Tampilkan postingan dengan label Ziarah Leluhur. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ziarah Leluhur. Tampilkan semua postingan

Senin, 02 April 2018

清明节旅居各地占碑华人回来祭拜先人

在占碑的华人多处墓园区,包括离城区7公里处的华人墓园及占碑华人义山墓园,在清明节前后,纷纷上祖坟祭拜先人,慎终追远,缅怀先辈 [Nonton Video: 清明节旅居各地占碑华人回来祭拜先人].

  在3月27日上午,占碑华社贤达已故李中南老先生长男李鸿章率家属,包括旅居海外家属等前往7公里华人墓园祭拜起曾祖父祖母。隔日也在3月28日前往占碑华人义山墓园祭拜起慈父。
  旅椰占碑育华多位校友也在31日动身赴占碑祭拜祖先或过世家人。
  李鸿章表示,清明祭祖已是华人的传统,尤其是占碑这座华人文化很浓的城市,虽然城市的青壮年一占了少数,多办在外读书就学就不返回来,但他们不能忘记他们的根是在占碑出生,而老祖宗的根是在祖籍家乡在中国,做人是不能忘本的,要饮水思源。家属中,虽然有几位已是入了别的宗教,但您总不能说你是这宗教族群的人种了,因为我们华人的脸孔是跑不掉的。在印尼全国将举行地方首长选举,我们华社族群更要小心翼翼,要居安思危,不要被不法分子挑起事端。清明节让我们缅怀先人,踏着他们的足迹,艰苦奋斗的作风,希冀老祖宗保佑印度尼西亚,国泰民安,六时吉祥,事事顺利。本报记者明光报道/Romy供图

http://www.guojiribao.com/shtml/gjrb/20180403/425085.shtml
* https://www.facebook.com/makinjambi

Jumat, 30 Maret 2018

Ziarah Makam Leluhur Di Taman Pemakaman Tionghoa Jambi (占碑华人義山)

JAMBI - Keluarga besar Zikif Effendy Lie (Bakko) ziarah ke makam orangtuanya Lie Tiong Lam (李中南) yang dikebumikan di Taman Pemakaman Tionghoa Pondok Meja Jambi (占碑华人義山) Km 12, Desa Pondok Meja, Kecamatan Jambi Luar Kota, Kabupaten Muara Jambi.

Mereka datang bersama keluarga untuk sembahyang Ceng Beng atau penghormatan kepada orangtuanya serta leluhurnya. Ceng Beng “Qing Ming” yang tahun ini jatuh pada tanggal 5 April 2018 (Ji Gwee Ji Cap lunar kalender). Mereka datang dengan membawa berbagai perlengkapan sembahyang maupun aneka sesajian kesukaan orangtua/ leluhur

Di Indonesia lebih dikenal sebagai Ceng Beng (bahasa Hokkien) merupakan agenda tahunan masyarakat Tionghoa untuk bersembahyang atau berziarah ke kuburan orangtua maupun leluhur sesuai dengan agama masing.

Sejak pagi hari mereka mengunakan beberapa kendaraan roda empat mengangkut berbagai perlengkapan sembahyang dan sesajian seperti makanan kesukaan Lie Tiong Lam (李中南) serta berbagai asesoris diantaranya pakaian jadi dari kertas, sepatu, emas batangan yang dikemas dalam bentuk karton tebal untuk kebutuhan arwah almarhum, layaknya seperti kebutuhan orang-orang hidup diatas dunia.

Ujar, Zikif Effendy Lie (李鴻章) “Kita kirimkan berbagai kebutuhan orangtua (leluhur) kita yang berada dialam baka, disana mereka juga memerlukan apa yang kita pakai sehari-hari di alam dunia”.

Sebagai anak, memiliki kewajiban untuk memberi hormat kepada orangtua/ leluhur yang telah wafat dengan cara menyembahyangi, imbuhnya.

Ceng Beng bagi masyarakat Tionghoa, adalah penghormatan kepada orangtua, baik kepada yang masih hidup maupun kepada yang sudah meninggal dunia, ini merupakan sebuah kebudayaan sejak jaman dahulu kala. Relasi antar manusia dalam tradisi Tionghoa tidak akan hilang begitu saja, meskipun kematian telah memisahkan orang dari kehidupan di dunia ini. Karena itu tidak heran kalau dalam setiap keluarga penghormatan kepada leluhur menjadi bagian penting dalam kehidupan bersama.

