Sabtu, 06 April 2013

Suka Duka Bagi Penziarah Ceng Beng Di Jambi

JAMBI, ayojambi.com - Perayaan Ceng Beng 清明 adalah untuk membersihkan makam orangtua, sanak famili maupun leluhur, agar para arwah orangtua, keluarga, maupun leluhur yang telah tiada dapat merasa tentram dan istirahat di tempat terakhir dan sambil berdoa dan sembahyang sesuai agama kepercayaan serta sesuai dengan caranya masing-masing.
Tenyata berbagai kendala dapat ditemuikan para penziarah, karena setiap orang yang hendak melakukan ziarah, wajib membeli kupon yang bervariasi harganya, sesuai dengan besar kecilnya makam yang akan di ziarah, mulai dari ukuran makam besar (type A) seharga Rp. 100.000, makam sedang (type B) Rp. 75.000, dan makam kecil dari keluarga tidak mampu (type C) seharga Rp. 30.000, uang tersebut untk membiayai para pekerja membersihkan makam, para pekerja keamanan dan konsumsi panitia.

Namun masih ada biaya yang mesti dikeluarkan oleh para penziarah di makam, seperti para pembersih meminta uang tambahan, uang parkir permotor Rp. 5000 dan anak-anak yang meminta-minta kepada penziarah seusai orang sembahyang, belum lagi kalau mau tambah tanah permakan bisa dipungut Rp. 100.000 sampai dengan Rp. 200.000 sesuai dengan nego penziarah dengan pekerja.

Jika penziarah tidak memberikan, takutnya makam orangtua/ keluarga dirusak mereka, semestinya Yayasan yang mengelola TPU Masyarakat Tionghoa mesti tegas kepada para pungutan liar saat warga lakukan Ceng Beng :Ziara” di kuburan kilometer 7,5, yang terletak di Jalan Kapten Pattimura, Kelurahan Rawasari, Kecamatan Kotabaru, Kota Jambi.
Menurut panitia Ceng Beng, hal itu tidak mungkin bisa diawasi pihaknya (panitia), diharapkan agar warga yang lakukan ziarah Ceng Beng dapat memberikan toleransi kepada mereka, “Apa salah setahun sekali berikan sedikit uang kepada mereka’ Ujar Mulyadi.

Sedangkan menurut Acai penziarah, makam orangtuanya yang kecil, membayar Rp. 75.000, pada hal biasa dia (Acai) hanya membayar tiket sebesar Rp. 30.000 (type C), dibelakang nisan ditulis “C”.

Bagi masyarakat Tionghoa, penghormatan kepada orang tua, baik kepada yang masih hidup maupun kepada yang sudah meninggal, merupakan sebuah kebudayaan sejak jaman dahulu kala.

Relasi antar manusia dalam tradisi Tionghoa tidak akan hilang, meskipun kematian telah memisahkan orang dari kehidupan di dunia ini. Karena itu tidak heran kalau dalam setiap keluarga penghormatan kepada leluhur menjadi bagian penting dalam kehidupan bersama.

Orang yang tidak lagi menghormati leluhur yang telah meninggal dianggap sebagai seorang anak durhaka, sebab mereka melupakan asal usul dan jasa dari para pendahulunya, bahkan melupakan akar kehidupannya sendiri. Maka suka atau tidak dengan sangat terpaksa mereka penziara merogoh kantong untuk membayar kepada para pungutan liar daripada makam orangtuanya dirusak.!!! Sebagian lagi warga mengkremasikan tulang-tulang jasad orangtua mereka, lalu disemayamkan di Vihara.

Yang tak kalah hebat adalah, pendopo atau tempat untuk istirahat sementara masyarakat yang datang ziarah, namun sangat memperhatinkan, karena pendopo sudah tidak terbentuk lagi bangunannya. Ujar salah satu penziarah yang datang dari luar daerah, “Pendopo ini sangat memprihatinkan, dimana atapnya seperti bekas terbakar dan tidak memiliki toilet” katanya sambil berlalu didepan pendopo. (Romy)