Tampilkan postingan dengan label Qingming. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Qingming. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 06 April 2013

Suka Duka Bagi Penziarah Ceng Beng Di Jambi

JAMBI, ayojambi.com - Perayaan Ceng Beng 清明 adalah untuk membersihkan makam orangtua, sanak famili maupun leluhur, agar para arwah orangtua, keluarga, maupun leluhur yang telah tiada dapat merasa tentram dan istirahat di tempat terakhir dan sambil berdoa dan sembahyang sesuai agama kepercayaan serta sesuai dengan caranya masing-masing.
Tenyata berbagai kendala dapat ditemuikan para penziarah, karena setiap orang yang hendak melakukan ziarah, wajib membeli kupon yang bervariasi harganya, sesuai dengan besar kecilnya makam yang akan di ziarah, mulai dari ukuran makam besar (type A) seharga Rp. 100.000, makam sedang (type B) Rp. 75.000, dan makam kecil dari keluarga tidak mampu (type C) seharga Rp. 30.000, uang tersebut untk membiayai para pekerja membersihkan makam, para pekerja keamanan dan konsumsi panitia.

Namun masih ada biaya yang mesti dikeluarkan oleh para penziarah di makam, seperti para pembersih meminta uang tambahan, uang parkir permotor Rp. 5000 dan anak-anak yang meminta-minta kepada penziarah seusai orang sembahyang, belum lagi kalau mau tambah tanah permakan bisa dipungut Rp. 100.000 sampai dengan Rp. 200.000 sesuai dengan nego penziarah dengan pekerja.

Jika penziarah tidak memberikan, takutnya makam orangtua/ keluarga dirusak mereka, semestinya Yayasan yang mengelola TPU Masyarakat Tionghoa mesti tegas kepada para pungutan liar saat warga lakukan Ceng Beng :Ziara” di kuburan kilometer 7,5, yang terletak di Jalan Kapten Pattimura, Kelurahan Rawasari, Kecamatan Kotabaru, Kota Jambi.
Menurut panitia Ceng Beng, hal itu tidak mungkin bisa diawasi pihaknya (panitia), diharapkan agar warga yang lakukan ziarah Ceng Beng dapat memberikan toleransi kepada mereka, “Apa salah setahun sekali berikan sedikit uang kepada mereka’ Ujar Mulyadi.

Sedangkan menurut Acai penziarah, makam orangtuanya yang kecil, membayar Rp. 75.000, pada hal biasa dia (Acai) hanya membayar tiket sebesar Rp. 30.000 (type C), dibelakang nisan ditulis “C”.

Bagi masyarakat Tionghoa, penghormatan kepada orang tua, baik kepada yang masih hidup maupun kepada yang sudah meninggal, merupakan sebuah kebudayaan sejak jaman dahulu kala.

Relasi antar manusia dalam tradisi Tionghoa tidak akan hilang, meskipun kematian telah memisahkan orang dari kehidupan di dunia ini. Karena itu tidak heran kalau dalam setiap keluarga penghormatan kepada leluhur menjadi bagian penting dalam kehidupan bersama.

Orang yang tidak lagi menghormati leluhur yang telah meninggal dianggap sebagai seorang anak durhaka, sebab mereka melupakan asal usul dan jasa dari para pendahulunya, bahkan melupakan akar kehidupannya sendiri. Maka suka atau tidak dengan sangat terpaksa mereka penziara merogoh kantong untuk membayar kepada para pungutan liar daripada makam orangtuanya dirusak.!!! Sebagian lagi warga mengkremasikan tulang-tulang jasad orangtua mereka, lalu disemayamkan di Vihara.