Orang yang tidak lagi menghormati leluhur yang telah meninggal dianggap sebagai seorang anak durhaka, sebab mereka melupakan asal usul dan jasa dari para pendahulunya, bahkan melupakan akar kehidupannya sendiri. (Romy)

Rabu, 04 April 2012

Ceng Beng Penghormatan Kepada Leluhur

JAMBI – Hari ini ratusan warga Tionghoa sejak pagi hari telah memadati pekuburan di pal 7 yang berlokasi di Jalan Kapten Pattimura, Kelurahan Rawasari, Kecamatan Kotabaru, mereka datang bersama keluarga untuk sembahyang Cheng Beng yang tahun ini jatuh pada tanggal 4 April 2012, mereka datang dengan membawa berbagai perlengkapan sembahyang maupun aneka sesajian kesukaan orangtua (leluhur).

Indonesia lebih dikenal sebagai Ceng Beng (bahasa Hokkien) adalah agenda tahunan etnis Tionghoa untuk bersembahyang atau ziarah ke kuburan orangtua maupun leluhur sesuai dengan agama masing.
Seperti keluarga besar Sukirman Johan, sejak pagi hari telah datang bersama ibunda, istri dan saudara-saudaranya, mereka datang ke makam orangtuanya untuk melakukan sembahyang Ceng Beng (Ziarah), sebelum prosesi Ceng Beng dilakukan, terlebih dahulu mereka bersih-bersihkan nisan dan pelataran makam, ada yang diatas makam diletakkan kertas sembahyang jenis perak (gin cua) dan emas (kim cua) maupun kertas kuning kecil memanjang, selanjutnya disekeliling makam dikasih bunga-bunga segar yang sengaja di taman oleh ibunda Sukirman Johan.

Sebelum Sukirman Johan sembahyangi orangtuanya, terlebih dahulu ibunda Sukirman melakukan sembahyang di depan nisan suaminya (ayah Sukirman Johan, Tju Bun Cheng), sehabis itu, baru Sukirman Johan bersama istri dan kakak-kakanya lakukan sembahyang bersama. Diatas meja nisan tersedia berbagai sesajian kesukaan almarhum Tju Bun Cheng (orangtua Sukirman Johan). Sukirman Johon mengatakan, sembahyang kubur merupakan bentuk penghormatan kepada leluhur. “Setiap tahun, kita sekeluarga melakukan sembahyang di makam orangtua”, ungkapnya, Rabu (4/4).

Selanjutnya tambah Sukirman Johan, “Sebagai seorang anak, kita mempunyai kewajiban untuk memberikan penghormatan kepada orangtua (leluhur) kita yang telah mendahului kita,” bagaimanapun tanpa adanya mereka (orangtua) mustahir kita bisa ada di dunia ini, maka kita pergunakan waktu Ceng Beng untuk berziarah. Ceng Beng bagi masyarakat Tionghoa, adalah penghormatan kepada orangtua, baik kepada yang masih hidup maupun kepada yang sudah meninggal dunia, ini merupakan sebuah kebudayaan sejak jaman dahulu kala. Relasi antar manusia dalam tradisi Tionghoa tidak akan hilang begitu saja, meskipun kematian telah memisahkan orang dari kehidupan di dunia ini. Karena itu tidak heran kalau dalam setiap keluarga penghormatan kepada leluhur menjadi bagian penting dalam kehidupan bersama. Di beberapa negara di Asia, peringatan Ceng Beng dianggap sangat penting artinya dan diperingati sebagai hari libur nasional selama beberapa hari.

Selain perayaan Tahun Baru Imlek, Ceng Beng adalah tradisi penting bagi masyarakat tionghoa, karena pada masa inilah seluruh anggota keluarga berkumpul bersama menghormat dan memperingati leluhur mereka. Orang yang tidak lagi menghormati leluhur yang telah meninggal dianggap sebagai seorang anak durhaka, sebab mereka melupakan asal usul dan jasa dari para pendahulunya, bahkan melupakan akar kehidupannya sendiri. (Romy)

Ceng Beng Memberi Penghormatan Kepada Leluhur


JAMBI – Hari ini ratusan warga Tionghoa memadati pekuburan di pal 7 yang berlokasi di Jalan Kapten Pattimura, Kelurahan Rawasari, Kecamatan Kotabaru, mereka datang bersama keluarga untuk sembahyang Cheng Beng atau penghormatan kepada para leluhur yang tahun ini jatuh pada tanggal 4 April 2012, mereka datang dengan membawa berbagai perlengkapan sembahyang maupun aneka sesajian kesukaan orangtua (leluhur).

Indonesia lebih dikenal sebagai Ceng Beng (bahasa Hokkien) adalah agenda tahunan etnis Tionghoa untuk bersembahyang atau ziarah ke kuburan orangtua maupun leluhur sesuai dengan agama masing.

