Kamis, 17 Maret 2011

Gempa Jepang di Mata Orang Lokal

Ketika terjadi gempa besar di Sendai hari Jumat lalu, reaksi orang Jepang mungkin beragam. Namun, sebagian besar, boleh dikatakan demikian, tetap saja menampakkan ketenangannya. Dalam sebuah program televisi Jepang pasca-gempa, diwawancarai beberapa orang asing yang punya pasangan orang Jepang. Hampir semuanya merasa heran kenapa pasangan Jepangnya bisa begitu tenang, padahal gempa yang menggoyang Honshu kemarin bukan main-main.
Skalanya 9,0 Magnitudo (M), menurut badan metereologi Jepang, dan 8,9 M, menurut USGS, dengan kedalaman yang cukup dangkal, yakni 24 km dari permukaan kulit bumi. Tetapi, kebanyakan orang Jepang bersikap tenang. Bahkan masih ada yang tetap bertahan di dalam gedung Pachinko ketika saya pulang dari kampus untuk menengok kondisi keluarga saya Jumat sore lalu. Luar biasa!
Bagaimana mereka bisa tenang?

Yasui, seorang mahasiswa pascasarjana di Keio University, mengatakan bahwa orang Jepang merasa tenang karena mereka sudah terbiasa dengan gempa bumi. Tak heran karena pulau Honshu di Jepang sebenarnya terbentuk dari tumbukan dua lempeng tektonik Eurasia dan Amerika Utara. Lalu, terletak pula di perbatasan antara lempeng Laut Filipina dan Pasifik. Ada empat lempeng tektonik yang “menyangga” Jepang. Jadi, menurut Yasui, kemunculan gempa yang sangat sering di Jepang membuat orang Jepang akrab dan biasa dengan gempa. Jadi, itu membuat mereka tidak panik dan biasa-biasa saja.

Ota, seorang penerjemah yang tinggal di kawasan Tokyo, mengatakan bahwa ketenangan orang Jepang barangkali akibat tingginya kepercayaan mereka terhadap konstruksi dan teknologi antigempa dari bangunan tempat tinggal atau tempat bekerja mereka. Selain itu, mereka juga dilatih sejak kecil untuk menghadapi bencana gempa bumi. Jadi, mereka sudah tahu apa saja yang harus dilakukan kalau terjadi gempa. Mereka diajarkan bahwa jika ketika gempa bumi sempat merasa takut, itu artinya gempa buminya tidak berlangsung lama. Namun, gempa jumat kemarin terjadi cukup lama menurut saya. Getaran itu berlangsung paling tidak satu menit.

Karena pernah lama tinggal di Jakarta, Ota pun tidak begitu yakin dengan alasan orang Jepang. Dia pernah mengalami gempa bumi di Jakarta dan Bandung. Itu mulai membuatnya takut. Rasa takut itu kini masih selalu hinggap dalam dirinya ketika terjadi gempa bumi, terlebih lagi pada saat gempa bumi yang baru lalu.

Jika terjadi gempa bumi ataupun bencana alam di Indonesia, biasanya masyarakat langsung cepat tanggap. Ada yang mendirikan posko atau dapur umum. Ada pula yang menjadi relawan dan sebagainya. Lalu, bagaimana dengan di Jepang?

Menurut Yasui dan Ota, sebenarnya masyarakat Jepang juga punya kebiasaan dan pengalaman dalam penanganan gempa dengan membantu langsung atau menjadi relawan. Ota mengatakan bahwa dalam gempa di Kansai dan di Awaji beberapa tahun silam, ada banyak pengalaman orang Jepang yang masuk ke tempat korban gempa dan pengungsian dengan cara sendiri-sendiri. Namun, situasinya justru menjadi kacau. Jadi, berkaca dari pengalaman itu sekarang masyarakat Jepang memilih untuk menunggu sampai situasinya stabil dan aman, baru mereka melakukan sesuatu.

Yasui mengemukakan bahwa tidak dianjurkannya kegiatan relawan dari masyarakat secara langsung, selain hal di atas, juga karena kemungkinan masih adanya bencana sekunder atau berikutnya. Orang yang tidak terlatih tentu justru akan membahayakan diri sendiri apabila menjadi relawan. Kehadiran relawan spontan juga kadang-kadang bisa mengganggu kerja para prajurit beladiri Jepang atau para petugas darurat bencana.

Kemudian, Yasui dan Ota sepakat bahwa dalam distribusi bantuan dan makanan, relawan masyarakat tentu bisa salah sasaran. Misalnya, orang yang sebenarnya sudah dibantu justru diberi bantuan, sementara yang belum dibantu tidak mendapatkan pertolongan sebagaimana semestinya. ”Kalau ada petugas, penyaluran orang dan barang bisa diarahkan ke tempat yang tepat karena adanya koordinasi dan organisasi yang rapi,” kata Ota. Ya, biasanya relawan memang suka berkumpul tanpa sadar karena medan lokasi kejadian gempa tidak selalu bagus aksesnya. Jadi, sulit masuk ke tempat pengungsian yang terpelosok. “Jadi, tahu-tahu semua relawan berkumpul di tempat yang sama,” tambah Ota yang pernah tinggal juga di Vietnam.

Menurut Yasui, selain hal yang telah dikemukakan sebelumnya, kadang-kadang juga sering terjadi konflik kepentingan di antara kelompok relawan atau antar-relawan. Hal ini tentu mempunyai kontribusi negatif bagi penanganan korban bencana alam. Jadi, masuk akal juga kalau relawan dari elemen masyarakat di Jepang umumnya menunggu hingga situasi stabil dan tidak berbahaya lagi. Ketika itulah mereka bisa membantu sesama mereka yang mengalami musibah dengan lebih aman dan efektif.

http://luar-negeri.kompasiana.com/2011/03/13/