Yang tak kalah hebat adalah, pendopo atau tempat untuk istirahat sementara masyarakat yang datang ziarah, namun sangat memperhatinkan, karena pendopo sudah tidak terbentuk lagi bangunannya. Ujar salah satu penziarah yang datang dari luar daerah, “Pendopo ini sangat memprihatinkan, dimana atapnya seperti bekas terbakar dan tidak memiliki toilet” katanya sambil berlalu didepan pendopo. (Romy)

Kamis, 04 April 2013

Hujan Tidak Menghalangi Keluarga Robin Sembahyang Ceng Beng Di Jambi

JAMBI, ayojambi.com – Hujan deras yang menguyuri Kota Jambi sejak dini hari, tidak menyuluti niat warga Tionghoa Kota Jambi melakukan Ziarah (ceng beng 清明) ke makam orangtua, keluarga meupun leluhur mereka yang dimakankan di Tempat Pemakaman Umum (TPU) masyarakat Tionghoa yang terletak dikawasan kilometer 7,5, Jalan Kapten Pattimura, Kelurahan Rawasari, Kecamatan Kotabaru, Kota Jambi. Mereka datang berziarah (ceng meng/qingming 清明) bersama istri dan anak, bahkan ada yang datang dari luar daerah/kota.
Bagi mereka tidak ada kata halangan untuk melakukan ziarah (ceng beng), dimanapun mereka berasa dan sesibuk apapun bagi mereka, setahun sekali mereka harus kembali ke kampung halaman untuk melakukan ziarah bersama di makam orangtua maupun sanak famili (leluhur) mereka.

Ziarah (ceng beng) merupakan salah satu sembahyang wajib bagi seluruh masyarakat Tionghoa untuk mengenang kembali kepada orangtua maupun leluhur dan memberikan penghormatan, baik kepada orangtua maupun para leluhur, prosesi sembahyang ceng beng dimulai dengan menyalakan sepasang lilin dan dupa, kemudian dilanjutkan dengan berlutut dan berdoa Tho Tie Kong (baca dewa Bumi). Setelah itu, barulah bersembahyang di makam leluhur atau orangtua dan berdoa didepan nisan.

Robin, salah seorang pengusaha dok kapal, PT. Naga Cipta Central pagi tadi bersama rombongan keluarga melakukan ziarah (ceng beng) tujuh makam leluhur yang dimakamkan secara terpisah.

Pada umumnya mereka datang membawa membawa aneka sesajian, diantaranya aneka jenis kue, buah-buahan dan makanan kesukaan almarhum-almarhumah, serta tidak ketinggalan membawa kertas sembahyang berwarna emas (kim cua) dan perak (gin cua) untuk untuk dibakar atau dikirim kepada leluhur.

Sedangkan dari pihak keluarga selalu memohon kepada orangtua/ leluhur agar diberikan berkah kesehatan, keselamatan dan keluarga aman sentosa, ada juga yang memanjatkan doa agar dipermudah rejeki dan dilancarkan usahanya, serta mendoakan arwah leluhur agar tenang dan bahagia di alam baka.

Setelah ziarah ke makam leluhur, keluarga besar Robin juga melakukan sembahyang di rumah masing-masing.

Tahun ini boleh dibilang cukup tertib dibanding tahun lalu, setiap kendara diatur sedemikian rupa agar jalan masuk mau keluar tidak mengalami macet total seperti tahun lalu.

Kata Mulyadi, “Tahun ini lebih bagus dari tahun lalu, karena tahun ini kita arahkan pintu utama untuk masuk kendaraan dan pintu dua, kita atur untuk keluar kendaraan,” tahun penziarah meningkat dibandingkan tahun lalu, pasalnya ceng beng tahun lebih bagus, maka yang datang berziarah hampir 70%. Total makam yang ada di TPU Masyarakat Tionghoa lebih kurang 6.000 makam. Kata Mulyadi (Romy)

Penghormatan Kepada Leluhur Di Hari Ceng Beng/ Qing Ming

JAMBI, ayojambi.com - Hari ini ratusan warga Tionghoa Jambi sejak pagi hari telah memadati tempat pemakaman umum (TPU) masyarakat Tionghoa di kilometer 7,5 yang berlokasi di Jalan Kapten Pattimura, Kelurahan Rawasari, Kecamatan Kotabaru, mereka datang bersama keluarga untuk sembahyang Ceng Beng/ Qing Ming (Ziarah) yang tahun ini jatuh pada tanggal 4 April 2013, mereka datang bersama keluarga dengan membawa berbagai perlengkapan sembahyang maupun aneka sesajian kesukaan orangtua (leluhur).

