Senin, 31 Oktober 2011

Amoi Singkawang, Novel Soal Perempuan Tionghoa

JAKARTA, KOMPAS.com - Amoi Singkawang, novel karya Mya Ye ini diterbitkan Penerbit Buku Kompas (PBK). Mya Ye lahir di Sukabumi, 1 Juni 1979 adalah dokter gigi lulusan Universitas Moestopo (Beragama) Fakultas Kedokteran Gigi (1997-2005), yang mengambil S-2 The London School of PR Jurusan Mass Communication, lulus tahun 2009.
Selain novel Amoi Singkawang, Mye Ye sudah menulis beberapa novel lainnya, yaitu Luv Me, Princess; Cinta, Aku Harus Bagaimana?; Topeng (cerita bersambung); Jerawat? Gue Banget; Love on The Blue Sky, Pemburu Cinta.

Inilah sinopsis novel Amoi Singkawang yang sudah beredar di toko buku Gramedia.
Lahir dalam keluarga China modern, Shintia Arwida, seorang penulis muda, merasa amat buta dengan ketidaktahuannya mengenai sejarah dan asal-usul budaya nenek-moyangnya. Ia mengalami krisis identitas berat dan ingin pergi meninggalkan tanah kelahirannya. Namun sebelum itu, ia ditantang ayahnya untuk menggali sendiri akar budaya keturunannya.

Perjalanan membawa Shintia ke Singkawang. Kota seribu Kuil yang mayoritas penduduknya adalah etnis China. Di sana ia berkenalan dengan amoi-amoi yang sebutannya terkenal hingga ke luar Singkawang.

Melalui teman-teman barunya ini ia belajar banyak tentang kehidupan. Tentang ketaatan pada adat dan tradisi kuno serta rasa bakti terhadap orangtua dan keluarga, termasuk menikah dengan orang luar negeri, seperti Taiwan.

Batin Shintia memprotes ketidakadilan yang diterima oleh anak-anak perempuan dalam keluarga tradisional China. Dari kelahiran yang tak pernah diharapkan, suara yang tak pernah masuk hitungan, hingga menjadi sapi perah untuk mengubah kemiskinan.

Kemiskinan. Itulah yang menjadi awan kelabu amoi-amoi itu. Satu kata itu mampu menjungkir-balikkan kehidupan mereka. Tidak ada dana untuk pendidikan ditambah jejalan nasihat usang yang melarang anak perempuan bersekolah dan menjadi pintar menyokong pola pikir mereka yang pendek dan tidak bisa diandalkan. Yang ada dalam pikiran mereka hanya uang. Tak heran jika akhirnya mereka menuruti desakan orangtua untuk menikahi pria-pria asing yang mampu memberi mahar dalam jumlah tinggi.

Ironisnya, orangtua mereka pun seperti tak peduli bagaimana nasib anak perempuan mereka kelak ditangan suami yang tak pernah dikenal baik sebelumnya. Cinta hampir tak ada dalam kamus hidup mereka.

Tak hanya satu-dua amoi yang merasa ketakutan memasuki gerbang baru kehidupan mereka. Tapi sekali lagi mereka tak berdaya. Memprotes sama dengan membangkang perintah orangtua. Durhaka. Dan para amoi itu menunjukkan kualitasnya sebagai anak manusia. Menjadi tulang punggung keluarga. Meskipun seringkali pengorbanan mereka seolah tidak berharga.

Namun amoi-amoi yang tak berpendidikan tinggi ini justru menjadi guru kehidupan bagi Shintia. Pelajaran yang didapatnya dari mereka, baginya, jauh lebih bermakna dari yang pernah diterimanya di bangku sekolah. Yang paling tinggi sekalipun. Bahwa mimpi tak selalu sejalan dengan kenyataan.

http://oase.kompas.com/read/2011/10/31/15342873/