Minggu, 01 Januari 2012

Umat Khonghucu Jambi Gelar Syukuran Di Klenteng

JAMBI – Pancaran sinar lilin menerangi altar Hok De Chen Sen serta harumnya aroma gaharu yang begitu menyengat hidung, diiringi suara gendang berkomandang di sekeliling klenteng Siu San Teng.

Sehari sebelum upacara pelaksanaan Sia Kang (syukuran), pengurus klenteng Siu San Teng yang terletak di Kampung Manggis, Jalan Kirana II Rt. 10 Kelurahan Cempaka Putih, Kecamatan Jelutung, Kota Jambi, pengurus beserta lo cu (panitia) disibukan dengan berbagai keperluan upacara syukuran. Siu San Teng merupakan klenteng terbesar di Kota Jambi.
Sebagaimana diketahui disetiap awal tahun baru, bagi masyarakat Tionghoa yang khusus pemeluk agama Khonghucu senantiasa mengunjungi tempat-tempat ibadah klenteng untuk melakukan sembahyang, umat Khonghucu terdiri dari yang tua sampai yang muda dengan kusuk berdoa dihadapan altar Tian (Tuhan YME), selain itu mereka juga puji dan syukur kepada Sang Pencipta Alam Semesta beserta para sen ming (roh suci).

Maka tidak heran apabila sejak pukul 07.00 umat Khonghucu telah mendatangi klenteng Siu San Teng. Sia Kang merupakan salah satu tradisi yang setiap tahun diperingati oleh masyarakat yang beragama Khunghucu di awal tahun, tujuan Sia Kangftujuan Sia Kang adalah untuk menyampaikan ungkapan syukur dan terima kasih atas segala berkah yang diberikan Tian (Tuhan YME) kepada mereka.

Sia Kang dipimpin oleh The Lien Teng, rohaniwan dari Majelis Agama Khonghucu Indonesia (Makin) Sai Che Tien Jambi, prosesi diawali pembacaan So Bun/Cie Bun (baca sejenis surat pemberitahuan red) yang dituju kepada Tie Kong/ Tuhan serta mengundang para sen ming.

Selang satu jam kemudian, rohaniawan kembali melakukan prosesi sembahyang di depan altar Hok Tek Chen Sen juga dengan cara yang sama yakni membacakan So Bun/ Cie Bun.

Inti dari pembacaan So Bun dan Cie Bun adalah memohon izin dari Tuhan Yang Maha Esa untuk melakukan prosesi upacara Sia Kang, dan memohon perlindungan dari sang pencipta alam semesta, selain itu mengundang kehadiran dewa-dewi seperti Sam Kwan Tai Te yang terdiri dari dewa Siong Gwan Tien Kwan (dewa penguasa langit), Yiong Kwan Tue Kwa (dewa penguasa bumi) dan Ha Huan Cui Kwa (dewa penguasa air/laut) serta memohon agar dewa-dewi melindungi bangsa dan negara berikut segala isinya, serta memberikan kesejahteraan bagi masyarakat, murah rejeki, jauhkan segala malapetaka dan lain sebagainya.

Sedangkan, diatas altar terdapat berbagai sesajian inti seperti 10 jenis ceng cai (sayuran kering), buah-buahan, cien up (permen), tie kue (kue kerancang), ang kue (kue merah) berisi kacang hujau, mie basah, bihun, ikan, ayam, bebek, selain itu terdapat sesajen lainnya seperti hasil bumi diantaranya kopi, teh, gula pasir dan lain sebagainya juga terdapat sesajen dari hasil air seperi limun, air mineral, arak putih, bir putih, terus kim cua (kertas sembahyang), lilin merah dan hio (garu). Seusai pembacaan So Bun atau Cie Bun panitia membakarkan kim cua (kertas sembahyang).

Menurut The Lien Teng, dimana ratusan tahun yang lalu, bahwa leluhur masyarakat Tionghoa yang datang dari Tiongkok ke Indonesia (khususnya ke Jambi) dengan mengunakan perahu layar melintasi laut serta sungai Batanghari, sepanjang perjalanan mereka mendoa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan para dewa-dewi serta leluhur, semoga mereka dapat tiba di Jambi dengan selamat tanpa kekurangan apapun, umumnya leluhur masyarakat Tionghoa waktu hidup dari hasil pertanian, ada juga sebagai pedagang, oleh karena itu mereka mendirikan klenteng yang tidak jauh dari usaha mereka, klenteng Hok Tek kini sebagai cagar budaya di simpang Mangga, klenteng tersebut dibangun pada jaman Belanda kira-kira tahun 1905.

Selain itu, menurut ketua Bidang Ritual klenteng Siu San Teng, Djonni Attan, mengatakan, “Sembahyang Sia Kang merupakan agenda tahunan, dilakukan tepat pada tahun baru masehi, dimana pada hari tersebut, umumnya toko-toko pada libur, maka yang datang sembahyang lebih banyak dari pada hari biasa”, hal tersebut dapat dilihat dengan kehadiran para pengusaha maupun tokoh masyarakat.

Tradisi ini dapat digelar berkat Almarhum Presiden Indonesia ke-4, K.H. Abdurrahman Wahid yang akrab dipanggil Gus Dur dengan mengeluarkan Keppres No.6/2000 tentang pencabutan Inpres N0.14/1967 tentang agama, kepercayaan dan adat istiadat Tionghoa. Dengan dikeluarkannya Keppres tersebut,masyarakat Tionghoa sekarang diberi kebebasan untuk merayakan upacara-upacara agama dan adat istiadatnya seperti Imlek, Capgome dan sebagainya secara terbuka. Demikian juga kebudayaan Tionghoa yang selama ini dilarang termasuk atraksi liong dan barongsai bebas dipertunjukkan di muka umum. (Romy)