Judul Buku : Bapak Tionghoa Indonesia
Penulis : MN. Ibad dan Akhmad Fikri AF
Penerbit : LKiS, Yogyakarta
Cetakan : I, Januari 2012
Tebal : x + 172 hlm.
Peresensi : Joko Wahyono*
Dua tahun KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) telah meninggalkan jagad raya. Akan tetapi, ajaran-ajarannya selalu mewarnai sejarah pemikiran dan peradaban masyarakat Indonesia, bahkan dunia. Seorang Guru Bangsa yang immortal death, kematian yang tak pernah mati. Gus Dur adalah living text dan sekaligus unfinished text yang selalu melahirkan pluralitas pemaknaan terhadapnya. Tidak ada identitas tunggal dan ajek yang bisa disematkan kepadanya. Selain kompleksitas pemikirannya, teks sendiri juga bersifat terbuka bagi berbagai perspektif dan setiap model pembacaan. Meminjam ungkapan Barthes, author telah mati (the death of the author), akan tetapi teks menjadi milik pembaca. Setiap orang seakan tak pernah berhenti membaca sosok “yang tak pernah mati” ini.
Berangkat dari situlah MN. Ibad dan Akhmad Fikri AF membaca Gus Dur sebagai living text. Melalui karya yang berjudul Bapak Tionghoa Indonesia, penulis menempatkan kharisma Gus Dur sebagai figur yang humanistik. Gus Dur adalah pembela kaum minoritas, khususnya etnis Tionghoa yang terdiskriminasi baik secara struktural maupun kultural di setiap rezim yang berkuasa. Pada masa rezim kolonial, keturunan Tionghoa menjadi korban politik de vide et impera, sebagai kelompok Timur Asing bersama Arab dan India. Ini akibat persaingan dagang dan besarnya pengaruh keturunan Tionghoa, sehingga dengan politik tersebut Belanda berharap dapat mengadu domba antara masing-masing kelompok (h.58).
Pasca Kemerdekaan, diskriminasi terhadap etnis Tionghoa masih terus berlanjut. Kebijakan politik rezim Orde Lama yang dikenal dengan sistem Benteng (awal 1950) telah membonsai kreativitas etnis Tionghoa, baik pada ranah politik, budaya dan ekonomi. Mereka dilarang untuk melakukan bisnis ekspor-impor dan melakukan perdagangan secara eceran. Pada masa ini mereka berada pada posisi yang selalu dicurigai sebagai kaki tangan Tiongkok yang Komunis (h.68-69). Kebebasan keturunan etnis Tionghoa masih terus dikebiri oleh pemerintah rezim Orde Baru dengan menerapkan penggunaan istilah dikotomi pribumi dan non pribumi. Kebijakan Inpres No. 14 Tahun 1967 telah melarang semua bentuk ekspresi keagamaan dan adat Tionghoa di ruang publik. Kondisi-kondisi inilah yang menyulut api sentimen pribumi vs Tionghoa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang akhirnya memuncak pada kerusuhan Mei 1998.
Barulah angin segar mulai menyapa keturunan etnis Tionghoa setelah Gus Dur menduduki tampuk kepemimpinan RI pasca Reformasi. Dengan wawasan kebangsaan Gus Dur mencabut semua peraturan yang mendiskriminasikan kaum Tionghoa dengan mengeluarkan PP. No. 6 Tahun 2000. Bahkan, Gus Dur memberikan apresiasi dengan menjadikan tahun baru Imlek sebagai hari libur Nasional, sebagaimana hari raya agama-agama lainnya. Inilah wujud keberpihakan Gus Dur terhadap eksistensi etnis Tionghoa. Menurut Gus Dur, etnis Tionghoa adalah sama dengan etnis-suku bangsa yang lain, seperti Jawa, Batak, Papua, Arab, India, Jepang dan Eropa yang sudah sejak lama hidup dan menjadi bagian dari warga negara Indonesia.
Kiprah dan perjuangan Gus Dur yang berpihak kepada kaum minoritas Tionghoa inilah yang menjadi standing point dalam buku ini. Penulis mengungkap raison d’etre di balik ketokohan seorang Gus Dur sebagai payung semua bangsa. Perjuangan Gus Dur dibaca oleh penulis sebagai beyond symbol yang membela hak-hak kaum minoritas. Jihad kebangsaan Gus Dur ini didasari oleh pemikiran ke-Islamannya yang universal, toleran dan pluralis. Ketiganya bagi Gus Dur adalah muatan dari ajaran Islam yang mengedepankan kepedulian terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan keterbukaan yang penuh kearifan dari peradaban. Atas dasar inilah Gus Dur melakukan pembelaan terhadap ketidakadilan yang menimpa komunitas Tionghoa.
Sikap ini juga didasari oleh referensi historis mengenai keterlibatan komunitas kaum Tionghoa dalam memperjuangkan kemerdekaan demi perkembangan kehidupan di bumi Nusantara. Bahkan, sejak masa Sriwijaya dan perkembangan dunia Islam Nusantara hingga sekarang tak lepas dari perjuangan para mubaligh Tionghoa (h.41). Di dalam buku ini penulis memaparkan secara kronologis mengenai persinggungan peran etnis Tionghoa dengan sejarah tegak berdirinya Republik Indonesia. Ini harus menjadi dasar untuk menjamin hak-hak etnis Tionghoa, memberi ruang kebebasan beragama, menjaga dan mengembangkan tradisi-budaya mereka serta diberi tempat dalam ranah politik. Bagi Gus Dur, orang-orang Tionghoa yang di negeri asal dianggap sebagai perantau (Hoa Kiauw), di negeri ini menganggap diri dan diterima sebagai warga negara dan memiliki hak-hak yang sama dengan warga yang lain, karena mereka lahir di negeri ini dan menjadi warga negara, sehingga sepatutnya juga dikenal sebagai “penduduk asli” seperti yang lainnya pula (h.88).
Berkat jihad kebangsaannya inilah, Gus Dur menjadi tokoh pilihan yang pantas menyandang gelar Bapak Tionghoa Indonesia. Membaca buku ini seakan merengkuh kenikmatan tersendiri (the pleasure of the text), memberikan wawasan keteladanan pergaulan bagi siapa saja yang sampai hari ini masih merindukan kehidupan yang ramah dan damai dalam bingkai kebhinekaan Indonesia. Terlebih ketika kekerasan horisontal berbasis minoritas-mayoritas semakin telanjang dimainkan secara episodik dalam skenario demokrasi di republik ini.