Kamis, 12 Februari 2015

Sejarah Imlek-Khonghucu

Ditulis oleh Kristan; Penulis adalah Ketua Umum Generasi Muda Khonghucu Indonesia(GEMAKU)
Tahun Baru Imlek bagi penganut Khonghucu merupakan hari raya keagamaan yang sangat penting, sakral dan bermakna. Karena jika ditinjau dari aspek sejarah, Imlek distandarisasi pertama kali pada zaman Dinasti Han (202 SM-220).
Berdasarkan perhitungan kelahiran Khonghucu 551 SM, hal ini bisa dilihat dari tahun Imlek yang jatuh pada saat ini adalah yang ke 2566 hitungan itu diambil dari 2015+551 = 2566. Sedangkan jika ditinjau dari aspek sosial kemasyarakatan makna Imlek adalah semangat bersyukur kepada Tuhan, semangat memperbaharui diri, kekeluargaan serta kebersamaan.

Klaim Imlek sebagai Tahun Baru orang Tionghoa adalah kenyataan yang tidak bisa dibantah, sebab begitulah kenyataannya. Hal ini juga berlaku bagi hari raya Cheng Beng, Pek Chun, Cap Go Meh dsb (yang jelas-jelas hari raya tersebut merupakan hari raya agama Khonghucu).

Namun menurut para ahli, kenyataan itu terinspirasi dari yang dikatakan William McNaughton, “Hal-hal yang diajarkan Khonghucu adalah peradaban yang berabad lamanya dipegang dengan sangat teguh oleh bangsa Tionghoa. Karena itu tak berlebihan jika dikatakan Tiongkok adalah Khonghucu. Begitu juga halnya, Khonghucu adalah Tiongkok (Paul Strathen, Confucius In 90 Minutes)”.

Tokoh Melayu
Seorang tokoh Melayu Tionghoa (Kwee Tek Hoay) menyatakan semua orang Tionghoa adalah Khonghucu, sebab sebelum Tiongkok menjadi Republik, agama Khonghucu/Konfusianisme merupakan sistem moralitas, kehidupan sosial-politik, dan religi seluruh masyarakat Tiongkok. Sehingga pengaruh Konfusianisme sangat mengakar dalam kehidupan orang Tionghoa sampai abad 21 ini.

Beberapa ahli Barat menyimpulkan Konfusianisme merupakan “state religion” bagi kerajaan Tiongkok kuno. Diakui atau tidak, Konfusianisme sangat mempengaruhi prilaku dan berpikir orang Jepang, Korea, Vietnam dsb. Korea di bawah Dinasti Chosun memproklamirkan sebagai “Negara Khonghucu”

Di Indonesia ada catatan tidak resmi yang menyatakan bahwa dahulu hampir semua orang Tionghoa di Indonesia adalah Khonghucu, hal ini diperkuat dengan adanya PerPres No 1/1965, Khonghucu diakui sebagai salah satu agama besar yang berperan pada sejarah perkembangan Indonesia sehingga mendapatkan perlakuan yang sama dengan agama yang lainnya.

Sebelum keluarnya Inpres No 14 Tahun 1967 yang diskriminatif itu, diterima atau tidak karena dikriminasi sosial dan birokrasi oleh Inpres itu menyebabkan banyak penganut Khonghucu yang eksodus. Mengutip Qurtuby dalam bukunya Arus Cina Islam Jawa “bahwa sejarah harus diungkap secara jujur, fairness dan terbuka meskipun terkadang pahit untuk dirasakan”.

Di Indonesia, Imlek secara nasional pertama kali diprakarsai oleh MATAKIN (Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia) dan diklaim sebagai hari raya agama Khonghucu. Karena memang Indonesia tidak pernah mengenal hari raya suatu golongan etnis tertentu.

Penetapan Imlek sebagai hari raya karena ada pengakuan Khonghucu sebagai satu agama yang diakui di Indonesia (sesuai sikap PBB terhadap agama Khonghucu/Confucianism) dan sejarah membuktikan diantara organisasi Tionghoa yang lain perlu diakui,  MATAKIN-lah pionir (dengan bantuan Gus Dur dan beberapa tokoh agama lain) sejak dahulu konsisten memperjuangkan persamaan hak-hak etnis Tionghoa dan agama Khonghucu pada khususnya walau dalam kukungan dan intimidasi rezim Orde Baru yang sangat diskriminatif itu.

Sekadar flash back ketika zaman Orde Baru Imlek dianggap sebagai suatu hal tabu dan menyesatkan yang harus dieliminasi keberadaanya. Sebagai contoh ketika Surjadi Sudirdja menjadi Gubernur Jakarta dikatakan bahwa Imlek dilarang dirayakan, Imlek hanya boleh dirayakan di rumah-rumah saja secara tertutup, hal ini diperkuat Direktur Urusan Agama Budha Depag Drs Budi Setyawan yang didasari oleh surat dari Dirjen Bimas Hindhu dan Budha Depag No H/BA.00/29/1/1993, di pelbagai surat kabar menyatakan larangan merayakan Imlek di Vihara dan Cetya.