Seperti keluarga besar Robin pengusaha dok kapal Apeng, sejak pagi hari mereka mengunakan puluhan kendaraan mengangkut berbagai sesajian atau makanan kesukaan almarhum/ almarhumah dan puluhan karung kertas sembahyang, tidak ketinggalan berbagai asesoris kebutuhan arwah, seperti kebutuhan orang-orang hidup diatas dunia.

Seperti, pakaian jadi, sepatu, rokok, radio, televisi, alat dapur, emas batangan yang dikemas dalam bentuk karton tebal serta sesajin kesukaan orangtua/ leluhur, Ujar Robin, “Kita kirimkan berbagai kebutuhan orangtua (leluhur) kita yang berada dialam baka, disana mereka juga memerlukan apa yang kita pakai sehari-hari di dunia”.

Maka sebagai anak kita memiliki kewajiban untuk memberi hormat kepada orangtua/ leluhur yang telah wafat dengan cara menyembahyangi, imbuhnya.

Ceng Beng bagi masyarakat Tionghoa, adalah penghormatan kepada orangtua, baik kepada yang masih hidup maupun kepada yang sudah meninggal dunia, ini merupakan sebuah kebudayaan sejak jaman dahulu kala. Relasi antar manusia dalam tradisi Tionghoa tidak akan hilang begitu saja, meskipun kematian telah memisahkan orang dari kehidupan di dunia ini. Karena itu tidak heran kalau dalam setiap keluarga penghormatan kepada leluhur menjadi bagian penting dalam kehidupan bersama.

Orang yang tidak lagi menghormati leluhur yang telah meninggal dianggap sebagai seorang anak durhaka, sebab mereka melupakan asal usul dan jasa dari para pendahulunya, bahkan melupakan akar kehidupannya sendiri. (Romy)

Minggu, 01 April 2012

Ribuan Warga Tionghoa Ziarah Kuburan Leluhur (Ceng Beng/ Qingming)

JAMBI – Anak yang berbakti adalah anak yang tahu asal usulnya, anak yangh berbakti merupakan anak yang tahu mengurusi kedua orangtua, baik dimasa kedua orangtua masih hidup maupun telah meninggal, seperti dimasa orangtua masih hidup kita selaku anak berkewajiban untuk mengurusi segala keperluan orangtua, demikian juga bila orngtua kita telah wafat, kita juga memiliki kewajiban untuk melakukan pembersihan makamnya (tempat istirahat terakhir orangtua). Maka tidak heran, sejak matahari belum terbit, ribuan warga Tionghoa telah mndtangi tempat pemakaman masyarakat Tionghoa di pal 7, mereka datang ke kuburan pagi-pagi adalah untuk mengelar perayaan Qingming 清明 atau Ceng Beng dalam bahasa Hokkien. Ziarah makam sebagai bentuk penghormatan kepada orangtua, keluarga maupun leluhur mereka yang telah meninggalkan dunia.
Perayaan Ceng Beng “清明” tahun ini jatuh pada tanggal 4 April (Sa Swee Cap She imlek), pengertian Ceng Beng, adalah Ceng 清 berarti bersih, Beng 明 berarti terang. Dimana pada hari tersebut orang Tionghoa berziarah ke makam orangtua maupun leluhur mereka, dengan membersihkan makam, berdoa dan sembahyang sesuai agama kepercayaan dan dengan tata caranya masing-masing. Diatas makam diletakkan kertas kuning kecil memanjang. Minggu (1/4), sejak dini hari, berduyun-duyun warga Tionghoa mendatangi pemakaman km 7 yang terletak di Jalan Pattimura, kelurahan Rawasari, kecamatan Kotabaru, Kota Jambi. Tahun ini terlihat lebih ramai dari tahun kemarin, pasalnya menurut beberapa warga yang sengaja pung ke Jambi untuk berziarah, tahun ini bagus untuk berziarah.
Menurut catatan sejarah, Ceng Beng yang terdapat dua Openi : kisah pertama, mengisahkan seorang yang bernama Cu Guan Ciang (Zhu Yuan Zhang) pendiri dinasti Ming, ia lahir dari keluarga yang sangat miskin. Agar tidak mati kelaparan ia diserahkan oleh orang tuanya pada sebuah kuil untuk dipelihara. Pada suatu ketika Cu Guan Ciang menjadi raja, Cu Guan Ciang tidak mengetahui dimana letak makam leluhurnya, maka pada hari yang ditentukan, ia memerintahkan semua rakyat untuk melakukan berziarah dan sembahyang dimakam masing-masing leluhurnya dan memberi tanda dengan kertas kuning diatas makam tersebut sebagai makam leluhurnya. Maka pada makam yang tidak ada tanda-tanda kertas kuning itu dianggap Cu Guan Ciang adalah makam leluhurnya. Openi kedua yaitu, Sebenarnya tradisi Qing Ming itu sudah ada sejak jaman dahulu kala (sejak dinasti Zhou) dan awal mulanya adalah suatu upacara yang berhubungan dengan musim dan pertanian. Pertanda berakhirnya hawa (bukan cuaca) dingin dan mulainya hawa panas. Dan ada satu syair kuno yaitu "Sehari sebelum Qing Ming tidak ada api" atau yang sering disebut Han Se Jie. Ini menandakan Qing Ming adalah awal panas. Tapi selain itu juga menyangkut kisah Jie Zhi Tui yang mati terpanggang karena ulah Jin Wen Gong yang ingat akan budinya dan memaksa Jie keluar sedangkan Jie takut dibunuh oleh bekas junjungannya. Jie mati terbakar dalam posisi menutupi tubuh ibunya. Sejak itu Jin Wen Gong memakai bakiak dan mengganti nama gunung tempat Jie terbakar menjadi gunung Jie dan menguburnya di pohon Liu yang mati meranggas. Serta memerintahkan kepada seluruh rakyatnya agar pada 1 hari sebelum Qingming tidak menyalakan kompor sehingga rakyatnya memakan makanan yang dingin (Han Se). Pada hari akhir Ceng Beng, makam yang tidak diziarahi, maka panitia sembahyang diselenggarakan oleh panitia atau lembaga yang mengurusi tanah makam tersebut. Ziarah dimakam bisa dilakukan 10 hari sebelum dan 10 hari sesudah Ceng Beng 清明. (Romy)

