu, Jambi, hingga Padang itu merupakan kejadian yang berulang setiap 200 tahunan setiap terjadinya gempa besar.

Karena gempa itu sesungguhnya merupakan fenomena yang menunjukkan terjadinya proses pelentingan tepi lempeng Benua Eurasia yang tertekan oleh subduksi Lempeng Samudra Indo Australia. Kecepatan desakan lempeng itu sekitar 60 mm per tahun. Jadi, kita tetap harus waspada pada datangnya gempa.

http://sains.kompas.com/read/2010/10/27/09590564/