Di barat Capgome dinilai sebagai pesta karnevalnya etnis Tionghoa, karena adanya pawai yang pada umumnya dimulai dari Klenteng. Nama Klenteng sekarang ini sudah dirubah orang menjadi Vihara yang sebenarnya merupakan sebutan bagi rumah ibadah agama Buddha.
Hal ini terjadi sejak pemerintah tidak mengakui keberadaannya agama Konghucu sebagai agama. Sedangkan sebutan nama Klenteng itu sendiri, bukannya berasal dari bahasa China, melainkan berasal dari bahasa Jawa, yang diambil dari perkataan "kelintingan" - lonceng kecil, karena bunyi-bunyiaan inilah yang sering keluar dari Klenteng, sehingga mereka menamakannya Klenteng. Orang Tionghoa sendiri menamakan Klenteng itu, sebagai Bio baca Miao
Capgome juga dikenal sebagai acara pawai menggotong joli Toapekong untuk diarak keluar dari Klenteng. Toapekong (Hakka=Taipakkung, Mandarin=Dabogong) berarti secara harfiah eyang buyut untuk makna kiasan bagi Dewa yang pada umumnya merupakan seorang kakek yg udah tua.
Capgome tanpa adanya barongsai dan liong (naga) rasanya tidaklah komplit. Tarian barongsay atau tarian singa yg juga dikenal dengan nama Shiwu. Sedangkan nama "barongsai" adalah gabungan dari kata Barong dlm bahasa Jawa dan Sai = Singa dalam bahasa dialek Hokkian. Singa menurut orang Tionghoa ini melambangkan kebahagiaan dan kegembiraan.
Ada dua macam jenis macam tarian barongsay yg satu lebih dikenal sebagai Singa Utara yang penampilannya lebih natural sebab tanpa tanduk, sedangkan Singa Selatan memiliki tanduk dan sisik jadi mirip dengan binatang Qilin.
Seperti layaknya binatang-binatang lainnya juga, maka barongsai juga harus diberi makan berupa Angpau yg ditempeli dengan sayuran selada air yang lazim disebut "Lay See". Untuk melakukan tarian makan laysee ini para pemain harus mampuan melakukan loncatan tinggi, sehingga ketika dahulu para pemain barongsai, hanya dimainkan oleh orang2 yg memiliki kemampuan silat - "Hokkian = kun tao" yang berasal dari bahasa Mandarin Quan Dao (Quan = tinju, Dao = jalan), tetapi sekarang lebih dikenal dgn kata Wu Shu, padahal artinya Wu Shu sendiri itu adalah seni menghentikan kekerasan.
Didepan barongsai selalu terdapat seorang penari lainnya yg menggunakan topeng sambil membawa kipas. Tokoh ini disebut "Sang badut" yg tugasnya sebagai pemandu untuk menggiring Barongsai ketempat yg ada angpauwnya.
Dahulu tarian barongsai adalah upacara ritual keagamaan untuk penolak bala, tetapi sekarang ada aliran modern yang tidak mengkaitkan dgn upacara keagamaan sama sekali, mereka menilai barongsai hanya sekedar asesories untuk nari atau media entertainment saja, seperti juga halnya dengan payung untuk tari payung, atau topeng dalam tarian topeng.
Barongsai sebenarnya sudah populer sejak zaman periode tiga kerajaan (Wu, Wei & Shu Han) tahun 220 - 280 Masehi. Pada saat itu ketika raja Song Wen sedang kewalahan menghadapi serangan pasukan gajah Raja Fan Yang dari negeri Lin Yi. Panglimanya yg bernama Zhing Que mempunyai ide yang jenius dengan membuat boneka-bonek singa tiruan untuk mengusir pasukan raja Fan. Ternyata usahanya itu berhasil sehingga sejak saat ini mulailah melegenda tarian barongsai tersebut hingga kini.
Tarian naga (liong) disebut "Lungwu" dalam bahasa Mandarin. Binatang mitologi ini selalu digambarkan memiliki kepala singa, bertaring serigala dan bertanduk menjangan.