Ribuan Warga Ziarah Ke Makam Leluhur

JAMBI - Empat hari menjelang perayaan Ceng Beng 清明(ziarah) yaitu Sa Gwee Cap She lunar kalender atau yang jatuh pada hari Rabu, tanggal 4 April 2012, berhubungan hari Rabu adalah hari kerja, maka pagi (1/4-2012) tadi, ribuan warga Tionghoa lakukan ziarah kemakam orangtua, keluarga maupun leluhur mereka.

Hasil pantauan dilapangan, sejak pukul 05.00 tempat pemakaman umum masyarakat Tionghoa di kilometer 7 yang terletak di Jalan Kapten Pattimura, Kelurahan Rawasari, Kecamatan Kotabaru telah dipadati berbagai jenis kendaran roda empat maupun roda dua, sehingga untuk masuk kedalam TPU kendaraan harus antrian.

Perayaan Ceng Beng 清明 adalah untuk membersihkan makam orangtua, sanak famili maupun leluhur, agar para arwah orangtua, keluarga, maupun leluhur yang telah tiada dapat merasa tentram dan istirahat di tempat terakhir dan sambil berdoa dan sembahyang sesuai agama kepercayaan serta sesuai dengan caranya masing-masing. Diatas makam diletakkan kertas kuning kecil memanjang, maupun perlengkapan sehari hari seperti pakaian, Minuman, rokok (bagi keluarga laki-laki), uang yang semuanya terbuat dari kertas selain itu juga terdapat berbagai sesajian diantaranya kue merah, bakpao, buah-buahan.

Tampak perayaan Ceng Beng 清明 kali ini lebih ramai dari tahun-tahun sebelumnya juga terlihat beberapa pengusaha sukses yang berziarah ke makam orangtua/ leluhur seperti keluarga besar Lie Tiong Lam, keluarga besar Tanoto Yacobes sampai cucu dan cicit Tjia The Hok dari generasi ke empat The Hok melakukan ziarah.

Menurut penuturan Panitia Ceng Beng, Mulyadi, catatan lama makam (kuburan) yang ada di kilo meter 7 Jalan Kapten Pattimura lebih kurang 5.000 lebih dengan luas tanah 21 hektar, namun ada makam yang dikremasikan oleh pihak keluarga, sedangkan yang melakukan ziarah pada hari minggu diperkirakan lebih dari seribu orang, karena hari itu adalah hari libur sehingga bagi orang yang bekerja maupun pedagang memiliki waktu.

Namun sangat disayangi, pendopo atau tempat untuk istirahat sementara masyarakat yang datang ziarah sangat-sangat memperhatinkan, sudah tidak terbentuk lagi bangunannya. Ujar salah satu penziarah yang datang dari luar daerah, “Pendopo ini sangat memprihatinkan, dimana atapnya seperti bekas terbakar dan tidak memiliki toilet” katanya sambil berlalu didepan pendopo. (Romy)