Orang-orang dengan ikatan selendang kuning dan merah yang memanggulnya dibuat blingsatan. Sejumlah orang bahkan tampak harus beroleh perawatan di dalam ambulans yang mengiringi rombongan besar itu.
Kemacetan tak terhindarkan karena orang-orang berkerumun di pingir-pinggir jalan menyaksikan pawai akbar tersebut. Sejumlah pemanggul kio tampak saling bergantian di tengah gerakan-gerakan yang kacau tak beraturan.
Di sela-sela keruwetan itu, sejumlah orang tampak mengibas-ngibaskan dedaunan yang sebelumnya dicelup dalam seember kecil air. Percikan air itu membasahi para pemanggul kio yang beberapa di antaranya tampak kepayahan.
Hari itu Kamis (17/2/2011) pagi atau persis 15 hari setelah perayaan Tahun Baru Imlek. Sebuah pentas yang disebut tuapekong, toapekong, atau tepekong digelar untuk merayakan Cap Go Meh yang jatuh persis pada hari itu.
Adalah Himpunan Tjinta Teman atau Hok Tek Tong (HTT) Padang yang menggelar atraksi tersebut. HTT adalah perkumpulan sosial yang bergiat dalam bidang pemakaman dan sudah berdiri sejak 148 tahun lalu.
Soal penamaan perayaan itu, HTT yang beranggotakan sekitar 10 ribu orang di Indonesia itu punya pendapat. Sebetulnya, namanya itu tuapekong, kata Ketua HTT Padang Ferryanto Gani.
Hari itu adalah yang pertama kalinya lima kio dengan berat antara 100 kilogram hingga 470 kilogram itu diarak lagi, setelah vakum pada 2009 dan 2010 lalu. Kio terbesar dibuat di Jepara dan masing-masing yang lebih kecil langsung diimpor dari China.
Namun, pusat atraksi pagi itu bukanlah lima kio tersebut. Lima kio itu hanya menjadi semacam rumah untuk enam buah patung berbentuk manusia yang didewakan dan disebut sebagai lotjo.
Menurut Ferryanto, karena kekurangan kio, sebuah kio terberat diisi dengan dua lotjo. Ferryanto mengatakan, lotjo itu adalah seorang r aja dan pengawalnya yang dipercaya telah menjadi dewa.
Sementara empat kio lainnya, diisi masing-masing sebuah lotjo yang menurut Ferryanto adalah adik-adik dari raja lotjo yang berasal dari daratan China. "Lotjo ini sebelumnya memang seorang raja. Ia lalu meninggal dan digantikan saudaranya yang kejam, rakyatnya lalu ingat dan ramai-ramai sembahyang di kuburannya. Setalah itu turunlah hujan, dan sejak itu ia didewakan," katanya.
Karena itulah, sebagian warga keturunan Tionghoa menganggap lotjo sebagai semacam panduan harapan. Ferryanto menyebutkan, dengan dilakukannya perayaan dan atraksi tersebut, diharapkan segala bencana bisa jauh.
"Kalaupun ada, jangan sampai membuat terkejut," kata Ferryanto.
Karena itulah, lotjo kemudian diperlakukan spesial. Untuk mengeluarkannya dari tempat penyimpanan di lantai empat gedung HTT Padang, memerlukan ritual khusus.
Demikian pula untuk mengembalikannya. Ada syarat dan lelaku khusus yang mesti dijalani.
Bahkan, kata Ferryanto, keputusan untuk dilakukannya arak-arakan atau tidak, akan sangat tergantung dari keinginan lotjo yang dipercayainya bisa diajak komunikasi.
Termasuk menentukan rute perjalanan hari itu yang jauhnya sekitar tiga kilometer.
Lotjo juga punya semacam penjamin kesejahteraan bagi dirinya yang bertugas mencari uang. Namanya Ang O Bin yang dalam pentas itu dipersonifikasikan menjadi dua orang berpakaian ala pendekar warna hitam bergaris merah dengan sebagian wajah dicat hitam dan sebelahnya lagi dicat merah.
"Kalau selendang merah dan kuning buat yang memanggul, itu artinya hanya sebagai tanda untuk kio tertentu yang harus dipanggul," ujar Ferryanto.
Khusus bagi para pemanggul, sekalipun terkesan berat, namun saking terbawa suasana trance maka beban berat itu rupanya tak lagi dirasakan. "Saya justru tidak merasakan adanya beban berat," kata Tan U Hua Kepala Seksi Kebudayaan HTT Padang yang ikut memanggul salah satu kio.
Menurut Tan, seluruh gerakan kio terjadi dengan sendirinya, dan tidak digerakkan oleh para pemanggul. "Untuk pantangan agar bisa memanggul kio juga tidak ada," ujarnya.
Bagi sejumlah penonton, atraksi dalam keramaian pawai itu tetap menarik perhatian sekalipun terkesan mistis. Upik Rahmawati, yang hari itu menonton di pinggir jalan bersama dua anaknya mengaku sudah biasa dengan atraksi tersebut.
Upik yang suaminya juga ikut menjadi salah seorang pemain dalam atraksi tersebut mengatakan, warga sekitar relatif juga sudah biasa dengan tontonan tersebut. Ia mengatakan, tidak juga merasa takut dengan atraksi yang terkesan mistis itu.