Naga di China dianggap sebagai dewa pelindung, yg bisa memberikan rejeki, kekuatan, kesuburan dan juga air. Air di China merupakan lambang rejeki, karena kebanyakan dari mereka hidup dari bercocok tanam, maka dari itu mereka sangat menggantungkan hidupnya dari air. Semua kaisar di Cina menggunakan lambang naga, maka dari itu mereka duduk di singgasana naga, tempat tidur naga, dan memakai pakaian kemahkotaan naga. Orang China akan merasa bahagia apabila mendapatkan seorang putera yang lahir di tahun naga.
Kita bisa melihat apakah ini naga lambang dari seorang kaisar ataukah bukan dari jumlah jari di cakarnya. Hanya kaisar yg boleh menggunakan gambar naga dengan lima jari di cakarnya, sedangkan untuk para pejabat lainnya hanya 4 jari. Bagi rakyat biasa yang menggunakan lambang naga cakarnya hanya boleh memiliki 3 jari saja. Naga itu memiliki tiga macam warna, hijau, biru dan merah, dari warna naga tersebut kita bisa melihat kesaktiannya, merah adalah yang paling sakti.
Pada umumnya untuk tarian naga ini dibuatkan naga yg panjangnya sekitar 35 m dan dibagi dalam 9 bagian, tetapi untuk menyambut tahun baru millennium di China pernah dibuat naga yang panjangnya 3.500 meter dan dimainkannya di atas Tembok Besar China.
Terutama di Jakarta dan sekitarnya rasanya kurang komplit apabila arak-arakan Capgome ini tanpa di iringi oleh para pemain musik "Tanjidor" yg menggunakan instrument musik trompet, tambur dan bajidor (Bedug). Orkes ini sudah dikenal sejak abad ke 18. Konon Valckenier gubenur Belanda pada saat itu sudah memiliki rombongan orkes tanjidor yg terdiri dari 15 orang pemain musik. Tanjidor biasanya hanya dimainkan oleh para budak2, oleh sebab itulah musik Tanjidor ini juga sering disebut sebagai "Sklaven Orkest"
Sumber: Budaya Tionghoa http://www.confucian.me/profiles/blogs/serba-serbi-cap-go-meh
Hal ini terjadi sejak pemerintah tidak mengakui keberadaannya agama Konghucu sebagai agama. Sedangkan sebutan nama Klenteng itu sendiri, bukannya berasal dari bahasa China, melainkan berasal dari bahasa Jawa, yang diambil dari perkataan "kelintingan" - lonceng kecil, karena bunyi-bunyiaan inilah yang sering keluar dari Klenteng, sehingga mereka menamakannya Klenteng. Orang Tionghoa sendiri menamakan Klenteng itu, sebagai Bio baca Miao
Capgome juga dikenal sebagai acara pawai menggotong joli Toapekong untuk diarak keluar dari Klenteng. Toapekong (Hakka=Taipakkung, Mandarin=Dabogong) berarti secara harfiah eyang buyut untuk makna kiasan bagi Dewa yang pada umumnya merupakan seorang kakek yg udah tua.
Capgome tanpa adanya barongsai dan liong (naga) rasanya tidaklah komplit. Tarian barongsay atau tarian singa yg juga dikenal dengan nama Shiwu. Sedangkan nama "barongsai" adalah gabungan dari kata Barong dlm bahasa Jawa dan Sai = Singa dalam bahasa dialek Hokkian. Singa menurut orang Tionghoa ini melambangkan kebahagiaan dan kegembiraan.
Ada dua macam jenis macam tarian barongsay yg satu lebih dikenal sebagai Singa Utara yang penampilannya lebih natural sebab tanpa tanduk, sedangkan Singa Selatan memiliki tanduk dan sisik jadi mirip dengan binatang Qilin.
