Kamis, 06 Oktober 2011

Masuk Kampung Bagai Mau Masuk Istana Negara

Desa Pemayungan, Jambi bukan tempat tinggal kepala negara. Tapi bukan berarti orang-orang bisa seenaknya keluar masuk desa yang terjepit antara Taman Nasional Bukit Tiga Puluh jika tidak punya surat jalan dari PT Wira Karya Sakti (WKS). Awal Oktober 2011 Tim Kampanye Mata Harimau Sumatera Greenpeace harus berputar-putar arah hanya demi bertandang.
“Sekarang ini situasi sedang panas karena mereka sedang melakukan land clearing hutan-hutan alam. Jadi pengawasannya lumayan ketat untuk orang yang keluar masuk,” kata Arif Munandar, Direktur Walhi Jambi, kepada sejumlah media cetak maupun elektronik, Kamis siang di sekretariat Walhi kawasan Telanaipura Jambi (6/10). Land clearing berarti menebangi hutan alam untuk kemudian ditanami tanaman industri seperti kelapa sawit atau akasia.

Desa Pemayungan berbatasan dengan Kawasan Konservasi Taman Nasional Bukit Tiga Puluh, yang menurut PKHS (Program Penyelamatan dan Konservasi Harimau Sumatera) menjadi rumah hutan Harimau Sumatera (Panthera Trigris Sumatrae) sedikitnya 30 ekor.

Satwa langka yang di seluruh hutan Andalas hanya tinggal 400 ekor saja. Tak hanya itu, secara adat Orang- orang Desa Pemayungan turun-temurun menghormati sosok Harimau Sumatera dengan menggelarinya “Datuk Mergo (Datuk Harimau)” layaknya seorang bangsawan terhormat.

Desa Pemayungan pun masuk jadwal kunjungan Tim Kampanye Mata Harimau Greenpeace di Jambi. Lima orang berpakaian loreng-loreng mengendarai motor bercorak sama bermaksud bertandang ke Desa Pemayungan. Kepala Desa Pemayungan Syahrudin juga sudah siap menyambut dengan tradisi silat dan iringan musik Melayu Tua.

“Kampanye ini disebut Mata Harimau, karena kami berpakaian bercorak harimau lalu pergi melihat apa yang terjadi dengan hutan sumatera dan memberitahukannya ke masyarakat,” kata Kepala Rombongan Kampanye Greenpeace Rusmadyah Maharrudin.

Tim Kampanye Mata Harimau Greenpeace semula berencana bertandang ke Pemayungan dari arah Kelayang, Riau. Lalu melalui Peranap, Rombongan Mata Harimau mengawali Oktober menelusuri daerah yang disebut area estafet perbatasan Riau-Jambi. Dari sanalah mereka berencana memintas jalan melewati daerah konsesi PT TMA menuju Desa Aur Cino untuk terus menuju ke Desa Pemayungan.

Tapi berucap tak semudah berlaku. Di depan jalan koridor daerah konsesi PT TMA, rombongan ditolak masuk. Saat kulonuwun ingin lewat, pihak keamanan PT TMA menolak mebuka portal jalan bagi Rombongan Mata Harimau.

“Kami hanya ingin numpang lewat dan kami bahkan bersedia dikawal hingga keluar jalur jalan PT TMA,” kata Rusmadyah.

Kepada pihak keamanan PT TMA, Rombongan lalu menunjukkan surat pemberitahuan Greenpeace ke Polisi Daerah Jambi sebelumnya tentang Kampanye Mata Harimau ini. Namun mereka tetap dibiarkan menunggu kurang lebih satu jam tanpa kepastian di depan portal. Akhirnya Rombongan Mata Harimau memilih berbalik memutar menuju Kota Kabupaten Rimbo Bujang untuk sampai ke Desa Pemayungan. Alih-alih memintas jalan melewati wilayah konsesi PT TMA, rombongan kini harus memutari wilayah konsesi. Ini berarti lama perjalanan yang tadinya hanya 4 jam berubah menjadi 11 jam berkendara motor.

Malam yang sudah melarut pun memaksa Rombongan Mata Harimau tak bisa langsung melintas Anak Sungai Batanghari menuju kampung. Alasannya sederhana: tak ada perahu besi lagi untuk menyeberangkan mereka. Jembatan juga tak ada. Harus tunggu esok lagi.

Upacara silat dan alunan musik Melayu penyambut rombongan di Desa Pemayungan akhirnya batal gara-gara jadwal molor tiga hari.

“Mohon maaf kalau kami tak bisa menyambut rombongan sebagaimana mestinya karena hal yang tak dapat kita hindari bersama. Tapi Masyarakat Desa Pemayungan tetap meminta agar hutan di sekitar kami ini bisa diselamatkan dari cengkeraman perusahaan raksasa, yang rencana land clearing-nya akan mulai 2012 ini,” kata Kepala Desa Syahrudin saat melepas pulang Rombongan Mata Harimau.

Veby Mega, Penulis yang mendukung kampanye Mata Harimau Sumatera Greenpeace
Bagus Himawan - Greenpeace Southeast Asia, Indonesia