TEMPO.CO, Jakarta - Bukan main senang hati Mutmainah ketika diberi cuti Lebaran oleh majikannya di Taiwan. Maklum, sudah tiga tahun ia tak pulang ke Tanah Air. Ia hendak mengunjungi rumah ibu angkatnya di Pasar Minggu, Jakarta selatan. Waktu itu bulan Agustus 2012. Mutmainah pulang dengan membawa pundi-pundi hartanya yang dikumpulkan selama bekerja dengan majikannya di Taiwan.
Apa daya, kegembiraan wanita asal Tegal itu harus sirna ketika tiba di Terminal 4 Bandara Soekarno Hatta. Mutmainah kaget ketika ia tak boleh pulang ke Pasar Minggu lantaran alamat yang tertera di KTP adalah di Tegal. (Baca:18 Orang Pemeras TKI Ditahan di Polda Metro Jaya)
Para petugas bandara langsung mengarahkannya untuk naik travel ke Tegal. "Ini pulangnya harus sesuai alamat, kalau mau ke tempat lain harus urus surat-surat dulu," ujar salah satu petugas pada Mutmainah.
Karena tak tahan ingin jumpa sang ibu angkat, Mutmainah menurut dan mengurus surat pindah kota tersebut dan diharuskan membayar untuk pengurusannya. Totalnya, ia harus merogoh kocek sebesar Rp 750 ribu hanya untuk perjalanan ke Pasar Minggu.
Kesialan Mutmainah tak hanya sampai di situ, para petugas kembali memaksanya untuk menukarkan uang. Untungnya, sebagian besar gajinya sudah ditransfer. Namun, teman-teman Mutmainah tak seberuntung dirinya, mereka dipaksa menukarkan uang ke money changer yang telah ditentukan petugas. (Baca:Anggota Polisi dan TNI AD Pemeras TKI di Bandara)
Bahkan, Mutmainah melihat temannya sampai diminta membuka celana oleh petugas yang mencari uang. Hati Mutmainah hancur dibuatnya, apalagi ia melihat petugas polisi yang diam saja.
Selain Polisi, Mutmainah juga melihat petugas Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia. Bukannya menghalangi praktek pemerasan itu, petugas BNP2TKI malah ikut mengarahkan para TKI.
Setelah menunggu dari jam 4 pagi dan mengurus berbagai dokumen, akhirnya Mutmainah pulang juga ke Pasar Minggu. Ia mengira kesialannya akan selesai begitu tiba di rumah ibu angkatnya. Ternyata harapan Mutmainah kandas. Begitu mobil travel hampir sampai di tujuan, sang sopir meminta Mutmainah bersiap dan pindah duduk ke depan.
Ternyata, sang sopir tak mau ketinggalan memeras pejuang devisa ini. "Mbak, kan dari luar negeri, banyak uang. Bolehlah kita dibagi buat sedekah," ujar sang sopir. Sudah lelah dengan pengalamannya seharian, Mutmainah langsung menyodorkan Rp 100 ribu. Anehnya, sopir itu tak puas dan terus meminta tambahan 'sedekah'. Uang MUtmainah sebanyak Rp 300 ribu berpindah ke tangan supir.
Praktek pemerasan itu ternyata terulang kembali setahun kemudian. Saat itu Mutmainah pulang setelah bekerja di Kuala Lumpur, Malaysia. Dua kali diperas di negeri sendiri bikin Mutmainah trauma.
Belakangan, Mutmainah memutuskan untuk melaporkan praktek pemerasan yang dialaminya ke Migrant Care, Kementerian Luar Negeri, dan Kementerian Hukum dan HAM. Namun tak ada kelanjutannya, hingga ia menonton berita hari ini, Sabtu, 26 Juli 2014 yang menayangkan inspeksi mendadak Komisi Pemberantasan Korupsi di terminal 4 Bandara Soekarno-Hatta.
Mutmainah tentunya senang akhirnya pemeresan di Bandara terungkap namun ia tetap menyayangkan lambatnya penanganan kasus ini. "Kenapa baru sekarang?" ujar Mutmainah.
https://id.berita.yahoo.com/kisah-mutmainah-korban-pemerasan-di-soekarno-hatta-083834664.html
Para petugas bandara langsung mengarahkannya untuk naik travel ke Tegal. "Ini pulangnya harus sesuai alamat, kalau mau ke tempat lain harus urus surat-surat dulu," ujar salah satu petugas pada Mutmainah.
Karena tak tahan ingin jumpa sang ibu angkat, Mutmainah menurut dan mengurus surat pindah kota tersebut dan diharuskan membayar untuk pengurusannya. Totalnya, ia harus merogoh kocek sebesar Rp 750 ribu hanya untuk perjalanan ke Pasar Minggu.
Kesialan Mutmainah tak hanya sampai di situ, para petugas kembali memaksanya untuk menukarkan uang. Untungnya, sebagian besar gajinya sudah ditransfer. Namun, teman-teman Mutmainah tak seberuntung dirinya, mereka dipaksa menukarkan uang ke money changer yang telah ditentukan petugas. (Baca:Anggota Polisi dan TNI AD Pemeras TKI di Bandara)
Bahkan, Mutmainah melihat temannya sampai diminta membuka celana oleh petugas yang mencari uang. Hati Mutmainah hancur dibuatnya, apalagi ia melihat petugas polisi yang diam saja.
Selain Polisi, Mutmainah juga melihat petugas Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia. Bukannya menghalangi praktek pemerasan itu, petugas BNP2TKI malah ikut mengarahkan para TKI.
Setelah menunggu dari jam 4 pagi dan mengurus berbagai dokumen, akhirnya Mutmainah pulang juga ke Pasar Minggu. Ia mengira kesialannya akan selesai begitu tiba di rumah ibu angkatnya. Ternyata harapan Mutmainah kandas. Begitu mobil travel hampir sampai di tujuan, sang sopir meminta Mutmainah bersiap dan pindah duduk ke depan.
Ternyata, sang sopir tak mau ketinggalan memeras pejuang devisa ini. "Mbak, kan dari luar negeri, banyak uang. Bolehlah kita dibagi buat sedekah," ujar sang sopir. Sudah lelah dengan pengalamannya seharian, Mutmainah langsung menyodorkan Rp 100 ribu. Anehnya, sopir itu tak puas dan terus meminta tambahan 'sedekah'. Uang MUtmainah sebanyak Rp 300 ribu berpindah ke tangan supir.
Praktek pemerasan itu ternyata terulang kembali setahun kemudian. Saat itu Mutmainah pulang setelah bekerja di Kuala Lumpur, Malaysia. Dua kali diperas di negeri sendiri bikin Mutmainah trauma.
Belakangan, Mutmainah memutuskan untuk melaporkan praktek pemerasan yang dialaminya ke Migrant Care, Kementerian Luar Negeri, dan Kementerian Hukum dan HAM. Namun tak ada kelanjutannya, hingga ia menonton berita hari ini, Sabtu, 26 Juli 2014 yang menayangkan inspeksi mendadak Komisi Pemberantasan Korupsi di terminal 4 Bandara Soekarno-Hatta.
Mutmainah tentunya senang akhirnya pemeresan di Bandara terungkap namun ia tetap menyayangkan lambatnya penanganan kasus ini. "Kenapa baru sekarang?" ujar Mutmainah.
https://id.berita.yahoo.com/kisah-mutmainah-korban-pemerasan-di-soekarno-hatta-083834664.html
* www.ayojambi.com/