Seperti layaknya binatang-binatang lainnya juga, maka barongsai juga harus diberi makan berupa Angpau yg ditempeli dengan sayuran selada air yang lazim disebut "Lay See". Untuk melakukan tarian makan laysee ini para pemain harus mampuan melakukan loncatan tinggi, sehingga ketika dahulu para pemain barongsai, hanya dimainkan oleh orang2 yg memiliki kemampuan silat - "Hokkian = kun tao" yang berasal dari bahasa Mandarin Quan Dao (Quan = tinju, Dao = jalan), tetapi sekarang lebih dikenal dgn kata Wu Shu, padahal artinya Wu Shu sendiri itu adalah seni menghentikan kekerasan.
Didepan barongsai selalu terdapat seorang penari lainnya yg menggunakan topeng sambil membawa kipas. Tokoh ini disebut "Sang badut" yg tugasnya sebagai pemandu untuk menggiring Barongsai ketempat yg ada angpauwnya.
Dahulu tarian barongsai adalah upacara ritual keagamaan untuk penolak bala, tetapi sekarang ada aliran modern yang tidak mengkaitkan dgn upacara keagamaan sama sekali, mereka menilai barongsai hanya sekedar asesories untuk nari atau media entertainment saja, seperti juga halnya dengan payung untuk tari payung, atau topeng dalam tarian topeng.
Barongsai sebenarnya sudah populer sejak zaman periode tiga kerajaan (Wu, Wei & Shu Han) tahun 220 - 280 Masehi. Pada saat itu ketika raja Song Wen sedang kewalahan menghadapi serangan pasukan gajah Raja Fan Yang dari negeri Lin Yi. Panglimanya yg bernama Zhing Que mempunyai ide yang jenius dengan membuat boneka-bonek singa tiruan untuk mengusir pasukan raja Fan. Ternyata usahanya itu berhasil sehingga sejak saat ini mulailah melegenda tarian barongsai tersebut hingga kini.
Tarian naga (liong) disebut "Lungwu" dalam bahasa Mandarin. Binatang mitologi ini selalu digambarkan memiliki kepala singa, bertaring serigala dan bertanduk menjangan.
Naga di China dianggap sebagai dewa pelindung, yg bisa memberikan rejeki, kekuatan, kesuburan dan juga air. Air di China merupakan lambang rejeki, karena kebanyakan dari mereka hidup dari bercocok tanam, maka dari itu mereka sangat menggantungkan hidupnya dari air. Semua kaisar di Cina menggunakan lambang naga, maka dari itu mereka duduk di singgasana naga, tempat tidur naga, dan memakai pakaian kemahkotaan naga. Orang China akan merasa bahagia apabila mendapatkan seorang putera yang lahir di tahun naga.
Kita bisa melihat apakah ini naga lambang dari seorang kaisar ataukah bukan dari jumlah jari di cakarnya. Hanya kaisar yg boleh menggunakan gambar naga dengan lima jari di cakarnya, sedangkan untuk para pejabat lainnya hanya 4 jari. Bagi rakyat biasa yang menggunakan lambang naga cakarnya hanya boleh memiliki 3 jari saja. Naga itu memiliki tiga macam warna, hijau, biru dan merah, dari warna naga tersebut kita bisa melihat kesaktiannya, merah adalah yang paling sakti.
Pada umumnya untuk tarian naga ini dibuatkan naga yg panjangnya sekitar 35 m dan dibagi dalam 9 bagian, tetapi untuk menyambut tahun baru millennium di China pernah dibuat naga yang panjangnya 3.500 meter dan dimainkannya di atas Tembok Besar China.
Terutama di Jakarta dan sekitarnya rasanya kurang komplit apabila arak-arakan Capgome ini tanpa di iringi oleh para pemain musik "Tanjidor" yg menggunakan instrument musik trompet, tambur dan bajidor (Bedug). Orkes ini sudah dikenal sejak abad ke 18. Konon Valckenier gubenur Belanda pada saat itu sudah memiliki rombongan orkes tanjidor yg terdiri dari 15 orang pemain musik. Tanjidor biasanya hanya dimainkan oleh para budak2, oleh sebab itulah musik Tanjidor ini juga sering disebut sebagai "Sklaven Orkest"
Sumber: Budaya Tionghoa http://www.confucian.me/profiles/blogs/serba-serbi-cap-go-meh