Walubi melalui Dewan Pimpinan Pusatnya ikut mengeluarkan edaran No 07/DPP-WALUBI/KU/93, 11/01/93 menyatakan Imlek bukan hari raya Budha, sehingga Vihara Mahayana tidak boleh merayakan tahun baru Imlek dengan menggotong Toapekong, Barongsai dll. Pada masa itu bisa dikatakan semua fenomena yang mengidap culture shock itu berbondong-bondong menyerang Imlek.

Bahkan semua orang Tionghoa yang bukan beragama Khonghucu seolah memusuhi dan mejauhi Imlek. Namun dalam era reformasi kenyataan menyakitkan itu menjadi berbalik arah. Sekarang semua orang Tionghoa Indonesia mengklaim bahwa Imlek adalah sebagai hari raya tahun barunya.

Sumbangsih Nyata
Imlek kini adalah suatu perayaan besar milik dunia. Berdasar fakta ilmiah, Imlek lahir dan distandarisasi dinasti Han untuk menghargai jasa yang diberikan Khong Hu Cu pada masyarakat. Maka dari itu para sinolog barat menyebut Imlek dengan Anno Confuciani/AC (dihitung berdasarkan tahun kelahiran Khong Hu Cu) seperti halnya Anno Domini/AD (in the year of our lord)

Apapun itu, hendaknya tidak perlu dimasalahkan, atas nama kejujuran dan sportivitas perlu dicatat oleh sejarah secara benar dan konsekuen. Sebaiknya etnis Tionghoa Indonesia yang kini  mendapat hak-haknya dengan lebih baik perlu memberikan sumbangsih yang nyata bagi Indonesia tercinta.

Sebab sebagai orang Indonesia (menurut UU Kewarganegaraan yang baru), kini waktunya seluruh komponen bangsa bangkit bersama bersatu mengikis segala krisis yang kita alami di negeri ini, tanpa melihat asal-usul, golongan akan tetapi dengan melihat fenomena sebagai anak bangsa yang sedang mengalami kesusahan bersama sebagai saudara sebangsa dan se Tanah Air.

Karena demografi dan landscape politik sekarang ini sangatlah berbeda. Konsep kebangsaan lama yang terlalu menekankan homogenitas diatas keragaman tidak mengikuti irama zaman. Kebudayaan yang kita hadapi bukan cuma nasional tetapi juga multinasional. Konfigurasi kebudayaan Indonesia semakin mendekati konfigurasi kebudayaan dunia.

Indonesia menghadapi kenyataan makin berkembangnya kebudayaan Amerika, Eropa, Arab, Tiongkok, Jepang, Korea, India dsb. Keanekaan tak hanya antar suku bangsa, tetapi dengan kebudayaan bangsa lain. Jadi konsep kebangsaan zaman kini mungkin haruslah menjadi suatu konsep yang terbuka dan semakin menuju pada semangat internasionalisme yang merujuk pada perdamaian dunia

sebab seperti apa yang dikatakan Khong Hu Cu bahwa “Semua Manusia Adalah Bersaudara”. Karena Tuhan tidak pernah membedakan manusia, tidak ada seorangpun yang diistimewakan dan tidak ada suatu kaum yang ditinggikan diatas yang lainnya.

Dan bukankah Bung Karno pernah menegaskan bahwa Bhineka Tunggal Ika janganlah dilihat secara statis, melainkan harus diartikan secara dinamis. Kata beliau : Bhineka = das Sein yakni keadaan/ realitas yang ada, tetapi Tunggal Ika = das Sollen yakni tujuan yang kita cita-citakan bersama. Dan kita sedang berada di “das Sein” menuju “das Sollen” atau dalam rangka menuju nation building dari “persukuan” kita menuju “ke-Indonesia-an (wawasan kebangsaan) dan mungkin nanti menuju pada perdamaian dunia.

Harkat dan martabat seseorang berpulang pada diri masing-masing, tiap orang berpotensi selamat, karena setiap individu dianugerahi fitrah oleh Tuhan. Maka dari itu siapapun dapat menjadi orang yang bijak/ soleh/ al-ihsan/ tzun tze.

Bukan karena keanggotaan seseorang terhadap suatu institusi tetapi yang penting adalah pengalaman kualitas kemanusiaanya. Bukan pula banyak sedikitnya pengetahuan agama seseorang yang penting, melainkan ketulusan hati dan kesetiaanya kepada hal yang benar.

Semoga semangat Imlek dapat membawa kita menjadi individu yang baru dan senantiasa berbudi luhur sehingga dapat berguna bagi keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Shin Chun Khiong Hi. Shi Nian Khuai Le. Happy Anno Confuciani 2558

(Oleh Kristan; Penulis adalah Ketua Umum Generasi Muda Khonghucu Indonesia(GEMAKU) dan Kordinator Jaringan Tionghoa Muda Indonesia (JTM); http://15meh.blogspot.com/2008/03/sejarah-imlek-dan-khonghucu-di.html)-FatchurR

http://alumnimaterdei.com/iptek-yang-perlu/10919.html