Keluarga besar Sukirman Johan, sejak pagi hari telah datang bersama ibunda, istri serta saudara-saudaranya, walaupun di kota Jambi sejak dini hari turun hujan deras, namun hujan tidak menulutkan niat mereka untuk mengunjungi makam orangtuanya untuk melakukan sembahyang Ceng Beng (Ziarah), sebelum prosesi Ceng Beng dilakukan, terlebih dahulu mereka bersih-bersihkan nisan dan pelataran makam, ada yang diatas makam diletakkan kertas sembahyang jenis perak (gin cua) dan emas (kim cua) maupun kertas kuning kecil memanjang, selanjutnya disekeliling makam dikasih bunga-bunga segar yang sengaja di taman sendiri ibunda Sukirman Johan.

Sukirman Johan bersama istri dan kakak-kakanya lakukan sembahyang bersama didepan nisan orangtuanya Tju Bun Cheng, diatas meja nisan tersedia berbagai sesajian kesukaan almarhum orangtuanya Sukirman Johan.

Sukirman Johon mengatakan, sembahyang kubur merupakan bentuk penghormatan kepada leluhur. “Setiap tahun, kita sekeluarga melakukan sembahyang di makam orangtua”, ungkapnya. (Romy)

Sabtu, 30 Maret 2013

Memberi Penghormatan Kepada Leluhur Di Hari Ceng Beng

JAMBI, ayojambi.com – Hari ini ratusan warga Tionghoa memadati pekuburan di paal 7 yang berlokasi di Jalan Kapten Pattimura, Kelurahan Rawasari, Kecamatan Kotabaru, mereka datang bersama keluarga untuk sembahyang Cheng Beng atau penghormatan kepada para leluhur yang tahun ini jatuh pada tanggal 4 April 2013, mereka datang dengan membawa berbagai perlengkapan sembahyang maupun aneka sesajian kesukaan orangtua (leluhur) .
Indonesia lebih dikenal sebagai Ceng Beng (bahasa Hokkien) adalah agenda tahunan etnis Tionghoa untuk bersembahyang atau ziarah ke kuburan orangtua maupun leluhur sesuai dengan agama masing.

Seperti keluarga besar Tanoto Bersaudara, pengusaha Hotel Novita Jambi, sejak pagi hari mereka mengunakan puluhan kendaraan mengangkut berbagai sesajian atau makanan kesukaan almarhum/ almarhumah orangtuanya, tidak ketinggalan mereka membawa berbagai asesoris kebutuhan arwah leluhur, seperti kebutuhan orang-orang hidup diatas duniawi.

Seperti, pakaian jadi, sepatu, rokok, radio, televisi, alat dapur, emas batangan dan paspor yang dikemas dalam bentuk karton tebal serta sesajin kesukaan orangtua/ leluhur, Ujar Tanoto Kusumah, “Kita kirimkan berbagai kebutuhan orangtua (leluhur) kita yang berada dialam baka, disana mereka juga memerlukan apa yang kita pakai sehari-hari di dunia”.

Ujar Tanoto Yacobes, sebagai anak kita memiliki kewajiban untuk memberi hormat kepada orangtua kita yang telah wafat dengan cara menyembahyangi,” imbuhnya.

Ceng Beng bagi masyarakat Tionghoa, adalah penghormatan kepada orangtua, baik kepada yang masih hidup maupun kepada yang sudah meninggal dunia, ini merupakan sebuah kebudayaan sejak jaman dahulu kala. Relasi antar manusia dalam tradisi Tionghoa tidak akan hilang begitu saja, meskipun kematian telah memisahkan orang dari kehidupan di dunia ini. Karena itu tidak heran kalau dalam setiap keluarga penghormatan kepada leluhur menjadi bagian penting dalam kehidupan bersama.

