Kamis, 16 Juni 2011

Polisi Belum Berhasil Kuak Sindikat Perdagangan Trenggiling

JAMBI - Walaupun sudah dua kali berhasil menggagalkan upaya penyelundupan Trenggiling, namun aparat Polisi Saerah Jambi hingga kini belum berhasil menguak mata rantai sindikat perdagangan Trenggiling.
Padahal, dalam dua kasus itu aparat kepolisian setempat tidak hanya berhasil menyita barang bukti, tapi juga beberapa orang pelaku ikut ditangkap dan bahkan sudah ditetapkan jadi tersangka.

Keberhasilan pertama, menyita 72 ekor Trenggiling hidup yang direncanakan akan diseludupkan ke luar negeri pada Mei 2010 dan keberhasilan kedua menyita14 ekor trenggiling yang sudah berbentuk daging diawetkan 6 Juni lalu. Polisi kini terus berupaya terus memburu sindikat perdagangan binatang langka dan dilindungi ini.

Sebagai contoh, pada kasus terakhir, aparat Direktorat Polisi Air Polisi Daerah Jambi telah berhasil menangkap dan menahan beberapa tersangka pelaku upaya penyeludupan Trenggiling, seorang diantaranya bernama Syarifudin alias acok, selaku pemilik 14 ekor Trenggiling.

"Pihak kita memang sedang berupaya mengungkap jaringan sendikat perdagangan Trenggiling, namun belum membuahkan hasil. Kita tidak menganggap kejadian upaya penjualan Trenggiling di daerah ini sedang marak, karena dugaan sementara paketnya pun tidak terlalu besar dan bukan ada penampung khusus", kata Ajun Komisaris Besar Almansah, juru bicara Polda Jambi, belum lama ini.

Berdasarkan pengalaman pihaknya, binatang langka dan dilingdungi itu, ditangkap oleh warga lalu dijual ke pengepul yang khusus menampung binatang lain, antara lain seperti labi-labi dan ular.

penanganan kasus upaya penjualan 14 ekor Trenggiling, plosisi setempat telah memeriksa delapan orang saksi.

Cuma Almansyah mengakui, kian banyaknya perdagangan Trenggiling, dipicu dengan mahalnya harga daging dan sisik trenggiling. Di pasaran gelap, harga daging trenggiling dapat mencapai Rp. 1 juta per kilogram. Sedangkan sisik trenggiling dihargai Rp 9 ribu per lembar.

“Binatang ini dapat dijadikan sebagai bahan kosmetika, obat kuat, dan santapan di restoran. Sisiknya sendiri sering di pakai sebagai salah satu bahan pembuat sabu-sabu", katanya.

Sementara, tersangka Syarifudin alias acok, ketika dimintai komentarnya mengambil sikap tutup mulut. Hanya dengan singkat mengaku jika dirinya hanya merupakan orang suruhan membawa barang itu dengan upah Rp800 ribu.

Pelaku dapat dijerat pasal 21 Ayat 2 Huruf b jo Pasal 40 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990, tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem dengan ancaman hukuman diatas lima tahun penjara.

Sebelumnya, Direktorat Polisi Air Polda Jambi pernah juga berhasil menggagalkan upaya yang sama sebanyak 72 ekor Trenggiling hidup pada 26 Mei 2010 lalu. petugas juga telah menetapkan tiga orang tersangka, yakni Rico, 30 tahun, warga Lorong Merak RT 04/05 Tembilahan Kabupaten Inhil, Kepulauan Riau selaku nakhoda.

Dua tersangka lain adalah anak buah kapal, masing-masing bernama Ridwan, 30 tahun, warga Batu Aji Permai Kav Lama RT 02/04 Kelurahan Sungai Lekop Sagulung, Batam, Provinsi Kepulauan Riau; dan A Rahman, 38 tahun, warga Jalan Prof M Yamin lorong Karya Bersama RT 03/10 Tembilahan Ilir, Kabupaten Inhil, Provinsi Kepulauan Riau.

Informasi yang didapat, ketiga tersangka diamankan sekitar pukul 07.00 WIB di perairan Parit Gompomg Kualatungkal, Kabupaten Tanjab Barat. Anggota Dit Polair yang sedang melakukan patroli, telah mengintai speed boat bermesin dua dengan kekuatan 400 PK.

Saat digeledah, polisi menemukan 72 trenggiling yang sudah dikemas sedemikian rupa, di dalam speed boat itu. Karena hewan tersebut merupakan salah satu hewan yang dilindungi, lantas hewan berikut barang bukti langsung diamankan di markas Dit Polair Polda Jambi.

Para tersangka masih menjalankan sidang di Pengadilan Negeri Jambi untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Trisiswo, Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jambi, mengakui, jika Provinsi Jambi merupakan salah satu habitat Trenggiling, terutama kawasan hutan dataran rendah, seperti di daerah Kabupaten Tanjungjabung Barat dan Tebo.

"Memang disini banyak ditemui Trenggiling, namun kami belum mengetahui secara pasti berapa populasi yang ada, mengingat belum pernah dilakukan penelitian", kata Trisiswo.

Untuk menanggulang jangan sampai binatang ini punah akibat kian gencarnya perdagangan liar, maka pihaknya berencana mengajak pihak-pihak tertentu yang berminat untuk membuat kawasan khusus penangkaran Tenggiling.

"Upaya ini sangat perlu dilakukan dan kita akan mengajak masyarakat terutama pemeilik modal untuk mencoba membuat penangkaran khusus trenggiling, sebagai langkah untuk menjaga kepunahan binatang ini", ujarnya.(SYAIPUL BAKHORI)