Sabtu, 30 Maret 2013

Memberi Penghormatan Kepada Leluhur Di Hari Ceng Beng

JAMBI, ayojambi.com – Hari ini ratusan warga Tionghoa memadati pekuburan di paal 7 yang berlokasi di Jalan Kapten Pattimura, Kelurahan Rawasari, Kecamatan Kotabaru, mereka datang bersama keluarga untuk sembahyang Cheng Beng atau penghormatan kepada para leluhur yang tahun ini jatuh pada tanggal 4 April 2013, mereka datang dengan membawa berbagai perlengkapan sembahyang maupun aneka sesajian kesukaan orangtua (leluhur) .
Indonesia lebih dikenal sebagai Ceng Beng (bahasa Hokkien) adalah agenda tahunan etnis Tionghoa untuk bersembahyang atau ziarah ke kuburan orangtua maupun leluhur sesuai dengan agama masing.

Seperti keluarga besar Tanoto Bersaudara, pengusaha Hotel Novita Jambi, sejak pagi hari mereka mengunakan puluhan kendaraan mengangkut berbagai sesajian atau makanan kesukaan almarhum/ almarhumah orangtuanya, tidak ketinggalan mereka membawa berbagai asesoris kebutuhan arwah leluhur, seperti kebutuhan orang-orang hidup diatas duniawi.

Seperti, pakaian jadi, sepatu, rokok, radio, televisi, alat dapur, emas batangan dan paspor yang dikemas dalam bentuk karton tebal serta sesajin kesukaan orangtua/ leluhur, Ujar Tanoto Kusumah, “Kita kirimkan berbagai kebutuhan orangtua (leluhur) kita yang berada dialam baka, disana mereka juga memerlukan apa yang kita pakai sehari-hari di dunia”.

Ujar Tanoto Yacobes, sebagai anak kita memiliki kewajiban untuk memberi hormat kepada orangtua kita yang telah wafat dengan cara menyembahyangi,” imbuhnya.

Ceng Beng bagi masyarakat Tionghoa, adalah penghormatan kepada orangtua, baik kepada yang masih hidup maupun kepada yang sudah meninggal dunia, ini merupakan sebuah kebudayaan sejak jaman dahulu kala. Relasi antar manusia dalam tradisi Tionghoa tidak akan hilang begitu saja, meskipun kematian telah memisahkan orang dari kehidupan di dunia ini. Karena itu tidak heran kalau dalam setiap keluarga penghormatan kepada leluhur menjadi bagian penting dalam kehidupan bersama.

Orang yang tidak lagi menghormati leluhur yang telah meninggal dianggap sebagai seorang anak durhaka, sebab mereka melupakan asal usul dan jasa dari para pendahulunya, bahkan melupakan akar kehidupannya sendiri. (Romy)