Hari beranjak siang, perayaan Cap Go Meh pun diteruskan. Gambang HTT Padang dengan dua gitaris akustik, seorang violis, seorang pemain ukulele , seorang pemain bas betot, dan seorang pemain kolintang melagukan sejumlah nomor Mandarin. Sayangnya tidak ada kecapi dan suling, kata seorang pengunjung yang kemudian larut dalam dendang.
http://oase.kompas.com/read/2011/02/20/18564099/
Kemacetan tak terhindarkan karena orang-orang berkerumun di pingir-pinggir jalan menyaksikan pawai akbar tersebut. Sejumlah pemanggul kio tampak saling bergantian di tengah gerakan-gerakan yang kacau tak beraturan.
Di sela-sela keruwetan itu, sejumlah orang tampak mengibas-ngibaskan dedaunan yang sebelumnya dicelup dalam seember kecil air. Percikan air itu membasahi para pemanggul kio yang beberapa di antaranya tampak kepayahan.
Hari itu Kamis (17/2/2011) pagi atau persis 15 hari setelah perayaan Tahun Baru Imlek. Sebuah pentas yang disebut tuapekong, toapekong, atau tepekong digelar untuk merayakan Cap Go Meh yang jatuh persis pada hari itu.
Adalah Himpunan Tjinta Teman atau Hok Tek Tong (HTT) Padang yang menggelar atraksi tersebut. HTT adalah perkumpulan sosial yang bergiat dalam bidang pemakaman dan sudah berdiri sejak 148 tahun lalu.
Soal penamaan perayaan itu, HTT yang beranggotakan sekitar 10 ribu orang di Indonesia itu punya pendapat. Sebetulnya, namanya itu tuapekong, kata Ketua HTT Padang Ferryanto Gani.
Hari itu adalah yang pertama kalinya lima kio dengan berat antara 100 kilogram hingga 470 kilogram itu diarak lagi, setelah vakum pada 2009 dan 2010 lalu. Kio terbesar dibuat di Jepara dan masing-masing yang lebih kecil langsung diimpor dari China.
Namun, pusat atraksi pagi itu bukanlah lima kio tersebut. Lima kio itu hanya menjadi semacam rumah untuk enam buah patung berbentuk manusia yang didewakan dan disebut sebagai lotjo.
Menurut Ferryanto, karena kekurangan kio, sebuah kio terberat diisi dengan dua lotjo. Ferryanto mengatakan, lotjo itu adalah seorang r aja dan pengawalnya yang dipercaya telah menjadi dewa.
Sementara empat kio lainnya, diisi masing-masing sebuah lotjo yang menurut Ferryanto adalah adik-adik dari raja lotjo yang berasal dari daratan China. "Lotjo ini sebelumnya memang seorang raja. Ia lalu meninggal dan digantikan saudaranya yang kejam, rakyatnya lalu ingat dan ramai-ramai sembahyang di kuburannya. Setalah itu turunlah hujan, dan sejak itu ia didewakan," katanya.
Karena itulah, sebagian warga keturunan Tionghoa menganggap lotjo sebagai semacam panduan harapan. Ferryanto menyebutkan, dengan dilakukannya perayaan dan atraksi tersebut, diharapkan segala bencana bisa jauh.
"Kalaupun ada, jangan sampai membuat terkejut," kata Ferryanto.
Karena itulah, lotjo kemudian diperlakukan spesial. Untuk mengeluarkannya dari tempat penyimpanan di lantai empat gedung HTT Padang, memerlukan ritual khusus.
Demikian pula untuk mengembalikannya. Ada syarat dan lelaku khusus yang mesti dijalani.
Bahkan, kata Ferryanto, keputusan untuk dilakukannya arak-arakan atau tidak, akan sangat tergantung dari keinginan lotjo yang dipercayainya bisa diajak komunikasi.
Termasuk menentukan rute perjalanan hari itu yang jauhnya sekitar tiga kilometer.
Lotjo juga punya semacam penjamin kesejahteraan bagi dirinya yang bertugas mencari uang. Namanya Ang O Bin yang dalam pentas itu dipersonifikasikan menjadi dua orang berpakaian ala pendekar warna hitam bergaris merah dengan sebagian wajah dicat hitam dan sebelahnya lagi dicat merah.
"Kalau selendang merah dan kuning buat yang memanggul, itu artinya hanya sebagai tanda untuk kio tertentu yang harus dipanggul," ujar Ferryanto.
Khusus bagi para pemanggul, sekalipun terkesan berat, namun saking terbawa suasana trance maka beban berat itu rupanya tak lagi dirasakan. "Saya justru tidak merasakan adanya beban berat," kata Tan U Hua Kepala Seksi Kebudayaan HTT Padang yang ikut memanggul salah satu kio.
Menurut Tan, seluruh gerakan kio terjadi dengan sendirinya, dan tidak digerakkan oleh para pemanggul. "Untuk pantangan agar bisa memanggul kio juga tidak ada," ujarnya.
Bagi sejumlah penonton, atraksi dalam keramaian pawai itu tetap menarik perhatian sekalipun terkesan mistis. Upik Rahmawati, yang hari itu menonton di pinggir jalan bersama dua anaknya mengaku sudah biasa dengan atraksi tersebut.
Upik yang suaminya juga ikut menjadi salah seorang pemain dalam atraksi tersebut mengatakan, warga sekitar relatif juga sudah biasa dengan tontonan tersebut. Ia mengatakan, tidak juga merasa takut dengan atraksi yang terkesan mistis itu.
Hari beranjak siang, perayaan Cap Go Meh pun diteruskan. Gambang HTT Padang dengan dua gitaris akustik, seorang violis, seorang pemain ukulele , seorang pemain bas betot, dan seorang pemain kolintang melagukan sejumlah nomor Mandarin. Sayangnya tidak ada kecapi dan suling, kata seorang pengunjung yang kemudian larut dalam dendang.
http://oase.kompas.com/read/2011/02/20/18564099/