Jumat, 23 November 2012

Empat Polisi Terindikasi Siksa Sun An dan Ang Ho

MEDAN, KOMPAS.com - Hasil pemeriksaan dan konfrontasi yang dilakukan Irwasum, Irwasda, Kompolnas, tim medis dari Polda Sumut, dan kuasa hukum Sun An dan Ang Ho, diduga telah terjadi penyimpangan dalam bentuk penangkapan, penggeledahan, penyiksaan, dan pelecehan seksual yang dilakukan empat oknum polisi. Keempatnya adalah Kombes Pol Tagam Sinaga yang sebelumnya menjabat Kapolresta Medan, AKP Ronald F.C Sipayung selaku Kanit Ranmor Polresta Medan, Aiptu Baharuddin dan Bripka Rahmad Ginting sebagai penyidik pembantu Polresta Medan.
"Saat konfrontasi di rutan tadi, Tagam Sinaga tidak datang dengan alasan yang tidak jelas. Seharusnya dia datang karena dialah yang paling bertanggung jawab. Saya melihat banyak kejadian yang terindikasi spekulasi polisi, tapi dibantah oleh Kasat Reskrim Poltabes Medan dengan alasan bagian dari penyidikan yang tidak bisa diungkap ke publik," kata kuasa hukum Sun An dan Ang Ho, Edwin Partogi didampingi Divisi Advokasi Hukum dan HAM Kontras Jakarta, Bustami Arifin di Medan, Jumat (23/11/2012).

Menurut Edwin, istri Sun An, Sia Kim Tui juga sudah melaporkan keempat polisi tersebut ke Propam Polda Sumut dengan Nomor : STPL/274/X/2012/YANDUAN di Jakarta pada 10 Oktober lalu. Surat yang ditandatangani Katim III Sentra Pelayanan Propam, Eddy Salfian berisi pelanggaran ketidakprofesionalan penyidikan dan tindakan arogansi polisi.

Menurutnya, ada yang lucu pada pengaduan ini. Beni dari Propam menghubungi istri Sun An menanyakan lokasi pemeriksaan apakah di Jakarta atau Medan, tapi akomodasinya ditanggung pelapor. "Dia juga kontak saya dan minta Kamis pas liburan kemarin diundang ke Jakarta. Lucu, kasus yang sudah di-Propam-kan saja masih mau dikapitaliskan," kata Edwin.

Sementara itu, Kontras mengatakan bahwa pihaknya akan tetap mengawasi dan mendorong pengusutan penyimpangan kasus ini sehingga terbuka dan diketahui publik. "Kita minta Irwasum dan Propam Polda Sumut harus memperbaiki internalnya. Pengawasan dari mereka lah yang bisa menjadi pelajaran ke depannya. Soal pengusutan ini akan membuka borok institusi, itu kesalahan individu. Tetap harus diproses. Kita perlu transparansi, publik harus tahu apa yang dilakukan polisi," kata Bustami.

Untuk diketahui, Sun An dan Ang Ho menjadi terpidana atas dugaan pembunuhan terhadap pasangan suami isteri, Kwito dan Dora Halim pada 29 Maret 2011 tahun lalu di Medan, Sumut. Selama proses hukum, didapati sejumlah keganjilan seperti penyiksaan oleh polisi saat proses pemeriksaan (BAP). Polisi dinilai memaksakan keterangan kepada kedua terpidana untuk mengakui sebagai pelaku dan otak pembunuhan.

Proses hukum juga berjalan sangat cepat, dan ada upaya pemerasan oleh penyidik kepada keluarga. Persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Medan dilakukan tanpa menghadirkan dan membuktikan pelaku lapangan maupun hasil Labfor uji balistik. Setelah sejumlah proses hukum yang tidak layak, kasus dan berkasnya diajukan ke MA pada 19 September lalu.

Pasca-diterima MA, Edwin mencatat terdapat sejumlah keganjilan. Contohnya, pada 1 November lalu MA menginformasikan lewat website-nya bahwa perkara Sun An dan Ang Ho telah diputus. "Anehnya, saat itu tidak ada info tentang tanggal dan amar putusannya. Pihak MA tidak dapat menjelaskan ketidaklengkapan info perkara ini. Baru pada pukul 5 sore di hari yang sama informasi perkara ini dilengkapi," kata Edwin lagi.

Kemudian, berkas perkara didistribusikan ke tiga hakim agung MA pada 19 September 2012, dan dalam kurun waktu 1 bulan pada 18 Oktober 2012 telah diputus (No. 1446 K dan 1448 K). Ini tentu suatu proses cepat yang patut diapresiasi bila MA berkomitmen untuk secara umum memutus perkara dengan cepat dan mencegah penunggakan perkara. Namun Edwin tidak yakin itu karena faktanya, ketiga hakim tersebut masih mempunyai tunggakan perkara yg belum diputus dalam dua tahun terakhir.

"Timbul pertanyaan, mengapa kasus bisa diputuskan begitu cepat tanpa memperhatikan buruknya proses hukum kasus ini, salah satunya, tidak ada pelaku lapangan pembunuhan?" tanyanya. Edwin menilai beberapa keganjilan ini patut untuk diselidiki lebih jauh.

Hingga hari ini pihaknya sudah melapor ke Komnas HAM soal penyiksaan dan praktik buruk peradilan, Propam Polri, Wantimpres dan UKP4 dan Ombudsmen. Sayangnya mekanisme koreksi ini tidak menjadi pertimbangan proses hukum, terutama pada MA. Sepatutnya MA menunda proses hukum, mengingat ada banyak kejanggalan dan pelanggaran HAM dalam kasus ini. Terlebih kasus ini menunjukkan kembali buruknya pelayanan hukum di Indonesia oleh polisi.

"Ke depan, kami akan membawa kasus ini ke Komisi Yudisial dan meminta sejumlah institusi koreksi di atas untuk mengeluarkan hasilnya, agar bisa dijadikan novum oleh kuasa hukum dalam mengajukan Peninjauan Kembali sebagai upaya koreksi atas putusan MA yang pragmatis," tegas Edwin.

http://regional.kompas.com/read/2012/11/23/18291787/