Orang yang tidak lagi menghormati leluhur yang telah meninggal dianggap sebagai seorang anak durhaka, sebab mereka melupakan asal usul dan jasa dari para pendahulunya, bahkan melupakan akar kehidupannya sendiri. (Romy)

Ribuan Warga Tionghoa Merayakan Ceng Beng (Qing Ming)

JAMBI – Sejak dini hari, ribuan warga Tionghoa telah berdatangan ke tempat pemakaman umum (TPU) masyarakat Tionghoa di kilometer 7.5, mereka datang dengan berombongan ke kuburan untuk mengelar perayaan Ceng Beng atau berziara ke makam orangtua, keluarga maupun leluhur yang telah wafat, perayaan Ceng Beng untuk mengingatkan segala jasa-jasa almarhum-almarhumah dimasa lalu.

Perayaan Ceng Beng tahun tahun ini jatuh pada tanggal 4 April (Sa Swee Jie Se), pengertian Ceng Beng, adalah Ceng berarti bersih, Beng berarti terang. Dimana pada hari tersebut orang Tionghoa melakukan ziarah ke makam orangtua maupun leluhur mereka, dengan membersihkan makam, berdoa dan sembahyang sesuai agama kepercayaan dan dengan caranya masing-masing. Diatas makam diletakkan kertas kuning kecil memanjang maupun kertas sembahyang lainnya.

Minggu (31/3-2013), sejak dini hari, berduyun-duyun warga Tionghoa pada berdatangan ke pemakaman km 7 yang terletak di Jalan Pattimura, kelurahan Rawasari, kecamatan Kotabaru, Kota Jambi. Tahun ini terlihat lebih ramai dari tahun kemarin, pasalnya menurut beberapa warga yang berziarah, tahun ini bagus untuk berziarah.

Tampak yang datang berziarah, diantaranya tokoh tenganai masyarakat Tionghoa Lie Tiong Lam (Ramli) beserta keluarga datang dari Singapure, Pengusaha perhotelan Tanoto Kusumah (Tan Wan Kheng), Tanoto Yacobes (Jakarta) beberapa saudaranya segaja datang dari Singapure, selanjutnya Cucu dan Cicit Tjoa The Hok yang sengaja datang dari Jawa Timur (Surabaya) dan Jakarta. (Romy)

Rabu, 04 April 2012

Ceng Beng Penghormatan Kepada Leluhur

JAMBI – Hari ini ratusan warga Tionghoa sejak pagi hari telah memadati pekuburan di pal 7 yang berlokasi di Jalan Kapten Pattimura, Kelurahan Rawasari, Kecamatan Kotabaru, mereka datang bersama keluarga untuk sembahyang Cheng Beng yang tahun ini jatuh pada tanggal 4 April 2012, mereka datang dengan membawa berbagai perlengkapan sembahyang maupun aneka sesajian kesukaan orangtua (leluhur).

Indonesia lebih dikenal sebagai Ceng Beng (bahasa Hokkien) adalah agenda tahunan etnis Tionghoa untuk bersembahyang atau ziarah ke kuburan orangtua maupun leluhur sesuai dengan agama masing.
Seperti keluarga besar Sukirman Johan, sejak pagi hari telah datang bersama ibunda, istri dan saudara-saudaranya, mereka datang ke makam orangtuanya untuk melakukan sembahyang Ceng Beng (Ziarah), sebelum prosesi Ceng Beng dilakukan, terlebih dahulu mereka bersih-bersihkan nisan dan pelataran makam, ada yang diatas makam diletakkan kertas sembahyang jenis perak (gin cua) dan emas (kim cua) maupun kertas kuning kecil memanjang, selanjutnya disekeliling makam dikasih bunga-bunga segar yang sengaja di taman oleh ibunda Sukirman Johan.

