Minggu, 16 April 2017

Tradisi Bakar Rumah Untuk Leluhur

JAMBI – Bagi masyarakat keturunan Tionghoa yang beragama Khonghucu, penghormatan kepada orangtua atau leluhur, baik yang masih hidup di dunia maupun yang sudah wafat, merupakan sebuah kewajiban anak (keturunan) sejak jaman dahulu kala.

Salah satunya adalah, tradisi tersebut adalah membakar rumah-rumahan (Bahasa Hokkien Leng Chu) yang terbuat dari bahan bambu, karton, kertas warna warni dan pernak pernik lukisan serta segala perlengkapan rumah tangga, tradisi membakar rumah-rumahan berikut segala isi ini untuk dikirim kepada arwah orangtua maupun leluhur mereka yang telah wafat, rumah-rumahan tersebut buat kebutuhan tempat tinggal arwah di alam baka.

Tradisi ini masih dipertahankan hingga kini, tradisi ini sudah ada sejak jaman nenek moyang masyarakat Tionghoa yang mayolitas beragama Khonghucu secara turun temurun, tradisi mengirim rumah-rumahan dilakukan setelah orangtua mereka meninggal genap tiga tahun.
Seperti keluarga Ong Chun Huat, memperingati tiga tahun kepergian sang istri tercintanya (The Kim Tui), The Kim Tui adalah adik ketua rohaniawan MAKIN Sai Che Tien, The Lien Teng dengan mengirimkan rumah-rumahan berikut segala isinya, agar istrinya di alam baka, memiliki tempat tinggal yang layak seperti manusia hidup di dunia fana.

Upacara sembahyang pembakaran rumah dipimpin oleh Lim Tek Chong Taoshe dari Tiongkok.

Ujar Lim Tek Chong taoshe,”Tradisi ini, masih kuat bertahan sampai kini, tradisi membakar rumah-rumahan sebagai bentuk kebaktian seorang seorang anak kepada orangtuanya, mereka mengirimkan rumah-rumahan dengan cara membakar berikut segala isi rumah, seperti alat rumah tangga, diantaranya perlengkapan alat dapur, perlengkapan ruang tamu, kamar tidur, mobil-mobilan.”  Ujar Lim Tek Chong.
Tambah Lim Tek Chong, “Bahwa manusia hidup di atas bumi merlukan tempat tinggal yang layak. Demikian juga arwah orang yang telah wafat di alam baka juga membutuhkan kehidupan seperti layaknya dimasa hidupnya”.

Selain itu, mereka juga mengirim perlengkapan lainya, seperti, sabun mandi/ sabun cuci, handuk, pakaian, sepatu, minyak sayur, garam, beras sebagai syarat untuk orangtua mereka pergunakan di alam baka, tidak ketinggalan beberapa dayang/ pembantu rumah tangga untuk membantu orangtua mereka di alam baka.

Serta ada dua jenis kertas yang digunakan dalam tradisi ini, yaitu kertas yang bagian tengahnya berwarna keemasan (Kim Cua) dan kertas yang bagian tengahnya berwarna keperakan (Gin Cua). Menurut kebiasaan-nya Kim Cua (Kertas Emas) digunakan untuk upacara sembahyang kepada dewa-dewa, sedangkan Gin Cua (Kertas Perak) untuk upacara sembahyang kepada para leluhur dan arwah-arwah orang yang sudah meninggal dunia. Bahwa dengan membakar kertas emas dan perak itu berarti mereka telah memberikan kepingan uang emas dan uang perak kepada para dewa atau leluhur mereka; sebagaimana diketahui kepingan emas dan perak adalah mata uang yang berlaku pada jaman Tiongkok kuno.

Semua bahan diletakan didalam rumah-rumahan, setelah itu anak laki-laki melakukan sembahyang dengan mengundang roh/ arwah orangtua mereka untuk dapat menempati rumah-rumahan yang dibeli oleh anak-anak lekaki, seusai itu baru rumah-rumahan dibakar.

Pembakaran juga memiliki pesan moral tersirat untuk berbakti dan setia kepada negeri kita tinggal karena dalam membakar kertas emas maupun perak mengandung makna tanah melahirkan logam dan tanah itu adalah tempat dimana kita berpijak, tempat kita lahir dan bertumbuh. Bagi yang beranggapan membakar uang kertas dalam jumlah besar dapat menyenangkan leluhur atau menunjukkan bakti, lebih baik tunjukkan rasa sayang anda itu semasa leluhur anda masih di dunia. (Romy)
* https://www.facebook.com/makinjambi