JAKARTA, KOMPAS.com- Koordinator Gerakan Indonesia Bersih Adhie M Massardi mengungkapkan, pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah melakukan segala cara untuk meredam gejolak penolakan penaikan harga BBM, terutama di kampus-kampus. Antara lain dengan mengajak puluhan pimpinan BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) dari berbagai universitas ke luar negeri.
Saya merasa ada skenario merusak unjuk rasa rakyat menjadi betul-betul menakutkan. Bukan tidak mungkin disusupkan pasukan perusak.
Namun, tampaknya upaya itu tidak berhasil. Itu sebabnya, sekarang dimunculkan skenario merusak unjuk rasa jadi menakutkan. Inilah yang mendorong pemerintah lalu membangun opini insinuasi negatif seolah para penentang kebijakan pemerintah yang tidak pro-rakyat itu akan membuat huru-hara.
"Saya merasa ada skenario merusak unjuk rasa rakyat menjadi betul-betul menakutkan, bukan tidak mungkin akan disusupkan 'pasukan perusak' yang akan melakukan tindakan anarkis dari barisan massa aksi. Sehingga dengan demikian ada cukup alasan TNI-Polri bersenjata merangsek ke dan membubarkan paksa pengunjuk rasa," ujar Adhie di Jakarta, Senin (26/3/2012).
Pemerintah, menurut Adhie, juga ditengarai menebar rasa takut di kalangan etnis Tionghoa bahwa aksi menentang kebijakan penaikan harga BBM yang akan dimulai pada 27 Maret ini bakal berujung kerusuhan sebagaimana terjadi pada Mei 1998. Padahal, rencana penaikan harga BBM itu hanya pemicu saja dari gerakan massa. Sebab sejatinya rakyat dan mahasiswa sudah sangat muak pada rezim korup, yang oleh para pemuka agama dibilang "rezim pembohong".
"Aksi yang menakutkan inilah yang kemudian jadi alasan utama diturunkannya pasukan TNI bersenjata lengkap yang disiapkan sebagai alat pemukul para pengunjuk rasa. Padahal selama ini polisi tidak pernah bermasalah dalam menangani dan mengawal setiap unjuk rasa," ujar Adhie.
Oleh sebab itu, Adhie mengingatkan aparat keamanan, baik TNI maupun Polri, agar menyikapi para pengunjuk rasa secara proporsional. Sebab tugas dan tanggungjawab TNI-Polri adalah mengamankan NKRI, dan rakyat Indonesia.
"Boleh menjaga keselamatan Presiden dan keluarganya, tapi bukan menjaga keselamatan dan kelangsungan kekuasaannya yang korup dan tidak berpihak kepada rakyat," ujar mantan juru bicara Presiden Abdurrahman Wahid ini.
Belajar dari masa lalu, menurut Adhie, harus ada yang bisa dimintai pertanggungjawaban apabila terjadi banyak korban jiwa dan pelanggaran HAM akibat melanggar undang-undang atau menyalahi prosedur yang biasa diberlakukan.