Sebelum Sukirman Johan sembahyangi orangtuanya, terlebih dahulu ibunda Sukirman melakukan sembahyang di depan nisan suaminya (ayah Sukirman Johan, Tju Bun Cheng), sehabis itu, baru Sukirman Johan bersama istri dan kakak-kakanya lakukan sembahyang bersama. Diatas meja nisan tersedia berbagai sesajian kesukaan almarhum Tju Bun Cheng (orangtua Sukirman Johan). Sukirman Johon mengatakan, sembahyang kubur merupakan bentuk penghormatan kepada leluhur. “Setiap tahun, kita sekeluarga melakukan sembahyang di makam orangtua”, ungkapnya, Rabu (4/4).

Selanjutnya tambah Sukirman Johan, “Sebagai seorang anak, kita mempunyai kewajiban untuk memberikan penghormatan kepada orangtua (leluhur) kita yang telah mendahului kita,” bagaimanapun tanpa adanya mereka (orangtua) mustahir kita bisa ada di dunia ini, maka kita pergunakan waktu Ceng Beng untuk berziarah. Ceng Beng bagi masyarakat Tionghoa, adalah penghormatan kepada orangtua, baik kepada yang masih hidup maupun kepada yang sudah meninggal dunia, ini merupakan sebuah kebudayaan sejak jaman dahulu kala. Relasi antar manusia dalam tradisi Tionghoa tidak akan hilang begitu saja, meskipun kematian telah memisahkan orang dari kehidupan di dunia ini. Karena itu tidak heran kalau dalam setiap keluarga penghormatan kepada leluhur menjadi bagian penting dalam kehidupan bersama. Di beberapa negara di Asia, peringatan Ceng Beng dianggap sangat penting artinya dan diperingati sebagai hari libur nasional selama beberapa hari.

Selain perayaan Tahun Baru Imlek, Ceng Beng adalah tradisi penting bagi masyarakat tionghoa, karena pada masa inilah seluruh anggota keluarga berkumpul bersama menghormat dan memperingati leluhur mereka. Orang yang tidak lagi menghormati leluhur yang telah meninggal dianggap sebagai seorang anak durhaka, sebab mereka melupakan asal usul dan jasa dari para pendahulunya, bahkan melupakan akar kehidupannya sendiri. (Romy)

Ceng Beng Memberi Penghormatan Kepada Leluhur


JAMBI – Hari ini ratusan warga Tionghoa memadati pekuburan di pal 7 yang berlokasi di Jalan Kapten Pattimura, Kelurahan Rawasari, Kecamatan Kotabaru, mereka datang bersama keluarga untuk sembahyang Cheng Beng atau penghormatan kepada para leluhur yang tahun ini jatuh pada tanggal 4 April 2012, mereka datang dengan membawa berbagai perlengkapan sembahyang maupun aneka sesajian kesukaan orangtua (leluhur).

Indonesia lebih dikenal sebagai Ceng Beng (bahasa Hokkien) adalah agenda tahunan etnis Tionghoa untuk bersembahyang atau ziarah ke kuburan orangtua maupun leluhur sesuai dengan agama masing.

Seperti keluarga besar Robin pengusaha dok kapal Apeng, sejak pagi hari mereka mengunakan puluhan kendaraan mengangkut berbagai sesajian atau makanan kesukaan almarhum/ almarhumah dan puluhan karung kertas sembahyang, tidak ketinggalan berbagai asesoris kebutuhan arwah, seperti kebutuhan orang-orang hidup diatas dunia.

Seperti, pakaian jadi, sepatu, rokok, radio, televisi, alat dapur, emas batangan yang dikemas dalam bentuk karton tebal serta sesajin kesukaan orangtua/ leluhur, Ujar Robin, “Kita kirimkan berbagai kebutuhan orangtua (leluhur) kita yang berada dialam baka, disana mereka juga memerlukan apa yang kita pakai sehari-hari di dunia”.

Maka sebagai anak kita memiliki kewajiban untuk memberi hormat kepada orangtua/ leluhur yang telah wafat dengan cara menyembahyangi, imbuhnya.

