Selasa, 25 Oktober 2016

Jangan Hangat-hangat Tahi Ayam

GENDERANG perang terhadap praktik pungutan liar (pungli) ditabuh Presiden Jokowi. Alhasil, Selasa pekan lalu Polda Metro Jaya menangkap enam tersangka pelaku dugaan pungli di Kementerian Perhubungan (Kemenhub). Sejak itu, operasi tangkap tangan (OTT) bagi pelaku pungli merebak hingga ke daerah. Maka ramai-ramailah lakukan OTT "dadakan".

Bahkan, Kapolda Sumsel Irjen Pol Djoko Prastowo turun ke lapangan dan menyamar menjadi warga sipil. Orang nomor satu di Polda Sumsel ini sengaja melakukan pelanggaran dan disetop anggota Polantas. Ia diberhentikan dan dibawa ke suatu tempat untuk diproses.
Disebutkan, oknum Satlantas tidak tahu kalau yang disetopnya adalah Kapolda Sumsel. Tapi Kapolda tidak menyebutkan identitas oknum polisi yang melanggar, namun yang jelas diinformasikan ada 10 oknum anggotanya ditindak lantaran tepergok pungli.

Sebetulnya jauh hari sebelum hiruk pikuk praktik pungli tersebut, Harian Tribun Jambi dalam terbitan perdananya sudah mengangkat kasus pungli yang dilakukan oknum sebuah institusi di Kota Jambi. Tribun Jambi terbitan Rabu 17 Maret 2010 itu memilih judul headline, "Pungli di Gerbang Kota".

Waktu itu pemberitaan menjadi trending topic, dan praktik pungli sempat "tiarap" walaupun setelah itu praktik pungli secara "kucing-kucingan" dilakukan.

Mengacu kepada literatur dan Wikipedia, pungli adalah pengenaan biaya di tempat yang tidak seharusnya biaya dikenakan atau dipungut. Kebanyakan pungli dipungut oleh oknum pejabat atau aparat. Kendati pungli termasuk ilegal dan digolongkan sebagai KKN, tetapi kenyataannya hal ini sudah mendarahdaging, seakan sulit diberantas.

Menurut hasil studi dari Pusat Studi Asia Pasifik Universitas Gadjah Mada bekerja sama dengan United State Agency for International Development (USAID) pada 2004, biaya pungli yang dikeluarkan para pengusaha di sektor industri manufaktur berorientasi ekspor saja, pertahun mencapai Rp 3 triliun.

Ini baru berbicara hanya di sektor industri manufaktur untuk ekspor. Belum lagi praktik-praktik pungli di jembatan timbang, pelabuhan, kantor Samsat, kantor pelayanan atau public service lainnya.

Aneh bin ajaib, dan rada lucu ya. Sejak Presiden Jokowi menyatakan perang terhadap pungli, dalam waktu relatif singkat banyak pejabat dan stakeholder dari kota hingga daerah seakan-akan berlomba menangkap pelaku pungli.

Timbul pertanyaan kenapa tidak dari dulu-dulunya melakukan gebrakan perang terhadap pungli. Kenapa mesti menunggu "action" dari Mr Presiden barulah berduyun-duyun bergerak berebut tebar pesona.

Tingkah pola pihak-pihak lakukan bersih-bersih terhadap pungli persis laksana badut. Ini justru membuat banyak pihak mencibir dan skeptis, sampai sejauh mana konsistensinya. Apakah ini cuma carmuk alias cari muka atau seperti kata pepatah hangat-hangat tahi ayam saja, setelah itu tidak jelas juntrungannya. Semoga tidaklah.

Tapi apapunlah alasannya, sejak Presiden tandatangani Perpres sebagai payung hukum Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Satgas Saber Pungli), membuat ngeri-ngeri sedap para pelaku pungli. Apalagi Satgas ini memiliki empat fungsi, yakni intelijen, pencegahan, sosialisasi, penindakan serta yustisi. Seperti diatur dalam Perpres, Satgas bisa lakukan OTT.

Sekarang kita nantikan sajalah action Satgas Saber Pungli yang baru saja dibentuk dan langsung dipantau Mr Presiden. Semoga efektif, dan mangkus memberantas praktik pungli yang sudah merajalela bikin sengsara rakyat di negeri ini. Satu hal lagi, kerja Satgas tidak berarti apa-apa kalau masyarakat diam. Artinya perlu sinergisitas masyarakat untuk memberantas "virus" yang bernama pungli. (*)

http://jambi.tribunnews.com/2016/10/25/jangan-hangat-hangat-tahi-ayam
* www.ayojambi.com/