JAMBI, KOMPAS.com - Sekitar 40 ekor gajah sumatera kembali memasuki perkebunan masyarakat Desa Tanjung Pucuk, Kecamatan Tujuh Koto, Kabupaten Tebo, Jambi. Masyarakat setempat terpaksa mengungsi karena ketakutan.
Sekretaris Desa Tanjung Pucuk Rebi Bustami , Jumat (22/10) mengatakan, konflik gajah ini telah berlangsung sejak empat bulan lalu. Gajah beberapa kali melintasi desa tersebut dan merusak kebun masyarakat . Dalam dua hari terakhir, kawanan gajah kembali masuk desa. Dengan belalainya, gajah mencabuti tanaman karet warga yang masih muda.
"Kondisi ini membuat warga yang tinggal di pondokan-pondokan dalam kebun karet mengungsi ke rumah warga lain yang berjarak lebih jauh. Ada sekitar 50 warga yang telah mengungsi dalam dua hari terakhir," ujar Rebi.
Menurut Rebi, warga sudah tidak berani lagi mengusir gajah. Pasalnya, pada sebulan sebelumnya satu warga tewas oleh amukan satwa liar ini. "Kami sekarang tidak berani lagi mengusir gajah, karena takut gajah ini akan semakin mengamuk," tuturnya.
Rebi menyatakan setidaknya 100 hektar kebun karet warga rusak akibat konflik gajah. Warga juga tidak berani lagi pergi ke kebun untuk menyadap getah karet. Akibatnya warga desa kehilangan sumber matapencahariannya saat ini.
"Kami hanya dapat bertahan hidup dari sumber makanan yang masih tersisa, tapi itu tidak akan berlangsung lama," lanjutnya.
Rebi mengatakan, pihaknya telah mengadukan masalah ini ke aparat pemerintah baik di Dinas Kehutanan maupun Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Provinsi Jambi. Namun demikian belum ada upaya yang berarti untuk mengatasi konflik gajah ini.
Anggota Tim Mitigasi Konflik Gajah dari Frankfurt Zoological Society Alber Tetanus mengatakan, upaya penghalauan gajah dengan menggunakan meriam karbit sudah beberapa kali dilakukan bersama masyarakat.
Akan tetapi, upaya ini tidak mampu mengusir gajah keluar dari wilayah desa, karena nyatanya gajah kembali lagi melintasi kawasan ters ebut. Aber mengaku kesulitan dalam mengusir gajah di Desa Tanjung Pucuk ini karena minimnya jumlah relawan.
"Sebelumnya masyarakat sering membantu tetapi sekarang tinggal tim kami yang hanya beranggotakan empat orang yang mengusir gajah. Sedangkan gajah yang dihadapi ada 40-an ekor. Bantuan dari pemerintah sangat dibutuhkan," tutur Aber.
Kepala BKSDA Provinsi Jambi Tri Siswo mengatakan pihakanya telah mengirimkan satu tim ke lokasi kejadian untuk menghalau gajah. Konflik gajah dengan manusia ini terjadi karena banyaknya semakin sempitnya habitat gajah akibat alih fungsi hutan menjadi perkebunan.
"Dalam menyelesaikan konflik gajah ini kami sebenarnya bermaksud menggiring gajah ke wilayah Taman Nasional Bukit Tigapuluh. Namun, langkah ini terhambat karena masalah dana," ujar Tri.
http://regional.kompas.com/read/2010/10/22/20142078/
Sekretaris Desa Tanjung Pucuk Rebi Bustami , Jumat (22/10) mengatakan, konflik gajah ini telah berlangsung sejak empat bulan lalu. Gajah beberapa kali melintasi desa tersebut dan merusak kebun masyarakat . Dalam dua hari terakhir, kawanan gajah kembali masuk desa. Dengan belalainya, gajah mencabuti tanaman karet warga yang masih muda.
"Kondisi ini membuat warga yang tinggal di pondokan-pondokan dalam kebun karet mengungsi ke rumah warga lain yang berjarak lebih jauh. Ada sekitar 50 warga yang telah mengungsi dalam dua hari terakhir," ujar Rebi.
Menurut Rebi, warga sudah tidak berani lagi mengusir gajah. Pasalnya, pada sebulan sebelumnya satu warga tewas oleh amukan satwa liar ini. "Kami sekarang tidak berani lagi mengusir gajah, karena takut gajah ini akan semakin mengamuk," tuturnya.
Rebi menyatakan setidaknya 100 hektar kebun karet warga rusak akibat konflik gajah. Warga juga tidak berani lagi pergi ke kebun untuk menyadap getah karet. Akibatnya warga desa kehilangan sumber matapencahariannya saat ini.
"Kami hanya dapat bertahan hidup dari sumber makanan yang masih tersisa, tapi itu tidak akan berlangsung lama," lanjutnya.
Rebi mengatakan, pihaknya telah mengadukan masalah ini ke aparat pemerintah baik di Dinas Kehutanan maupun Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Provinsi Jambi. Namun demikian belum ada upaya yang berarti untuk mengatasi konflik gajah ini.
Anggota Tim Mitigasi Konflik Gajah dari Frankfurt Zoological Society Alber Tetanus mengatakan, upaya penghalauan gajah dengan menggunakan meriam karbit sudah beberapa kali dilakukan bersama masyarakat.
Akan tetapi, upaya ini tidak mampu mengusir gajah keluar dari wilayah desa, karena nyatanya gajah kembali lagi melintasi kawasan ters ebut. Aber mengaku kesulitan dalam mengusir gajah di Desa Tanjung Pucuk ini karena minimnya jumlah relawan.
"Sebelumnya masyarakat sering membantu tetapi sekarang tinggal tim kami yang hanya beranggotakan empat orang yang mengusir gajah. Sedangkan gajah yang dihadapi ada 40-an ekor. Bantuan dari pemerintah sangat dibutuhkan," tutur Aber.
Kepala BKSDA Provinsi Jambi Tri Siswo mengatakan pihakanya telah mengirimkan satu tim ke lokasi kejadian untuk menghalau gajah. Konflik gajah dengan manusia ini terjadi karena banyaknya semakin sempitnya habitat gajah akibat alih fungsi hutan menjadi perkebunan.
"Dalam menyelesaikan konflik gajah ini kami sebenarnya bermaksud menggiring gajah ke wilayah Taman Nasional Bukit Tigapuluh. Namun, langkah ini terhambat karena masalah dana," ujar Tri.
http://regional.kompas.com/read/2010/10/22/20142078/