Ceng Beng bagi masyarakat Tionghoa, adalah penghormatan kepada orangtua, baik kepada yang masih hidup maupun kepada yang sudah meninggal dunia, ini merupakan sebuah kebudayaan sejak jaman dahulu kala. Relasi antar manusia dalam tradisi Tionghoa tidak akan hilang begitu saja, meskipun kematian telah memisahkan orang dari kehidupan di dunia ini. Karena itu tidak heran kalau dalam setiap keluarga penghormatan kepada leluhur menjadi bagian penting dalam kehidupan bersama.

Orang yang tidak lagi menghormati leluhur yang telah meninggal dianggap sebagai seorang anak durhaka, sebab mereka melupakan asal usul dan jasa dari para pendahulunya, bahkan melupakan akar kehidupannya sendiri. (Romy)

Minggu, 01 April 2012

Ribuan Warga Tionghoa Ziarah Kuburan Leluhur (Ceng Beng/ Qingming)

JAMBI – Anak yang berbakti adalah anak yang tahu asal usulnya, anak yangh berbakti merupakan anak yang tahu mengurusi kedua orangtua, baik dimasa kedua orangtua masih hidup maupun telah meninggal, seperti dimasa orangtua masih hidup kita selaku anak berkewajiban untuk mengurusi segala keperluan orangtua, demikian juga bila orngtua kita telah wafat, kita juga memiliki kewajiban untuk melakukan pembersihan makamnya (tempat istirahat terakhir orangtua). Maka tidak heran, sejak matahari belum terbit, ribuan warga Tionghoa telah mndtangi tempat pemakaman masyarakat Tionghoa di pal 7, mereka datang ke kuburan pagi-pagi adalah untuk mengelar perayaan Qingming 清明 atau Ceng Beng dalam bahasa Hokkien. Ziarah makam sebagai bentuk penghormatan kepada orangtua, keluarga maupun leluhur mereka yang telah meninggalkan dunia.
Perayaan Ceng Beng “清明” tahun ini jatuh pada tanggal 4 April (Sa Swee Cap She imlek), pengertian Ceng Beng, adalah Ceng 清 berarti bersih, Beng 明 berarti terang. Dimana pada hari tersebut orang Tionghoa berziarah ke makam orangtua maupun leluhur mereka, dengan membersihkan makam, berdoa dan sembahyang sesuai agama kepercayaan dan dengan tata caranya masing-masing. Diatas makam diletakkan kertas kuning kecil memanjang. Minggu (1/4), sejak dini hari, berduyun-duyun warga Tionghoa mendatangi pemakaman km 7 yang terletak di Jalan Pattimura, kelurahan Rawasari, kecamatan Kotabaru, Kota Jambi. Tahun ini terlihat lebih ramai dari tahun kemarin, pasalnya menurut beberapa warga yang sengaja pung ke Jambi untuk berziarah, tahun ini bagus untuk berziarah.
Menurut catatan sejarah, Ceng Beng yang terdapat dua Openi : kisah pertama, mengisahkan seorang yang bernama Cu Guan Ciang (Zhu Yuan Zhang) pendiri dinasti Ming, ia lahir dari keluarga yang sangat miskin. Agar tidak mati kelaparan ia diserahkan oleh orang tuanya pada sebuah kuil untuk dipelihara. Pada suatu ketika Cu Guan Ciang menjadi raja, Cu Guan Ciang tidak mengetahui dimana letak makam leluhurnya, maka pada hari yang ditentukan, ia memerintahkan semua rakyat untuk melakukan berziarah dan sembahyang dimakam masing-masing leluhurnya dan memberi tanda dengan kertas kuning diatas makam tersebut sebagai makam leluhurnya. Maka pada makam yang tidak ada tanda-tanda kertas kuning itu dianggap Cu Guan Ciang adalah makam leluhurnya. Openi kedua yaitu, Sebenarnya tradisi Qing Ming itu sudah ada sejak jaman dahulu kala (sejak dinasti Zhou) dan awal mulanya adalah suatu upacara yang berhubungan dengan musim dan pertanian. Pertanda berakhirnya hawa (bukan cuaca) dingin dan mulainya hawa panas. Dan ada satu syair kuno yaitu "Sehari sebelum Qing Ming tidak ada api" atau yang sering disebut Han Se Jie. Ini menandakan Qing Ming adalah awal panas. Tapi selain itu juga menyangkut kisah Jie Zhi Tui yang mati terpanggang karena ulah Jin Wen Gong yang ingat akan budinya dan memaksa Jie keluar sedangkan Jie takut dibunuh oleh bekas junjungannya. Jie mati terbakar dalam posisi menutupi tubuh ibunya. Sejak itu Jin Wen Gong memakai bakiak dan mengganti nama gunung tempat Jie terbakar menjadi gunung Jie dan menguburnya di pohon Liu yang mati meranggas. Serta memerintahkan kepada seluruh rakyatnya agar pada 1 hari sebelum Qingming tidak menyalakan kompor sehingga rakyatnya memakan makanan yang dingin (Han Se). Pada hari akhir Ceng Beng, makam yang tidak diziarahi, maka panitia sembahyang diselenggarakan oleh panitia atau lembaga yang mengurusi tanah makam tersebut. Ziarah dimakam bisa dilakukan 10 hari sebelum dan 10 hari sesudah Ceng Beng 清明. (Romy)

