Selasa, 17 Februari 2015

Potret Kemiskinan Warga Tionghoa Di Jambi

 
 
 
JAMBI, ayojambi.com - Mereka tinggal di gubuk sederhana yang tidak ada pembatas ruangan. Yang ada hanya ruangan tempat tidur, sekaligus sebagai gudang untuk penyimpanan barang rongsokan dari hasil kerja sehari-hari mereka sebagai pemulung barang bekas dan sebuah "dapur" di luar gubuk [Lihat Foto: Potret Kemiskinan Warga Tionghoa].
Banyak warga keturunan Tionghoa yang hidup miskin di sekitar kota Jambi, mereka berbaur dengan masyarakat kampung yang mayoritas dari eknis melayu, tidak sedikit warga perkampungan memberikan bantuan maupun lindungan kepada warga tionghoa yang tidak mampu (miskin).

Dalam kemiskinan dan kesederhanaan itulah mereka akan "menikmati" malam pergantian tahun dalam sistem penanggalan Cina (imlek).

Perayaan Tahun Baru Imlek 2566 bagi mereka sungguh sederhana, untuk membeli alat sembahyang saja bagi mereka sangat sulit, ada sebagian rumah yang altar leluhur/ para suci dewa-dewi (kim sin) penuh dengan sarang laba-laba meupun debu-debu.

Kemiskinan, derita, dan kepapaan, itulah potret dari sebagian warga Tionghoa miskin di kawasan kota Jambi yang tidak terekspos oleh media. Yang sangat disayangi adalah perkumpulan sosial yang sering sembunyi-sembunyi memberi bantuan kepada warga miskin tanpa diketahui oleh media, pada hal dalam hal kemiskinan tidak perlu ditutup-tutupi, “Bagai mana pemerintah bisa tahu, bila ada warga Tinghoa yang miskin di kota Jambi?” bahkan banyak orang yang beranggapan bahwa orang-orang Tionghoa tidak ada yang miskin, pada hal mereka menyadari, bahwa ada warga Tionghoa lebih miskin dari kaum termiskin yang ada di kota Jambi, selama ini kesan yang ada dibenak kebanyakan orang.

Sebagai contoh, di kawasan Kecamatan Pasar Jambi (gang siku), terdapat seorang laki-laki yang tidak bisa berjalan, kemana - mana mesti mengesot, Kecamatan Jambi Timur, Jalan Pendawa, terdapat seorang laki-laki yang hidup sebatangkara tinggal bersama dengan tumpukan barang rongsokan. terus kawasan Broni, Kecamatan Telanaipura seorang istri dari etnis melayu mengurusi suaminya (etnis tionghoa) 7 tahun menderita stroke, wanita ini mesti urus suaminya sambil berjualan nasi di sekolahan, tak kalah derita adalah Tan Awi/Sarina (41), sejak usia 3 tahun Rina kena polio, sehingga 38 tahun hanya duduk di kursi rotan, bila hendak makan maupun membuang air besar/ kecil mesti menunggu ibunya pulang dari kerja mencuci pakaian.

Inilah makna Tahun Baru sejati, yakni ritual dan reuni keluarga. Menurut Franki dari Muda Mudi Khonghucu Jambi, jika ingin perayaan Imlek yang sejati, datanglah ke permukiman masyarakat Tionghoa miskin di perkampungan. Ini sudah terjadi pergeseran makna perayaan Imlek, yakni menjadi ajang foya-foya dan pameran kemewahan. Bahkan, ada paket pesta yang menelan biaya ratusan juta rupiah!

Kehidupan etnis Tionghoa di Jambi masih banyak yang memprihatinkan dan bahkan ada yang hidup lebih miskin dibanding etnis lainnya (Melayu).

Semoga kedepan tidak ada lagi yang mengira bahwa etnis Tionghoa secara ekonomi mapan semua, karena kenyataannya dilapangan banyak etnis Tionghoa hanya menjadi pemulung, tukang cuci pakaian, penjaga rumah walet, penjual kue keliling. (Romy)
* www.ayojambi.com/