Ribuan Warga Ziarah Ke Makam Leluhur

JAMBI - Empat hari menjelang perayaan Ceng Beng 清明(ziarah) yaitu Sa Gwee Cap She lunar kalender atau yang jatuh pada hari Rabu, tanggal 4 April 2012, berhubungan hari Rabu adalah hari kerja, maka pagi (1/4-2012) tadi, ribuan warga Tionghoa lakukan ziarah kemakam orangtua, keluarga maupun leluhur mereka.

Hasil pantauan dilapangan, sejak pukul 05.00 tempat pemakaman umum masyarakat Tionghoa di kilometer 7 yang terletak di Jalan Kapten Pattimura, Kelurahan Rawasari, Kecamatan Kotabaru telah dipadati berbagai jenis kendaran roda empat maupun roda dua, sehingga untuk masuk kedalam TPU kendaraan harus antrian.

Perayaan Ceng Beng 清明 adalah untuk membersihkan makam orangtua, sanak famili maupun leluhur, agar para arwah orangtua, keluarga, maupun leluhur yang telah tiada dapat merasa tentram dan istirahat di tempat terakhir dan sambil berdoa dan sembahyang sesuai agama kepercayaan serta sesuai dengan caranya masing-masing. Diatas makam diletakkan kertas kuning kecil memanjang, maupun perlengkapan sehari hari seperti pakaian, Minuman, rokok (bagi keluarga laki-laki), uang yang semuanya terbuat dari kertas selain itu juga terdapat berbagai sesajian diantaranya kue merah, bakpao, buah-buahan.

Tampak perayaan Ceng Beng 清明 kali ini lebih ramai dari tahun-tahun sebelumnya juga terlihat beberapa pengusaha sukses yang berziarah ke makam orangtua/ leluhur seperti keluarga besar Lie Tiong Lam, keluarga besar Tanoto Yacobes sampai cucu dan cicit Tjia The Hok dari generasi ke empat The Hok melakukan ziarah.

Menurut penuturan Panitia Ceng Beng, Mulyadi, catatan lama makam (kuburan) yang ada di kilo meter 7 Jalan Kapten Pattimura lebih kurang 5.000 lebih dengan luas tanah 21 hektar, namun ada makam yang dikremasikan oleh pihak keluarga, sedangkan yang melakukan ziarah pada hari minggu diperkirakan lebih dari seribu orang, karena hari itu adalah hari libur sehingga bagi orang yang bekerja maupun pedagang memiliki waktu.

Namun sangat disayangi, pendopo atau tempat untuk istirahat sementara masyarakat yang datang ziarah sangat-sangat memperhatinkan, sudah tidak terbentuk lagi bangunannya. Ujar salah satu penziarah yang datang dari luar daerah, “Pendopo ini sangat memprihatinkan, dimana atapnya seperti bekas terbakar dan tidak memiliki toilet” katanya sambil berlalu didepan pendopo. (Romy)